Dorong Peningkatan Investasi di Sektor Sawit dengan Penyederhanaan Regulasi
- Perbaikan tata kelola sawit di Indonesia membutuhkan lembaga atau badan khusus. Sebelum menghadirkan lembaga tersebut, perlu ada penyederhanaan regulasi atau peraturan tentang sawit dari hulu ke hilir. Yaitu, semacam omnibus law terkait sawit.
"Mengingat sawit istimewa bagi bangsa Indonesia. Banyak manfaatnya dan banyak urusannya, maka satu badan untuk mengelola urusan sawit A-Z. Tentu didasarkan pada peraturan perundangan yang sudah lebih sederhana, sehingga masyarakat mendapat pelayanan satu pintu," ujar Ketua Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB) Budi Mulyanto dalam keterangan persnya pada Jumat (22/11).
Di samping itu, sambung Budi Mulyanto, badan itu harus mengelola satu data sawit yang di-update secara periodik sesuai ruang dan waktu bagi perbaikan dan pengembangan industri sawit (continuous improvement).
"Harapan saya dimulai oleh Pemerintah Presiden Prabowo, industri sawit berkembang lebih mantab dan tertata, sehingga nilai Easy of Doing Bussiness (EODB) Indonesia meningkat, dan investor yakin berinvestasi di sektor sawit," paparnya.
Usulkan UU Perkelapasawitan
Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengungkapkan fakta di lapangan memang sudah ada keterlanjuran terkait permasalahan tumpang tindih lahan sawit. Meskipun dirinya sejatinya juga tidak sepakat dengan istilah keterlanjuran tersebut.
Pertama, masyarakat petani sawit yang tidak paham regulasi memanfaatkan lahan yang dianggapkan sebagai tanah negara. Kedua, ada pelaku usaha sawit yang memproses izin setengah jadi tiba-tiba ada kebijakan dari Kementerian Kehutanan. Sehingga penanaman tidak bisa dilanjutkan karena ditetapkan sebagai kawasan hutan. Ketiga, pelaku usaha yang benar-benar menabrak aturan. Yakni, mereka langsung menanam sawit di kawasan hutan tanpa ada proses izin.
Menurut dia, penyelesaiannya menurut UU Cipta Kerja ada tiga skema. Bagi petani yang tidak tahu diberikan hak pinjam pakai maksimal 5 hektare untuk mengelola sawitnya sampai meninggal dunia. Setelah itu, lahan diberikan ke negara untuk dikembalikan fungsinya sebagai Kawasan hutan. "Nah kemudian bagi yang setengah proses akibat kesalahan kebijakan dan kemudian di situ tak bisa dilanjutkan itu juga harus diberikan sanksi, tapi sanksinya tidak seberat yang nabrak tadi," ungkap Firman.
Dia mengusulkan pelaku usaha tersebut bisa diberikan kesempatan untuk mengelola lahannya mungkin satu sampai tiga siklus. Namun, hal itu harus diatur melalui peraturan menteri kehutanan sebagai dasarnya. "Kemudian yang betul betul nabrak harus dikenakan sanksi. Sanksi denda kemudian sanksi hukumnya. Kalau perlu dicabut hak kepemilikannya. Dan kita sarankan kalau dicabut, kemudian diserahkan dan dikelola BUMN. Namun itu kan harus diatur oleh peraturan menteri kehutanan. Itu yang sampai sekarang menteri kehutanan belum selesai," jelasnya.
Firman sepakat jika pemerintah akhirnya membentuk sebuah badan khusus yang menangani sawit agar bisa lebih berdaya guna. Namun, kata dia, yang lebih penting adalah perlu segera dibuat undang-undang perkepalasawitan untuk mengatur tata kelola sawit agar lebih jelas. "Kalau pemerintah atau negera mengakui bahwa sawit ini adalah memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara, mau dikemanakan regulasinya harus jelas. Kenapa dibikin UU, supaya ada penegasan pada negara berapa target penerimaan negara dari sawit," jelasnya.
Termasuk jika akan dinaikkan target dalam menyumbang devisa negara dari Rp 500 trilian ke Rp 1.000 triliun, sawit harus benar-bener dikelola dengan aturan yang jelas. Hanya saja, DPR dengan tegas menolak ekstensifikasi lahan untuk sawit. Yang bisa dilakukan adalah intensifikasi. "Kalau intensifikasi itu teknologi bicara. Pupuknya bagaimana? Pengelolaannya bagaimana? Benihnya gimana dll. Malaysia bisa kenapa Indonesia enggak?" papar Firman.
Dia mengaku tidak sepakat dengan aturan manja yang memperbolehkan untuk secara gampang seringkali menggunakan hutan sebagai tanaman sawit. "Karena itu dengan UU perkelapasawitan itu ke depan bisa mengatur industri sawit tak boleh ekstensifikasi tapi intensifikasi. Hutan tidak rusak tapi penerimaan negara naik," tegasnya.
Sebelumnya Ombudsman RI mengungkap hasil kajian sistemik terkait potensi maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia. Berdasarkan temuan Ombudsman RI status lahan perkebunan sawit yang tidak jelas akibat tumpang tindih dengan kawasan hutan telah mengganggu keberlangsungan usaha perkebunan kelapa sawit.
Mereka menemukan luasan Irisan overlay tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan adalah seluas 3.222.350 hektare dengan subjek hukum sejumlah 3.235. Subjek hukum terdiri atas 2.172 perusahaan kelapa sawit dan 1.063 koperasi/poktan (sawit rakyat).
Konflik status kepemilikan lahan antara perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan. Penyelesaian tumpang tindih melalui mekanisme Pasal 110A dan 110B Undang Undang Cipta Kerja masih banyak yang belum rampung hingga saat ini.
Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Tata kelola industri kelapa sawit yang saat ini tidak cukup baik berpotensi tersebut menimbulkan kerugian ekonomis totalnya sawit sekitar Rp 279,1 triliun per tahun. Perinciannya: Potensi kerugian meliputi aspek lahan (Rp 74,1 triliun/tahun), aspek peremajaan sawit terkendala Surat Tanda Daftar Budi daya (STDB) dan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebanyak Rp 111,6 triliun/tahun dan aspek kualitas bibit yang tidak sesuai Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Rp 81,9 triliun/tahun serta aspek kehilangan yield akibat grading tidak sesuai standar kematangan tandan buah segar (TBS) Rp 11,5 triliun/tahun.
Oleh karena itu, Ombudsman mengusulkan ada satu kelembagaan yang khusus mengurusi kebijakan terkait urusan kelapa sawit. Kelembagaan tersebut diberi kewenangan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan integrasi kebijakan terkait urusan kelapa sawit sekaligus melakukan pengawasan implementasi regulasi terkait urusan kelapa sawit tersebut.
"Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden dan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan," tandas Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika.
Tag: #dorong #peningkatan #investasi #sektor #sawit #dengan #penyederhanaan #regulasi