Atasi Kolusi Algoritma yang Monopoli Pasar Digital, Ketua KPPU Dorong Revisi UU 5/1999
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan pentingnya perubahan ketiga Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ketua KPPU M Fanshurullah Asa menekankan bahwa pembaruan regulasi ini menjadi langkah strategis untuk menjawab tantangan baru di era ekonomi digital.
Menurutnya, UU tersebut berguna dalam mencegah dan menangani fenomena algorithmic collusion atau kolusi algoritma, yakni persekongkolan untuk memonopoli pasar digital.
Pria yang akrab disapa Ifan itu menjelaskan, revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 sangat penting agar Indonesia memiliki landasan hukum yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan model bisnis modern.
“Bentuk-bentuk dominasi pasar baru, seperti penyalahgunaan data pengguna, diskriminasi algoritmik, dan praktik predatory pricing berbasis kecerdasan buatan (AI), tidak lagi bisa dijangkau dengan instrumen hukum lama,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (7/11/2025).
Ifan mengatakan itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
KPPU menilai, tanpa reformasi hukum yang adaptif, potensi penyalahgunaan data dan algoritma dapat menimbulkan ketimpangan pasar, menghambat inovasi, dan mengunci konsumen dalam ekosistem digital yang monopolistik.
Oleh karena itu, KPPU mengusulkan perluasan definisi “pasar bersangkutan” atau “penyalahgunaan posisi dominan” agar mencakup dominasi berbasis data dan algoritma.
Selain itu, KPPU mendorong penguatan sistem pembuktian dalam perkara persaingan usaha melalui pengakuan terhadap indirect evidence atau bukti tidak langsung berupa data ekonomi dan komunikasi digital.
Langkah tersebut penting untuk menyesuaikan penegakan hukum dengan karakteristik kasus di pasar digital yang sering kali bersifat nonkonvensional.
Ifan mencontohkan, kolusi algoritma kini dapat terjadi tanpa kesepakatan eksplisit antarpelaku usaha ketika sistem harga otomatis saling menyesuaikan melalui pemantauan algoritmik.
“Akibatnya, harga pasar bisa seragam tanpa ada pertemuan dan ini sulit dibuktikan secara hukum,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ifan mengatakan, amandemen UU tersebut tidak hanya soal regulasi, tetapi juga arah besar kebijakan ekonomi nasional.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi modern tidak bisa lagi hanya mengandalkan akumulasi modal dan tenaga kerja.
“Daya saing bangsa ditentukan oleh kemampuan berinovasi dalam sistem ekonomi yang kompetitif dan terbuka,” kata Ifan.
Pada kesempatan itu, Ifan mengutip gagasan dari pemenang Nobel Ekonomi 2025, Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt yang menghubungkan antara inovasi, persaingan, dan pertumbuhan ekonomi.
Dengan reformasi hukum yang tepat, KPPU yakin amandemen ini akan memperkuat keadilan ekonomi, membuka ruang bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk naik kelas, serta menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan.
“Pembaruan UU ini bukan semata kepentingan kelembagaan, melainkan kebutuhan nasional agar Indonesia siap menghadapi tantangan ekonomi digital global,” tutur Ifan.
Isu mendesak lain yang perlu menjadi prioritas adalah pengaturan aspek kesekretariatan, kepegawaian, maupun mekanisme penegakan hukum.
Hal tersebut perlu dilakukan agar posisi KPPU sebagai lembaga independen di bawah rumpun eksekutif memiliki struktur birokrasi yang akuntabel dan efektif.
Dalam hal ini, struktur birokrasi dijalankan melalui pemisahan fungsi yang jelas antara organ administratif dan organ fungsional.
Selain itu, penting pula mewujudkan keberadaan kantor perwakilan di tingkat provinsi sebagai bentuk nyata dari desentralisasi dan dekonsentrasi dalam pelayanan publik.
Dengan demikian, penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan secara lebih merata, responsif, dan sesuai dengan dinamika ekonomi daerah.
Tag: #atasi #kolusi #algoritma #yang #monopoli #pasar #digital #ketua #kppu #dorong #revisi #51999