



Bukan Sekadar Baterai EV, Nikel Pegang Peran Krusial dalam Industri Global
Nikel selama ini sering dibingkai dalam narasi besar transisi energi, terutama sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Namun, pemanfaatan logam ini jauh lebih kompleks dan strategis daripada sekadar pengisi sel baterai. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga nikel dunia justru diserap oleh industri baja tahan karat (stainless steel), bukan industri otomotif berbasis listrik.
Menurut data dari International Nickel Study Group (2023), sekitar 70% konsumsi nikel global digunakan dalam pembuatan stainless steel. Logam ini sangat penting untuk memberikan kekuatan, ketahanan korosi, dan umur panjang pada baja tahan karat, menjadikannya krusial dalam sektor konstruksi, peralatan dapur, hingga arsitektur modern.
Tak hanya itu, sekitar 8–10% nikel digunakan untuk paduan logam super (superalloys) yang diperlukan dalam industri penerbangan dan pertahanan. Sementara industri pelapisan logam (electroplating) menyerap 6–8% nikel untuk membuat permukaan logam tahan karat dan lebih estetis—umumnya digunakan pada barang elektronik, otomotif, hingga perhiasan.
Adapun sektor baterai EV, meskipun menjadi sorotan utama media global, baru menggunakan sekitar 7–10% nikel global, meskipun tren ini terus meningkat seiring dorongan dekarbonisasi. Hal ini diperkuat oleh riset International Energy Agency (IEA, 2022) yang mencatat bahwa permintaan nikel dari sektor energi akan meningkat tiga kali lipat pada 2040, tetapi dominasi pemanfaatan nikel tetap berada di luar industri baterai.

Selain itu, nikel juga memiliki peranan penting dalam industri kimia dan katalis pada proses penyulingan minyak dan gas, yang menyerap sekitar 3–5% dari total produksi. Bahkan dalam konteks pertahanan dan teknologi tinggi, nikel digunakan dalam komponen alat nuklir, sensor suhu tinggi, dan perangkat elektronik presisi tinggi.
Di balik deretan angka dan industri tersebut, Indonesia memegang peranan vital sebagai produsen nikel terbesar dunia. Menurut laporan US Geological Survey (2023), Indonesia menghasilkan lebih dari 1,6 juta metrik ton nikel per tahun, atau sekitar 50% dari total pasokan dunia.
Sebagai produsen nikel terbesar dunia, Indonesia tidak hanya unggul dalam hal cadangan, tetapi juga dalam pengembangan teknologi pengolahan bijih nikel yang semakin terintegrasi.
Salah satu teknologi yang menjadi tulang punggung hilirisasi nikel nasional adalah Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF), yang digunakan untuk mengolah bijih nikel laterit berkadar tinggi (saprolit) menjadi nickel pig iron (NPI) dan feronikel. Teknologi RKEF terbukti efisien untuk produksi skala besar dan menjadi pilihan utama bagi smelter-smelter nikel di kawasan Indonesia timur seperti Sulawesi dan Maluku Utara, menggarisbawahi peran dominan nikel dalam industri baja tahan karat global. Sementara, Feronikel adalah paduan besi dan nikel yang dimanfaatkan dalam pembuatan baja, terutama baja tahan karat atau stainless steel. Proses RKEF mengubah bijih nikel (saprolit) menjadi feronikel dengan memanfaatkan panas tinggi. Sebagai tambahan, dalam mengolah bijih laterit kadar rendah (limonit), digunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk kebutuhan baterai lithium-ion.
Lebih jauh, RKEF yang kini salah satunya sudah diterapkan di Harita Nickel dalam produksi feronikel, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dilakukan dengan memanaskan bijih saprolit dalam tanur putar (rotary kiln) yang bertujuan menghilangkan kandungan air dan zat volatil, sebelum dilebur dalam tungku listrik (electric furnace) guna menghasilkan logam nikel mentah berkandungan tinggi. Metode ini terbukti efisien untuk produksi skala besar.
Zhang dkk dalam risetnya yang dipublikasikan di Journal of Sustainable Metallurgy, teknologi RKEF mampu menghasilkan efisiensi pemrosesan yang tinggi dan relatif stabil dari sisi energi dan emisi, menjadikannya cocok untuk keperluan ekspor maupun kebutuhan industri domestik baja tahan karat. Industri besar seperti Harita Nickel, Vale Indonesia, Tsingshan, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) telah mengadopsi metode ini dalam skala kawasan industri.
Meski kompleks dan mahal, teknologi ini penting dalam mendukung transisi energi global. Namun, volumenya masih terbatas dan lebih terkonsentrasi pada proyek-proyek yang mendapat dukungan dari mitra teknologi global.
Di tengah upaya hilirisasi ini, Vale Indonesia dan Harita Nickel jadi dua diantara sekian banyak perusahaan yang sudah mengintegrasikan RKEF dan HPAL secara strategis. Dengan pendekatan teknologi yang adaptif serta komitmen terhadap ESG, industri nikel Indonesia, yang selama ini dianggap sebagai penyokong revolusi teknologi baterai, sebenarnya telah lebih dahulu menopang sektor infrastruktur dan manufaktur dunia melalui stainless steel.
Kini, dengan RKEF dan HPAL sebagai tulang punggung hilirisasi, Indonesia tidak sekadar menggali kekayaan alam, tapi juga membangun fondasi industrialisasi berkelanjutan yang semakin diakui dunia.
Tag: #bukan #sekadar #baterai #nikel #pegang #peran #krusial #dalam #industri #global