Upah yang Tak Pernah Cukup
SETIAP akhir tahun, negara kembali menyebut angka. Angka itu diumumkan dengan bahasa resmi, dibacakan dalam konferensi pers, dicetak dalam tabel statistik, lalu disebarkan ke ruang publik.
Angka itu bernama upah minimum. Ia tampak pasti, objektif, dan rasional. Namun di balik ketegasan itu, sesungguhnya tersembunyi kegamangan: apakah angka tersebut sungguh mencerminkan kehidupan manusia yang sesungguhnya?
Bagi sebagian orang, upah hanyalah komponen ekonomi. Namun bagi jutaan pekerja, upah adalah penentu apakah hidup hari ini masih bisa dijalani dengan tenang, atau sekadar dilalui dengan cemas.
Ia menentukan apakah dapur tetap mengepul, anak bisa tetap sekolah, dan sakit bisa ditangani tanpa harus berutang.
Upah minimum sering diperlakukan seolah-olah ia sekadar produk kalkulasi teknokratis. Ia dihitung dari inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.
Namun, hidup manusia tidak bergerak menurut rumus statistik. Harga beras tak selalu patuh pada grafik. Biaya pendidikan tak pernah menunggu regulasi. Kesehatan tak tunduk pada kebijakan fiskal.
Di titik inilah jurang antara angka dan kenyataan terbuka lebar. Negara merasa telah bekerja karena angka diumumkan. Namun bagi buruh, angka itu sering terasa jauh dari cukup. Mereka tetap harus memilih: membayar kontrakan atau menunda makan layak, membeli obat atau menunggak cicilan.
Konstitusi sebenarnya telah memberi arah yang terang. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kata “layak” bukan sekadar ornamen hukum. Ia adalah penanda moral, ukuran peradaban, dan cermin tanggung jawab negara.
Namun dalam praktik, makna kelayakan itu terus menyusut. Ia direduksi menjadi angka minimal yang sekadar memungkinkan bertahan hidup, bukan hidup dengan martabat.
Upah minimum lalu menjelma pagar rendah—bukan jembatan menuju kehidupan yang lebih manusiawi.
Negara kerap menempatkan diri sebagai penyeimbang: di satu sisi kepentingan buruh, di sisi lain dunia usaha.
Dalam narasi resmi, negara berdiri di tengah, netral, rasional, dan objektif. Namun dalam kenyataan sosial, posisi “tengah” itu sering kali berarti condong kepada yang lebih kuat.
Ketika buruh menuntut kenaikan upah, negara mengingatkan soal iklim investasi. Ketika pengusaha mengeluh biaya produksi, negara segera merespons dengan kebijakan penyesuaian. Di sinilah pertanyaan mendasar muncul: untuk siapa negara bekerja?
Dalam teori negara kesejahteraan, negara tidak pernah netral. Ia berpihak pada yang lemah agar keseimbangan sosial tetap terjaga.
Tanpa keberpihakan itu, pasar akan bekerja dengan logikanya sendiri—meninggalkan mereka yang tak cukup kuat untuk bersaing.
Namun dalam praktik kebijakan pengupahan, negara sering tampil sebagai administrator, bukan pelindung.
Negara menghitung, menetapkan, lalu menganggap tugasnya selesai. Padahal, tanggung jawab konstitusional tidak berhenti pada penetapan angka, tetapi pada dampaknya terhadap kehidupan warga.
Kebijakan upah kerap dikemas sebagai soal teknis, padahal ia sarat nilai. Setiap keputusan tentang upah adalah keputusan tentang siapa yang boleh hidup layak dan siapa yang harus bertahan dengan keterbatasan.
Negara sering membanggakan pertumbuhan ekonomi, tetapi lupa bahwa pertumbuhan tidak selalu berarti pemerataan. Angka boleh naik, tetapi jurang sosial tetap menganga. Di situlah negara diuji: apakah ia hanya menjadi pencatat statistik, atau penjaga keadilan sosial.
Martabat
Upah bukan sekadar alat tukar tenaga kerja. Ia adalah pengakuan atas martabat manusia. Ketika seseorang bekerja penuh waktu, tapi tetap hidup dalam kekurangan, maka sistem telah gagal menghormati nilai kemanusiaan.
Martabat tidak lahir dari belas kasihan. Ia tumbuh dari pengakuan bahwa setiap kerja layak dihargai secara adil.
Upah yang tak mencukupi memaksa orang hidup dalam kecemasan yang terus-menerus—cemas sakit, cemas kehilangan pekerjaan, cemas menghadapi masa depan.
Dalam kondisi demikian, hidup bukan lagi ruang untuk bertumbuh, melainkan sekadar bertahan. Pekerja kehilangan kesempatan untuk bermimpi, apalagi merencanakan masa depan. Hari esok menjadi perpanjangan dari kelelahan hari ini.
Ironisnya, di tengah jargon pembangunan dan modernisasi, masih banyak pekerja yang hidup tanpa jaring pengaman sosial memadai. Mereka menjadi roda penggerak ekonomi, tetapi tidak pernah benar-benar menikmati hasilnya.
Negara sering mengagungkan produktivitas, tetapi jarang bertanya tentang keadilan distribusi. Padahal, produktivitas tanpa keadilan hanya akan melahirkan ketimpangan yang diwariskan lintas generasi.
Martabat manusia tidak bisa ditunda. Ia bukan bonus ketika ekonomi membaik, melainkan fondasi dari setiap kebijakan publik. Ketika negara gagal menjaganya, yang runtuh bukan hanya kesejahteraan, tetapi kepercayaan sosial.
Harapan
Meski demikian, harapan belum sepenuhnya padam. Negara masih memiliki ruang untuk memperbaiki arah. Upah minimum bisa dikembalikan pada makna aslinya: jaring pengaman sosial yang menjamin kehidupan layak.
Pertama, penetapan upah harus berpijak pada kebutuhan hidup layak yang nyata, bukan sekadar angka kompromi. Negara perlu berani mengakui bahwa pasar tidak selalu adil, dan karena itu perlu dikoreksi.
Kedua, dialog sosial harus dihidupkan secara sungguh-sungguh. Buruh bukan objek yang sekadar didengar, melainkan subjek yang suaranya menentukan arah kebijakan. Tanpa dialog yang jujur, kebijakan hanya akan menjadi formalitas.
Ketiga, keberanian moral perlu dikembalikan ke dalam kebijakan publik. Negara harus berani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan martabat manusia bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang disamarkan.
Negara yang besar bukan negara yang paling cepat tumbuh, melainkan paling mampu melindungi warganya. Keberpihakan kepada yang lemah bukan tanda kelemahan, melainkan ukuran kedewasaan bernegara.
Upah yang layak bukan hadiah. Ia adalah hak konstitusional. Ia adalah pengakuan bahwa kerja manusia memiliki nilai yang tak bisa diukur semata oleh pasar.
Jika hari ini upah masih terasa tak pernah cukup, mungkin persoalannya bukan karena rakyat terlalu menuntut, melainkan karena negara terlalu lama berhitung—tanpa sungguh-sungguh mendengar.
Dan kelak, sejarah akan bertanya dengan tenang, tapi tegas: ketika manusia bekerja untuk hidup, di manakah negara berdiri?