Potret Buram Ketenagakerjaan yang Terus Berulang
Gudang UD Sentoso Seal di Surabaya, Senin (21/4/2025).(KOMPAS.com/IZZATUN NAJIBAH)
06:16
22 April 2025

Potret Buram Ketenagakerjaan yang Terus Berulang

BARU-baru ini, media sosial dihebohkan oleh video viral yang memperlihatkan ratusan pencari kerja berebut menyerahkan lamaran ke salah satu perusahaan di Batam.

Pemandangan tersebut menggambarkan realitas getir: antrean panjang pencari kerja yang berebut masuk ke pintu kerja yang sempit.

Di tempat lain, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, melakukan inspeksi mendadak ke UD Sentoso Seal di Surabaya. Ia menemukan praktik tak manusiawi berupa penahanan ijazah milik pekerja.

Praktik semacam ini masih sering terjadi, seolah-olah pekerja adalah milik perusahaan, bukan manusia yang memiliki hak dan martabat.

Apakah ini peristiwa baru? Jawabannya: Tidak.

Kejadian-kejadian ini hanyalah sebagian kecil dari potret buram ketenagakerjaan Indonesia: mulai dari antrean panjang sebelum bekerja, proses rekrutmen tidak adil, nasib buruk selama bekerja, hingga kehidupan memprihatinkan setelah tidak bekerja. Pekerja Indonesia menghadapi tantangan dari hulu ke hilir.

Diperkirakan, jutaan surat lamaran kerja dikirim setiap bulan ke berbagai perusahaan. Sebuah artikel menyebutkan, seseorang yang melamar ke Tokopedia harus bersaing dengan 70.000 pelamar lainnya setiap bulan.

Fenomena "pencari warung seblak" adalah gambaran nyata lainnya dari peliknya dunia kerja. Ratusan generasi muda mengantre untuk wawancara kerja di warung seblak di Ciamis pada Mei 2024.

Padahal, hanya 20 orang yang dibutuhkan. Ironisnya, pekerjaan tersebut menawarkan upah di bawah UMK Ciamis sebesar Rp 2,1 juta dan tanpa jaminan sosial.

Sisi gelap lainnya adalah maraknya praktik pencaloan ilegal, koneksi orang dalam (ordal), nepotisme, dan diskriminasi. Banyak pekerja diterima bukan karena kompetensi, melainkan melalui jalur kotor. Bahkan di sektor informal pun, praktik ini sering terjadi.

Kultur "ordal" dan nepotisme sangat kental, terutama di BUMN dan lembaga pemerintahan. Praktik ini kerap disertai suap besar-besaran.

Sayangnya, belum ada survei resmi yang mencatat persentase praktik ini, mengingat sifatnya ilegal dan sulit didokumentasikan. Namun, berdasarkan pengamatan lapangan, di sektor pabrik saja diperkirakan lebih dari 70 persen pekerja diterima melalui pencaloan gelap.

Lebih tragis lagi, muncul praktik kekerasan seksual terselubung. Salah satunya adalah peristiwa "staycation" sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja yang terjadi di pabrik di Kawasan Industri Jababeka, Bekasi. Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus serupa sering terjadi.

Diskriminasi juga terlihat dalam proses rekrutmen: batasan usia, tinggi badan, dan penampilan fisik yang menarik sering kali menjadi syarat utama.

Hal ini menutup akses pekerjaan bagi mereka yang berusia di atas 30 tahun atau tidak memenuhi "standar" fisik.

Sayangnya, negara malah melegitimasi diskriminasi ini. Pada 2023, Leonardo Olefins Hattonangan menggugat batasan usia dalam UU No. 13 Tahun 2003 ke Mahkamah Konstitusi.

Ia berargumen bahwa aturan tersebut melanggar hak konstitusional untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, MK menolak gugatan tersebut.

MK menyatakan bahwa diskriminasi berdasarkan usia tidak melanggar konstitusi, karena tidak termasuk dalam kategori diskriminasi yang dilarang seperti agama, suku, ras, jenis kelamin, dan keyakinan politik. Gugatan serupa oleh Syamsul Jahidin dan kawan-kawan juga ditolak.

