INDEF: Lonjakan Produksi Padi RI Hanya Efek Cuaca
Ilustrasi Padi()
11:40
11 November 2025

INDEF: Lonjakan Produksi Padi RI Hanya Efek Cuaca

- Transformasi sektor pangan di Tanah Air berjalan pada tempo berbeda: angka produksi menunjukkan capaian kuantitatif jangka pendek, tetapi fondasi produktivitas dan struktur sektoral belum berubah.

Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai lonjakan produksi padi pada 2025 lebih banyak dipicu anomali iklim daripada perbaikan produktivitas, sehingga upaya menuju swasembada masih menghadapi jalan terjal.

“Transformasi pangan masih menghadapi tantangan struktural meskipun terdapat capaian kuantitatif jangka pendek. Produksi padi 2025 mengalami lonjakan sementara karena anomali iklim, namun belum dibarengi peningkatan produktivitas yang berarti,” ujar Abra dalam laporan terbaru INDEF, dikutip Selasa (11/11/2025).

Tak hanya itu, ketergantungan RI pada impor komoditas strategis, seperti kedelai dan gula, masih tetap tinggi, sementara produktivitas dan luas panen cenderung stagnan.

Struktur kepemilikan lahan yang makin terkonsentrasi juga memperburuk kondisi: hampir 70 persen lahan pertanian dikuasai petani gurem. Lebih jauh, menurut Abra, lebih dari 60 persen praktik pertanian nasional belum memenuhi standar keberlanjutan, baik dari segi efisiensi penggunaan input, ketahanan usaha tani, maupun produktivitas lahan.

Gejala ketidakseimbangan itu terlihat pada dinamika harga beras sepanjang 2025. Sejak awal tahun harga terus melambung; pada Juli-Agustus, beras medium sempat menyentuh Rp 16.196 per kilogram (kg). Sementara beras premium Rp 14.356 per kg.

Kenaikan harga gabah di tingkat petani dan penggilingan turut mendorong inflasi bergejolak sehingga beras menjadi kontributor utama inflasi pangan.

“Harga beras terus naik sejak awal 2025. Medium mencapai Rp 16.196 per kilogram dan premium Rp 14.356 per kilogram pada Juli hingga Agustus. Harga gabah di tingkat petani dan penggilingan juga terus naik. Kondisi ini mendorong inflasi bergejolak melonjak dan menjadikan beras sebagai penyumbang utama inflasi pangan,” paparnya.

Namun pada September 2025 tren berbalik; harga beras medium turun 0,73 persen dan premium turun lebih dalam sebesar 2,79 persen, sementara harga gabah melemah hampir satu persen. Perbaikan ini membuat inflasi bergejolak kembali negatif dan menandakan tekanan pasar mulai mereda.

Koreksi harga pada September beriringan dengan penyaluran cadangan beras pemerintah (CBP). Abra mencatat, stok Perum Bulog turun dari 4,2 juta ton pada Juli menjadi 3,9 juta ton pada September 2025, mencerminkan distribusi yang lebih agresif.

Program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang menjadi andalan intervensi pemerintah tercatat telah menyalurkan 408.000 ton hingga 23 September atau sekitar 31 persen dari target tahunan 1,3 juta ton. Namun realisasi ini masih menyisakan gap 69 persen yang harus dikejar hingga akhir tahun.

Meski penyaluran meningkat sejak awal September tahun ini, efektivitas SPHP dalam menahan harga sangat bergantung pada percepatan pelepasan stok pada bulan-bulan berikutnya.

Lebih jauh, kapasitas intervensi nasional masih besar jika distribusi dikelola efektif. Bulog memiliki lebih dari 31.000 mitra penyalur, 457 outlet ritel modern, dan 828 titik Gerakan Pangan Murah (GPM), terutama di Jawa Timur. Namun distribusi melalui GPM baru mencapai sekitar 6.390 ton atau 1,6 persen dari total realisasi SPHP, sehingga kontribusinya relatif kecil.

Dengan kata lain, intervensi saat ini lebih banyak bergantung pada jaringan mitra tradisional dan ritel modern, sementara penetrasi ke wilayah luar Jawa masih terbatas.

