Ombudsman RI Soroti Izin Tata Kelola Sawit dan Potensi Kerugian yang Mencapai Rp 279,1 Triliun
- Ombudsman RI menyoroti perizinan dan tata kelola usaha sawit. Dari hasil kajian sistemik Ombudsman RI, ditemukan sejumlah persoalan yang perlu segera dituntaskan oleh Pemerintah.
"Pada aspek perizinan, Ombudsman RI menemukan adanya ketidakpastian layanan dalam tumpang tindih Hak Atas Tanah (HAT) lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan, dan tidak adanya kepastian penyelesaian inventarisasi SK Datin terhadap lahan perkebunan sawit," kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika di Jakarta pada Senin (18/11).Hal itu diungkapkan Yeka Hendra saat penyampaian hasil kajian sistemik di Gedung Ombudsman RI.
AdapunSK Datin merupakan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memuat data dan informasi kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa perizinan bidang perkebunan.
Ombudsman RI menemukan luasan Irisan overlay tumpang tindih lahan perkebunan sawit dengan kawasan hutan adalah seluas 3.222.350 hektare, dengan subjek hukum sejumlah 3.235. Subjek hukum terdiri dari 2.172 perusahaan kelapa sawit dan 1.063 koperasi/poktan (sawit rakyat). Konflik status kepemilikan lahan antara perkebunan kelapa sawit dan kawasan hutan mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi petani dan perusahaan.
Sejauh ini, perkembangan penyelesaian tumpang tindih lahan ini telah diselesaikan melalui mekanisme Pasal 110A Undang Undang Cipta Kerja. Sejumlah 115 subjek hukum yang terdiri atas 83 unit (+ 336.539 hektare) dengan SK penetapan batas pelepasan kawasan hutan, dan 32 unit (+ 96.174 hektare) telah keluar SK pelepasan kawasan hutan.
Adapun proses penyelesaian melalui mekanisme Pasal 110B UU Cipta Kerja telah dilakukan. Sebanyak 53 subjek hukum telah diberikan denda administratif. 25 subjek hukum telah membayar dan 28 subjek hukum belum membayar.
Selain itu, perkembangan penyelesaian untuk perkebunan sawit rakyat yang dilakukan melalui skema PP 24/2021 adalah 31 subjek hukum dengan telah diterbitkan SK Persetujuan Perhutanan Sosial dengan luas 11.067 hektare.
Data itu menunjukkan masih banyak masalah tumpang tindih lahan sawit. Hanya sebagian kecil yang sudah diselesaikan, yakni sebanyak 199 subjek hukum. Sementara yang masih belum diselesaikan jumlahnya 3.036 subjek hukum atau 93,84 persen.
Ombudsman menemukan fakta di Riau dan Kalimantan Tengah bahwa banyak perkebunan kelapa sawit rakyat yang telah memiliki Hak Atas Tanah (HAT), tetapi masih dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya dalam memperoleh bantuan pemerintah maupun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Ombudsman menyebut penyelesaian tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan bisa dilakukan dengan mengutamakan kepemilikan lahan yang telah diterbitkan bukti kepemilikan HAT dan pengakuan hukum lainnya. Pemerintah perlu melakukan perbaikan tata kelola industri kelapa sawit pada aspek lahan melalui dua hal.
Pertama, pengakuan hak atas tanah yang telah sah diterbitkan oleh kementerian yang membidangi urusan agraria dan pertanahan. Kedua, percepatan penyelesaian tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan sekaligus melakukan pengukuhan kawasan hutan. Pengakuan hak atas tanah yang sah dilakukan dengan cara melepaskan persil tanah tersebut dari kawasan hutan.
Pada aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Persaingan usaha yang tidak sehat antar PKS bermula dari adanya dualisme izin pendirian PKS yang diampu oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Pertanian mengampu perizinan PKS yang terintegrasi dengan kebun, sedangkan Kementerian Perindustrian mengampu perizinan PKS tanpa kebun. Dualisme izin tersebut berdampak terhadap adanya perbedaan syarat pendirian PKS, sehingga pada akhirnya memicu permasalahan terkait, dualisme harga TBS (tandan buah segar), ketidakpastian rantai pasok TBS, ketidapastian jaminan jumlah pasokan TBS dan standar kualitas TBS.
Dengan adanya dualisme perizinan PKS maka di lapangan juga muncul dua bentuk harga TBS, yaitu harga yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi untuk pembelian oleh PKS terintegrasi dengan kebun dan harga pasar yang berlaku pada PKS tanpa kebun. Hal tersebut mengakibatkan stabilitas jumlah pasokan TBS di PKS terintegrasi dengan kebun menjadi terganggu, dan hal ini menjadi bentuk persaingan tidak sehat yang dapat mengganggu keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.
Potensi Kerugian Rp 279,1 triliun Per Tahun
Tata kelola industri kelapa sawit saat ini diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi menimbulkan permasalahan implementasi di lapangan. Benturan implementasi di lapangan terjadi antara lain pada kebijakan perizinan dan tata niaga industri kelapa sawit.
Tata kelola industri kelapa sawit yang saat ini tidak cukup baik berpotensi tersebut menimbulkan kerugian ekonomis. Ombudsman RI menyebut total potensi kerugian dalam tata kelola industri kelapa sawit sekitar Rp 279,1 triliun per tahun. Semua itu meliputi dari aspek lahan (Rp 74,1 triliun/tahun), aspek peremajaan sawit terkendala Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan PSR (Rp 111,6 triliun/tahun) dan aspek kualitas bibit yang tidak sesuai Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) (Rp 81,9 triliun/tahun) serta aspek kehilangan yield akibat grading tidak sesuai standar kematangan TBS (Rp 11,5 triliun/tahun).
Menurut Yeka, permasalahan integrasi kebijakan dapat diperbaiki dengan adanya satu kelembagaan yang khusus mengurusi kebijakan terkait urusan kelapa sawit. Kelembagaan tersebut diberi kewenangan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan integrasi kebijakan terkait urusan kelapa sawit sekaligus melakukan pengawasan implementasi regulasi terkait urusan kelapa sawit tersebut.
"Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden dan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan," tandas Yeka Hendra.
Tag: #ombudsman #soroti #izin #tata #kelola #sawit #potensi #kerugian #yang #mencapai #2791 #triliun