Ini memperlihatkan bahwa perjuangan melawan diskriminasi usia dalam ketenagakerjaan masih panjang. Padahal, semestinya selama seseorang cakap dan mampu bekerja, negara wajib menjamin haknya untuk mendapat pekerjaan.

Persyaratan lain yang meresahkan adalah "berpenampilan menarik" (good looking). Syarat ini membuka celah terjadinya pelecehan seksual dan memberi dampak psikologis negatif bagi pencari kerja, terutama perempuan.

Seluruh praktik ini mencerminkan betapa ketidakadilan dalam pasar kerja Indonesia masih masif. Fenomena staycation, pencaloan gelap, dan ordal adalah manifestasi dari tingginya tekanan dan persaingan untuk mendapat pekerjaan, yang justru mendorong lahirnya praktik tidak sehat.

Masalah pekerja tidak berhenti saat mereka diterima bekerja. Banyak yang hidup dalam kondisi minim kesejahteraan.

Istilah "pekerja Senin-Kamis" menggambarkan mereka yang hanya mampu bertahan hidup hingga pertengahan minggu. Sisanya, mereka harus berutang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Gaji habis untuk biaya hidup dasar seperti sewa, transportasi, dan makan. Ketika ada kebutuhan mendesak—pendidikan anak, kesehatan—pinjaman online (pinjol) menjadi jalan pintas yang berujung jeratan utang berkepanjangan.

Kebijakan pengupahan, termasuk upah minimum dan struktur pengupahan, masih menyisakan banyak ketimpangan. Padahal, pasar kerja yang adil dan kompetitif tidak mungkin tercipta tanpa perlindungan dan penegakan hak pekerja yang tegas.

Kebijakan pengupahan di Indonesia yang mencakup aspek seperti upah minimum, struktur dan skala upah, serta pembayaran lembur, juga menjadi sorotan.

Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang ditetapkan sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, terutama di wilayah dengan biaya hidup yang tinggi.

Akibatnya, banyak pekerja harus menerima kondisi kerja dengan bayaran rendah yang tak sebanding dengan beban kerja.

Bahkan dalam pelaksanaan upah minimum, masih ditemukan berbagai pelanggaran oleh perusahaan. Banyak perusahaan yang tidak membayar sesuai UMP/UMK, atau bahkan melakukan praktik manipulasi administrasi untuk menghindari kewajiban membayar secara penuh.

Sementara itu, lembaga pengawas ketenagakerjaan sering kali kurang responsif atau kekurangan sumber daya dalam menindak pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Banyak kisah buram juga dialami para pekerja setelah masa kerjanya usai, yang mencerminkan ketidakadilan sosial dan lemahnya sistem jaminan sosial di Indonesia. Tidak sedikit pensiunan yang hidup dalam kesulitan finansial di hari tua.

Riset Asian Development Bank (ADB) pada Mei 2024 mencatat, sekitar 50 persen pensiunan atau lansia di Indonesia bergantung pada bantuan keuangan dari anak-anak mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Kondisi ini disebabkan minimnya perencanaan keuangan sejak dini, gaya hidup yang tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi, serta absennya dana pensiun yang layak dan merata.

Realitas ini kian menegaskan buramnya potret ketenagakerjaan di Indonesia. Pekerja masih berada di posisi lemah dalam relasi industrial. Mereka kerap terpaksa menerima kondisi kerja yang tidak adil karena dibayangi ancaman kehilangan pekerjaan.

Ketika hak-hak mereka dilanggar, jalan menuju keadilan pun tidak mudah. Proses pengaduan dan penyelesaian sengketa berlangsung lambat, berbelit, dan sering kali tidak berpihak pada kepentingan pekerja.

Kasus terbaru di UD Sentosa Seal milik Jan Hwa Diana di Surabaya, Jawa Timur, memperlihatkan kenyataan itu dengan gamblang.

Perusahaan tersebut terbukti melakukan pemotongan gaji karena alasan menjalankan ibadah, serta menahan ijazah karyawan yang sudah tidak lagi bekerja. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga penghinaan terang-terangan terhadap martabat pekerja.

Kasus-kasus di atas bukan satu-satunya kasus. Ia hanyalah potongan kecil dari gunung es persoalan ketenagakerjaan di negeri ini—sistem yang masih jauh dari prinsip keadilan, dan terlalu sering membiarkan pekerja menjadi korban tanpa perlindungan yang layak.

