Rupiahku Sayang, Rupiahku Malang
Ilustrasi rupiah. Bank Indonesia memaparkan tren kenaikan uang beredar pada Oktober 2025.(Shutterstock/Travis182)
13:56
5 Desember 2025

Rupiahku Sayang, Rupiahku Malang

SEMENJAK krisis ekonomi 1998, rupiah secara “konsisten” terus melemah dibandingkan dollar AS. Data Bank Indonesia per 31 Oktober 2025 menunjukkan bahwa nilai tukar mata uang kebanggaan rakyat Indonesia ini mencapai level Rp16.631 per dollar AS atau melemah sekitar 66% selama 20 tahun terakhir.

Angka ini bukan sekadar statistik, bahkan menyamai kurs di masa krisis ekonomi 1998 ketika kurs rupiah berkisar 16 ribuan. Meskipun Bank Indonesia berkali-kali menyampaikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat, realita bahwa rupiah terus melemah tidak bisa dipungkiri.

Sebagai negara berkembang, cukup wajar apabila kurs mata uang Indonesia cenderung melemah dibanding dollar AS yang merupakan mata uang negara maju. Namun jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN-6, rupiah termasuk mata uang yang paling lemah dihadapan dollar AS.

Hampir sama dengan nasib rupiah yang terus melemah, Peso Filipina, Dong Vietnam, dan Ringgit Malaysia juga nilai tukarnya cenderung merosot selama 20 tahun terakhir, namun tidak seburuk rupiah.

Ringgit Malaysia melemah 26%, dan Peso melemah sekitar 7%, dan Dong Vietnam melemah sekitar 64%. Performa ketiga negara itu meskipun tidak bisa dibilang baik, namun pelemahannya tidak sedalam rupiah yang terus merosot dari sekitar Rp10 ribu di 2005 menjadi Rp16 ribuan di 2025.

Sedangkan dua negara ASEAN lain yaitu Thailand dan Singapura justru menunjukkan penguatan nilai tukar terhadap dollar AS. Kurs baht Thailand menguat 21% sedangkan dollar Singapura menguat 23%.

Dengan status sebagai negara maju dan international hub, wajar jika Singapura memiliki mata uang yang kuat. Namun Thailand yang merupakan rival ekonomi Indonesia di kawasan Asia Tenggara, ternyata mampu menjadi pusat manufaktur dan tujuan wisata global yang memberi fondasi kuat bagi mata uang mereka. Mengapa rupiah Indonesia cenderung terus melemah bahkan di antara sesama negara Asia Tenggara?

Tantangan Fundamental Ekonomi

Secara fundamental, Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang sangat kompleks. Salah satu kondisi yang penting dicermati adalah transaksi impor dan ekspor Indonesia masih dominan menggunakan dollar AS. Dalam hal impor, industri dan perusahaan di tanah air masih banyak bergantung pada pembelian bahan baku dari luar negeri yang jelas sebagian besar pembayarannya harus menggunakan dollar AS.

Penggunaan dollar AS untuk pembayaran impor barang mungkin relatif bisa dipahami, namun ternyata transaksi ekspor Indonesia yang sebagian besar merupakan komoditas energi dan sumber daya alam juga ditransaksikan menggunakan dollar AS. Pembeli komoditas dari luar negeri umumnya “hanya mau” berkontrak menggunakan dollar AS, sehingga meskipun membeli barang dari Indonesia maka settlement currency tetap saja dollar AS.

Data dari Bank Indonesia dan ASEAN Macroeconomic Research Office (AMRO) menunjukkan sekitar lebih dari 90% nilai ekspor Indonesia menggunakan dollar AS. Namun ternyata Devisa Hasil Ekspor (DHE) cenderung tidak dikonversi ke rupiah dan justru mengalir ke luar negeri.

Kondisi itu disadari pemerintah, oleh karena itu Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 yang mewajibkan penempatan DHE di dalam negeri, dengan porsi dan tenor tertentu. Namun meskipun ada kewajiban penempatan DHE, kebutuhan valuta asing korporasi membuat banyak DHE tetap berdenominasi dollar AS dan tidak sepenuhnya terkonversi menjadi rupiah.

Realita itu disadari Bank Indonesia (BI) sebagaimana diungkapkan Gubernur BI dalam konferensi pers Oktober pada 2025. Oleh karena itu BI melakukan intervensi stabilisasi nilai tukar secara signifikan terutama di periode Juli s.d. September 2025 hingga mengikis cadangan devisa dari sekitar 152 miliar dollar AS pada Mei 2025 menjadi sekitar 148 miliar dollar AS di September 2025.

Ketergantungan terhadap dollar AS dalam transaksi ekspor dan impor tersebut, ditambah semakin besarnya beban pinjaman luar negeri, menjadi salah satu pemberat utama nilai tukar rupiah. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pun mengakui sekitar 60-70han baku industri manufaktur masih mengandalkan impor.

Selain itu berbagai faktor seperti defisit neraca perdagangan, keluarnya modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN), hingga volatilitas geopolitik, terus memberi tekanan pada rupiah. Pada akhirnya nilai tukar mata uang ditentukan oleh supply and demand, dengan berbagai tekanan internal serta eksternal, permintaan atas dollar AS masih sangat kuat.