Asimetri distribusi ini memunculkan disparitas harga antar zona. Di Jawa (Zona I dan Zona II) harga beras medium relatif lebih terkendali dan bahkan berada di sekitar atau sedikit di bawah Harga Eceran Tertinggi (HET), yang menandakan efektivitas intervensi bila kanal distribusi dan akses konsumen memadai.

Sedangkan di Zona III (luar Jawa) harga medium masih berada di Rp 15.811 per kg atau sekitar 2 persen di atas HET, mengindikasikan hambatan logistik, ongkos transportasi tinggi, dan keterbatasan kanal distribusi.

Disparitas pada beras premium juga jauh lebih besar: rata-rata nasional premium mencapai Rp 15.962 per kilogram atau sekitar 7,1 persen di atas HET, sedangkan di Zona III premium menembus Rp 18.233 per kg, sekitar 15,4 persen di atas HET.

Karena SPHP menyasar setara beras medium, segmen premium bergerak lebih bebas sehingga rentan terhadap isu persepsi mutu dan oplosan.

Dalam tata kelola stok, lanjut Abra, Bulog menerapkan prinsip FIFO/FEFO untuk menjaga mutu beras. Namun keputusan rapat koordinasi tingkat atas (rakortas) yang mempertahankan harga SPHP, meski HET medium dinaikkan menunjukkan bahwa kebijakan masih membatasi fleksibilitas penyesuaian harga.

Evaluasi INDEF menyimpulkan dua hal: intervensi SPHP memang berkontribusi pada koreksi harga tetapi efeknya tidak merata antarwilayah; dan keberhasilan stabilisasi tidak hanya tergantung pada besarnya stok nasional, melainkan pada efektivitas distribusi serta kerangka kebijakan yang mengatur harga dan volume.

Di samping persoalan beras, sektor pangan juga terus dirundung kontroversi tata niaga gula. Sepanjang 2025 harga gula konsumsi bertahan tinggi di kisaran Rp 18.000 per kg dengan sedikit koreksi pada Juli-September, dari Rp 18.348 menjadi Rp 18.156.

Rata-rata harga gula di tingkat petani atau pabrik sekitar Rp 14.720 per kilogram, sehingga terdapat spread hampir 19 persen, tanda adanya masalah rantai distribusi dan mekanisme pasar.

Pada pertengahan September pemerintah menahan sementara 200.000 ton dari kuota Neraca Komoditas 2025 untuk gula kristal mentah, langkah yang dimaksudkan untuk menguji serapan domestik dan mencegah kebocoran rafinasi ke pasar konsumsi.

Meski kebijakan ini kemungkinan hanya berdampak terbatas pada harga ritel, penundaan impor tersebut menambah ketidakpastian bagi pasokan industri makanan dan minuman jika berlangsung berkepanjangan.

Upaya mempertegas Domestic Market Obligation (DMO) gula mulai terlihat, tetapi desain kelembagaannya belum lengkap. Kebijakan saat ini bertumpu pada dua “pagar” utama: larangan peredaran gula rafinasi di pasar umum dan serapan gula petani oleh BUMN pangan (ID FOOD).

Tanpa regulasi baku mengenai volume wajib serapan, harga acuan, target wilayah, dan mekanisme audit, kebijakan DMO berisiko kurang efektif menurunkan harga eceran meski serapan dan stok intervensi meningkat.

Keseluruhan temuan INDEF menegaskan bahwa persoalan swasembada pangan bukan sekadar soal kuantitas produksi atau besarnya stok. Reformasi struktural yang menyentuh akses lahan, produktivitas pertanian, efisiensi input, infrastruktur logistik, serta desain dan implementasi kebijakan distribusi menjadi prasyarat agar program seperti SPHP benar-benar efektif dan berdampak merata.

Tanpa langkah-langkah tersebut, capaian produksi yang bersifat sementara dikhawatirkan tidak mengubah realitas ketergantungan impor dan ketimpangan harga antar daerah.

Tag:  #indef #lonjakan #produksi #padi #hanya #efek #cuaca

KOMENTAR