Menolak diskriminasi dalam rekrutmen kerja

Diskriminasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja masih menjadi persoalan serius dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.

Praktik ini kerap kali terjadi dalam bentuk pencantuman persyaratan non-substansial, seperti batasan usia yang terlalu sempit, tuntutan penampilan fisik tertentu, status pernikahan, hingga tinggi dan berat badan yang “proporsional”.

Persyaratan semacam ini menciptakan eksklusi sosial terhadap kelompok tertentu dan mempersempit akses masyarakat terhadap kesempatan kerja yang adil.

Salah satu bentuk diskriminasi yang paling menonjol adalah pembatasan usia kerja. Tidak sedikit iklan lowongan yang mencantumkan persyaratan usia maksimal 25 atau 30 tahun untuk posisi yang sesungguhnya tidak membutuhkan kemampuan fisik yang hanya dimiliki oleh kelompok usia muda.

Hal ini menciptakan ketimpangan akses kerja bagi pencari kerja usia produktif yang telah melewati batas usia tersebut, sekalipun mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan yang relevan.

Sementara itu, tuntutan akan penampilan fisik, yang seringkali dikemas dalam istilah “berpenampilan menarik”, merupakan bentuk bias visual yang sangat subjektif dan tidak dapat dijadikan indikator valid dalam menilai kompetensi seseorang.

Jika dibandingkan dengan praktik di berbagai negara maju, Indonesia masih tertinggal dalam hal perlindungan terhadap diskriminasi kerja.

Di Uni Eropa, melalui Equal Treatment Framework Directive, segala bentuk diskriminasi dalam perekrutan tenaga kerja—baik berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, agama, maupun penampilan fisik—dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan.

Di negara-negara seperti Jerman dan Belanda, bahkan penyertaan foto dalam curriculum vitae dianggap tidak perlu dan berisiko menimbulkan bias dalam proses seleksi.

Amerika Serikat, melalui Age Discrimination in Employment Act (ADEA) yang diatur oleh Equal Employment Opportunity Commission (EEOC), memberikan perlindungan hukum yang kuat terhadap pekerja berusia 40 tahun ke atas agar tidak didiskriminasi dalam proses rekrutmen, promosi, maupun pemutusan hubungan kerja.

Hal serupa juga diterapkan di Kanada dan Australia, di mana undang-undang ketenagakerjaan secara tegas melarang diskriminasi dalam berbagai bentuk.

Sayangnya, di Indonesia belum terdapat regulasi yang secara eksplisit melarang diskriminasi berbasis usia dan penampilan dalam rekrutmen.

Lemahnya pengawasan dan belum adanya mekanisme pengaduan yang efektif membuat praktik-praktik diskriminatif ini berlangsung tanpa sanksi.

Hal ini sangat disayangkan, terutama dalam konteks bonus demografi yang sedang dinikmati Indonesia, di mana potensi sumber daya manusia melimpah seharusnya dapat dimaksimalkan tanpa hambatan diskriminatif.

Dalam perspektif pembangunan sumber daya manusia, proses seleksi kerja seharusnya mengedepankan prinsip meritokrasi, yaitu menilai individu berdasarkan kompetensi, pengalaman, dan integritas, bukan pada faktor-faktor non-substansial yang tidak relevan dengan performa kerja.

Paradigma rekrutmen harus berubah dari yang bersifat dangkal dan visual menjadi berbasis pada penilaian objektif dan transparan.

Gugatan terhadap praktik diskriminatif ini sempat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji materi terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sayangnya, MK menolak gugatan tersebut melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXII/2024.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa penentuan syarat usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan merupakan kewenangan dunia usaha dan tidak dianggap sebagai bentuk diskriminasi menurut hukum yang berlaku.

Dengan demikian, penting bagi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama mendorong pembaruan regulasi ketenagakerjaan yang melarang secara tegas semua bentuk diskriminasi dalam proses perekrutan.

Di saat yang sama, perlu ada edukasi publik untuk memperkuat kesadaran bahwa keberagaman usia, latar belakang, dan karakter fisik justru merupakan modal sosial yang dapat memperkaya dunia kerja.

