Merancang Strategi Fiskal Daerah di Tengah Ketidakpastian Global
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.(SHUTTERSTOCK/DAVID CARILLET)
17:28
11 Januari 2024

Merancang Strategi Fiskal Daerah di Tengah Ketidakpastian Global

SETAHUN lalu, para pengamat ekonomi global memprediksi tahun 2023 akan menjadi “gelap”. Prediksi tersebut karena krisis ekonomi, pangan, energi, serta geopolitik yang secara bertubi-tubi terjadi pada tahun tersebut.

Kini setahun setelah pernyataan tersebut, di tengah rata-rata inflasi global yang diperkirakan mencapai 6,9 persen, Indonesia berhasil meredam laju inflasi di angka 2,61 persen.

Namun tantangan belum berhenti di sana. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pada dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PKF) Tahun 2024 bahwa ada empat tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi perekonomian global ke depan.

Pertama, ketegangan geopolitik. Kedua, cepatnya perkembangan teknologi digital. Ketiga, perubahan iklim serta respons kebijakan yang mengikutinya. Keempat, Covid-19 telah menjadi bukti munculnya pandemi tidak terelakkan.

Dalam menghadapi situasi ketidakpastian global yang masih akan terjadi beberapa tahun ke depan, perlu ada penguatan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan program-program prioritas. Khususnya mendorong pertumbuhan konsumsi dan melindungi kelompok rentan.

Untuk mengakomodasi sinergitas program pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada awal 2022 telah terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Banyak harapan mengiringi terbitnya beleid baru ini sebagai solusi untuk memecahkan masalah desentralisasi yang belum terjawab selama dua dekade terakhir.

Karena selama dua dekade pelaksanaannya, sistem desentralisasi belum cukup menjawab isu kemandirian fiskal daerah, rendahnya rasio pajak daerah, ataupun ketimpangan yang terjadi antardaerah.

Di tengah ketidakpastian global akibat fragmentasi geopolitik dan geoekonomi yang terjadi, program pemerintah daerah perlu bersinergi dengan pemerintah pusat untuk memastikan visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.

Salah satu amanat UU HKPD yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapi situasi ketidakpastian global adalah pemberian insentif fiskal.

Pemberian insentif dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Misalnya, bagi daerah yang mempunyai tingkat penggangguran tinggi dapat memberikan insentif fiskal bagi usaha mikro, ultra mikro ataupun industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Ataupun bagi daerah yang memiliki tingkat kesenjangan kepemilikan rumah (backlog) yang tinggi, insentif fiskal dapat diberikan berupa pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk masyarakat berpenghasilan rendah dalam memperoleh hunian di rentang harga tertentu.

Namun, pemberian insentif fiskal juga perlu memperhatikan kinerja penerimaan daerah. Pemberian insentif harus bersifat timely, targeted, dan temporary sehingga dapat memberikan manfaat optimal bagi daerah tanpa menurunkan penerimaan daerah secara drastis.

Karena sesuai dengan ketentuan UU HKPD, pemerintah daerah wajib mengalokasikan belanja infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40 persen dari total belanja APBD di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada daerah dan/atau desa.

Artinya semakin besar penerimaan suatu daerah, maka semakin besar juga anggaran belanja infrastruktur. Adanya infrastruktur yang memadai akan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Namun, saat ini rata-rata rasio Pendapatan Daerah dan Retribusi daerah (PDRD) di Indonesia belum mencapai angka ideal. Rasio ini membandingkan penerimaan PDRD dengan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Semakin tinggi rasio PDRD, maka semakin optimal kapasitas penerimaan pajak dan retribusi daerah, begitu juga sebaliknya.

Saat ini rata-rata rasio PDRD secara nasional masih berada di angka 1,3 persen, masih cukup jauh dari target pemerintah di angka 3 persen.

Ada beberapa upaya penggalian potensi pendapatan daerah yang dapat dilakukan tanpa meningkatkan tarif pajak agar tidak membebani masyarakat.

Pertama, penguatan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah.

Dari 16 pajak daerah yang ada, tujuh di antaranya adalah pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak (self-assessment).

Penerapan proses self-assessment memang memiliki kelebihan tersendiri seperti meningkatkan efektifitas penerimaan pajak. Namun, sistem ini rentan terhadap adanya tax gap atau selisih antara pajak yang seharusnya menjadi kewajiban WP dan pajak yang sebenarnya dibayar.

Sedangkan, untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak pada ketujuh jenis pajak tersebut tentu membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit.

Selain itu adanya kebijakan baru, disrupsi teknologi, dan dinamika perekonomian seperti mulai bertumbuhnya sektor ekonomi informal (shadow economy) membuat fungsi pengelolaan pajak daerah menjadi lebih kompleks.

Sehingga, pemerintah daerah perlu menerapkan transformasi digital secara menyeluruh agar pengawasan pajak daerah menjadi lebih optimal dan efisien.

Kedua, perlu adanya sinergi kuat antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat untuk mendorong kenaikan rasio pajak.

Sinergi ini dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama penggalian potensi pajak melalui ekualisasi pajak pusat dan daerah.

Sinergi juga bisa diwujudkan dalam bentuk kerja sama pendidikan dan pelatihan terutama dalam hal optimalisasi pelayanan, pemeriksaan maupun penagihan.

Kita berharap dengan strategi kebijakan fiskal yang cermat dari tingkat daerah, Indonesia akan lebih resilien dalam menghadapi tantangan global di masa depan sehingga dapat mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045.

Tag:  #merancang #strategi #fiskal #daerah #tengah #ketidakpastian #global

KOMENTAR