Apabila Indonesia tidak mampu memperbaiki daya saingnya di panggung dunia, maka tidak mengherankan permintaan atas rupiah semakin rendah, membuat nilai tukarnya terus menerus melemah.

Dampak Lemahnya Rupiah

Realita pahit tidak dapat dipungkiri bahwa rupiah harus terus bertekuk lutut terhadap dollar AS, dari 9 ribuan per dollar AS pada 2005 menjadi 13 ribuan pada 2015, kemudian menembus 16 ribuan pada 2025. Jika status quo ini dibiarkan terus berlangsung, bukan tidak mungkin rupiah akan menembus 20 ribu dan seterusnya. Apalagi masih banyak masyarakat yang tidak memahami apa dampak pelemahan nilai tukar tersebut terhadap kehidupan sehari-hari.

Lemahnya nilai tukar rupiah secara langsung dapat memicu imported inflation, atau kenaikan harga barang-barang yang berpengaruh dari impor. Bukan rahasia umum bahwa masih banyak industri dalam negeri yang mengandalkan impor bahan baku dari luar negeri. Jika rupiah melemah, maka biaya untuk membeli bahan baku menjadi lebih tinggi dan berujung pada meningkatnya harga jual barang di masyarakat.

Ada beberapa contoh riil yang menunjukkan bagaimana lemahnya rupiah ini menjadi problem serius bagi masyarakat. Pada barang yang masih sebagian besar impor seperti elektronik sangat terlihat dampak pelemahan rupiah. Sebagai contoh, berdasarkan data website resmi Apple, harga iPhone 6 yang diluncurkan di AS pada tahun 2015 sebesar 649 dollar AS. Di Indonesia saat itu dengan kurs Rp13.300 plus pajak dan bea cukai harga jual menjadi Rp9 juta.

Sepuluh tahun kemudian di tahun 2025, iPhone 16 dirilis dengan harga 799 dollar AS, yang kemudian dengan kurs Rp16.600 plus biaya-biaya masuk ke Indonesia membentuk harga jual Rp15 juta. Dari fakta tersebut terlihat bahwa harga iPhone di Indonesia semakin lebih mahal terutama karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Selama periode 10 tahun terakhir, harga iPhone di Indonesia melesat jauh lebih tinggi yaitu 63%. Pelemahan nilai tukar rupiah dari Rp13 ribuan di 2015 menjadi Rp16 ribuan di 2025 menjadi salah satu penyebab utama karena iPhone dan beberapa barang elektronik lain sebagian besar masih sangat mengandalkan impor.

Sedangkan barang-barang yang sebagian bahan bakunya dari luar negeri seperti kendaraan bermotor, juga sangat terasa dampak pelemahan rupiah. Sebagai contoh, berdasarkan data website Honda, sepeda motor Beat di tahun 2015 dihargai sekitar Rp14 juta, dan kini di tahun 2025 harga Beat telah mencapai Rp20 juta. Peningkatan harga sekitar 42% tersebut diantaranya diakibatkan pelemahan rupiah yang membuat impor komponen-komponen motor menjadi lebih mahal.

Dua contoh tersebut menjadi fakta bagaimana pelemahan rupiah mengakibatkan imported inflation sehingga harga barang, terutama yang memiliki komponen dari luar negeri semakin mahal dari tahun ke tahun. Hal ini tentu bukan kabar yang baik bagi masyarakat maupun pelaku industri.

Melihat kondisi riil tersebut, pemerintah tentu harus introspeksi, terutama Bank Indonesia yang memiliki mandat Undang-Undang untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Apakah kurs rupiah terhadap dollar AS yang “stabil” terus turun sekitar 2-3% per tahun selama 20 tahun terakhir itu hasil yang diharapkan? Apakah nilai tukar rupiah yang konsisten “melemah” dari Rp10 ribu di 2005 menjadi Rp16 ribuan di 2025 itu hal yang wajar?

Tentu masyarakat Indonesia tidak bisa hanya menggantungkan nasib rupiah pada Bank Indonesia, mengingat banyak sekali faktor yang berkelindan mempengaruhi kekuatan rupiah. Pemerintah dalam hal ini berbagai Kementerian dan Lembaga seperti Kementerian Keuangan, Perdagangan, Investasi, hingga BPI Danantara harus menjalankan kebijakan yang saling melengkapi untuk memperkuat daya saing Indonesia, yang pada akhirnya dapat memperkuat nilai tukar rupiah.

Rupiah yang terus melemah seharusnya menjadi pengingat bahwa fondasi ekonomi Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan struktural. Stabilisasi kurs tidak dapat dicapai hanya dengan intervensi jangka pendek, tetapi harus ditopang oleh ekspor yang kompetitif, peningkatan produktivitas, dan berkurangnya ketergantungan pada impor.

Perlu adanya komitmen kuat dari pemerintah, pelaku usaha, dan industri untuk memperkuat nilai tambah ekonomi nasional, agar rupiah dapat beranjak dari pola pelemahan kronis menuju mata uang yang lebih mencerminkan potensi besar Indonesia.

Tag:  #rupiahku #sayang #rupiahku #malang

KOMENTAR