Tolak dogma “sudah bekerja, jangan banyak menuntut”

Kasus PHK massal terhadap 1.126 buruh PT Yihong Novatex Indonesia pada awal Maret 2025 menjadi cermin buram rendahnya posisi tawar pekerja di negeri ini.

Pabrik tekstil dan alas kaki di Desa Kanci, Cirebon, tiba-tiba menghentikan operasional, menggantung nasib ribuan buruh.

Namun alih-alih mengkritisi akar persoalan—PHK sepihak dan pelanggaran hak normatif—narasi publik justru menyudutkan buruh yang bereaksi spontan.

Komentar sinis seperti, “Susah cari kerja, malah mogok gara-gara tiga orang dipecat,” ramai di media sosial. Pandangan ini dangkal, bias, dan memperlihatkan miskinnya pemahaman publik tentang hak dasar buruh dan arti penting aksi kolektif dalam demokrasi industri.

Padahal, mogok kerja bukan bentuk pembangkangan. Itu adalah hak yang dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan standar Organisasi Buruh Internasional (ILO)—alat sah bagi pekerja untuk menyampaikan keberatan atas perlakuan tidak adil.

Ketika tiga orang di-PHK secara sepihak, solidaritas rekan kerja mereka bukan tindakan bodoh, tetapi ekspresi keberanian moral dan kesadaran kelas. Di situlah letak kekuatan buruh: tidak membiarkan satu pun diperlakukan semena-mena.

Lebih jauh, dalam kasus PT Yihong Novatex, buruh tetap hadir dan melakukan absensi saat aksi berlangsung, meskipun produksi terhenti akibat ketiadaan bahan baku.

Ini menegaskan bahwa gangguan operasional bukan sepenuhnya karena aksi mogok, melainkan karena kegagalan manajemen.

Ironisnya, sebagian publik malah membandingkannya dengan Vietnam: “Lebih baik investasi di Vietnam, di sana tak ada mogok kerja.” Ini narasi menyesatkan.

Negara yang menekan hak mogok bukan menciptakan iklim investasi yang sehat, melainkan membangun sistem kerja represif. Kita tidak seharusnya meniru penindasan, tetapi membangun demokrasi ekonomi yang menghargai martabat manusia.

Sayangnya, hingga kini, masih tertanam kuat dogma membungkam: “Sudah bekerja, jangan banyak menuntut.” Dogma ini bukan sekadar ucapan sinis, tapi senjata ideologis yang menundukkan pekerja agar menerima ketidakadilan sebagai keniscayaan. Ia melanggengkan ketimpangan dan membungkam aspirasi.

Dogma ini menciptakan ilusi bahwa pekerjaan adalah “pemberian”, bukan hasil kontrak setara antara pekerja dan pemberi kerja.

Padahal, buruh menyumbangkan waktu, tenaga, dan keterampilan—itulah fondasi nilai tambah perusahaan. Maka wajar jika mereka menuntut upah layak, jaminan sosial, lingkungan kerja aman, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Di negara-negara dengan demokrasi industri yang matang seperti Swedia dan Jerman, hak untuk menuntut adalah bagian dari sistem.

Serikat pekerja di Swedia menjadi mitra dalam penyusunan kebijakan perusahaan. Di Jerman, buruh memiliki kursi di dewan pengawas. Mereka menyadari: ekonomi yang kuat dibangun oleh pekerja yang kritis, bukan oleh pekerja yang patuh dan takut bersuara.

Namun di Indonesia, dogma lama masih dilestarikan dalam bungkus budaya “nrimo”, loyalitas buta, atau rasa “terima kasih” karena diberi pekerjaan. Padahal, pekerjaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari kompetensi dan kontribusi nyata para pekerja.

Kini saatnya kita menolak dogma menyesatkan ini. Menuntut hak bukan bentuk ketidaksyukuran, tetapi wujud kesadaran dan tanggung jawab sosial. Negara harus hadir—melindungi hak buruh, menjamin kebebasan berserikat, dan membangun sistem ketenagakerjaan yang adil.

Sebab dunia kerja yang sehat tak lahir dari ketakutan untuk bersuara, melainkan dari keberanian kolektif untuk menuntut apa yang memang menjadi hak bersama.

Jalan keluar dari potret buram ketenagakerjaan

Potret buram ketenagakerjaan Indonesia bukan sekadar deretan keluhan atau angka statistik yang suram. Ia adalah refleksi nyata dari persoalan struktural yang telah berlangsung lama tanpa upaya pembenahan yang sungguh-sungguh.

Ketimpangan upah, diskriminasi dalam proses rekrutmen, lemahnya perlindungan hak-hak pekerja, hingga ketiadaan jaminan kesejahteraan pascakerja membentuk rangkaian persoalan yang saling terkait dan menuntut penanganan secara sistemik.

Situasi ini tidak bisa dijawab dengan solusi normatif semata. Diperlukan langkah-langkah realistis dan aplikatif, yang mampu menjangkau akar persoalan dan menata ulang sistem ketenagakerjaan secara menyeluruh.

Sebagai pijakan hukum, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya telah mengatur banyak aspek, mulai dari perencanaan tenaga kerja, pelatihan, penempatan, hubungan kerja, perlindungan, hingga sanksi administratif dan pidana.

Namun dalam praktiknya, banyak pasal dalam undang-undang ini yang belum mampu menjawab tantangan ketenagakerjaan hari ini secara efektif—baik karena penegakan yang lemah, pengawasan minim, maupun karena perubahan zaman yang menuntut pembaruan regulasi.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas tersebut, berikut lima usulan jalan keluar yang dapat menjadi awal dari perbaikan nyata dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia.

Pertama, sistem rekrutmen tenaga kerja perlu direformasi agar lebih terbuka, transparan, dan berkeadilan. Praktik-praktik diskriminatif berbasis usia, penampilan fisik, atau status perkawinan harus dihentikan.

Negara perlu menegaskan larangan diskriminasi melalui regulasi yang kuat dan pengawasan ketat. Rekrutmen tenaga kerja harus berbasis pada kompetensi, bukan preferensi sempit yang menyingkirkan kelompok tertentu.

Kedua, sistem pengupahan perlu ditinjau kembali agar benar-benar mencerminkan nilai kerja yang adil. Formula penetapan upah minimum harus mempertimbangkan kebutuhan hidup layak yang disesuaikan dengan kondisi lokal.

Selain itu, setiap perusahaan wajib menyusun struktur dan skala upah untuk menjamin keadilan internal di tempat kerja. Negara dapat memberikan insentif fiskal bagi perusahaan yang konsisten menerapkan upah layak dan memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.

Ketiga, pengawasan ketenagakerjaan harus diperkuat. Pemerintah tidak cukup hanya membuat aturan, tetapi juga harus aktif memastikan aturan tersebut dijalankan.

Penambahan jumlah pengawas ketenagakerjaan, peningkatan kapasitas mereka, serta penyediaan jalur pengaduan yang responsif dan aman bagi pekerja menjadi kebutuhan mendesak.

Pelanggaran terhadap hak pekerja harus direspons dengan sanksi tegas dan tidak boleh ada kompromi terhadap eksploitasi.

Keempat, negara harus memperluas perlindungan terhadap pekerja informal dan mendorong integrasi mereka ke dalam sistem jaminan sosial nasional. Literasi hukum dan keuangan perlu ditingkatkan agar pekerja memiliki daya tawar dan kesiapan menghadapi risiko pekerjaan.

Dalam jangka panjang, penguatan sistem pensiun dan perlindungan pascakerja menjadi investasi penting bagi keberlanjutan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia.

Kelima, perluasan peluang kerja di pasar global—baik melalui program magang maupun penempatan pekerja migran yang terlindungi—merupakan strategi alternatif yang perlu digenjot.

Dengan membangun ekosistem pelatihan kerja yang adaptif dan berstandar internasional, Indonesia dapat mengubah surplus tenaga kerja menjadi kekuatan ekonomi berbasis remitansi.

Secara keseluruhan, jalan keluar dari krisis ketenagakerjaan nasional bukan semata soal menciptakan lapangan kerja baru, tetapi lebih kepada membangun sistem ketenagakerjaan yang adil, transparan, dan manusiawi.

Ketika hak pekerja dihormati dan kesejahteraan dijadikan prioritas, maka ketenagakerjaan bukan lagi menjadi beban, melainkan kekuatan bangsa.

Tag:  #potret #buram #ketenagakerjaan #yang #terus #berulang

KOMENTAR