Bersama Lebih Bermakna, Pentingnya Sinergi Sektor Publik dan Swasta untuk Hadapi Tantangan Ekonomi Indonesia di 2025
PT Bank SMBC Indonesia Tbk (SMBC Indonesia) menggelar ajang SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (18/2/2025) yang menghadirkan pejabat pemerintahan, ahli ekonomi, dan pemerhati politik untuk membedah tantangan dan peluang yang akan dihadapi Indonesia pada 2025. ((dok. SMBC Indonesia)
16:48
24 Februari 2025

Bersama Lebih Bermakna, Pentingnya Sinergi Sektor Publik dan Swasta untuk Hadapi Tantangan Ekonomi Indonesia di 2025

Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2025, sebuah ambisi besar di tengah situasi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. 

Dalam satu dekade terakhir, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5 persen. 

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai kebijakan strategis, mulai dari peningkatan investasi, hilirisasi industri, hingga dorongan fiskal guna memperkuat daya beli masyarakat.

Namun, di tengah optimisme tersebut, tantangan global dan domestik masih membayangi. Perlambatan ekonomi dunia, suku bunga tinggi, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, serta daya beli masyarakat yang cenderung melemah menjadi faktor-faktor yang perlu diantisipasi.

Pada ajang SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 yang diselenggarakan oleh PT Bank SMBC Indonesia Tbk (SMBC Indonesia) di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (18/2/2025), pejabat pemerintahan, ahli ekonomi, pemerhati politik, dan pelaku industri hadir untuk mendiskusikan prospek ekonomi, potensi investasi, serta kondisi politik di Indonesia.

Mengusung tema “Peluang dan Tantangan 2025: Sinergi Sektor Publik dan Swasta”, seminar itu hadir sebagai respons terhadap peluang dan tantangan ekonomi yang nasabah dan publik akan hadapi di tengah dinamika geopolitik dan kebijakan dalam negeri. 

Dengan memahami peluang yang ada, SMBC Indonesia hadir untuk membantu para nasabah memaksimalkan setiap peluang untuk tumbuh bersama lebih bermakna.

Direktur Utama SMBC Indonesia Henoch Munandar mengatakan, perbankan Indonesia telah menunjukkan resiliensi yang sangat baik selama 2024. Ia mengaku senang bisa terus hadir untuk menciptakan pertumbuhan lebih bermakna bagi masyarakat sekaligus membantu mendorong perekonomian negara.

“Sejalan dengan semangat kolaborasi SMBC Indonesia, kami beraspirasi agar diskusi ini dapat menumbuhkan kemitraan pemerintah dan swasta untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di berbagai segmen,” katanya.

Strategi pemerintah untuk capai target pertumbuhan ekonomi 2025

Dalam pidato kuncinya, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan serangkaian strategi fiskal untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen.

"APBN akan tetap menjadi instrumen utama untuk menjaga daya beli masyarakat, menekan inflasi, dan mempercepat pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan produktivitas ekonomi," ujarnya.

Salah satu upaya utama yang dilakukan pemerintah adalah menarik lebih banyak investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Dedi Latip menjelaskan, pemerintah akan memperkuat daya tarik Indonesia bagi investor global dengan insentif fiskal, percepatan birokrasi, serta peningkatan kepastian hukum.

"Indonesia tidak hanya harus menarik investor, tetapi juga memastikan bahwa investasi yang masuk benar-benar berkualitas dan berorientasi jangka panjang," katanya.

Namun, upaya tersebut tidak akan mudah. Pemerintah harus menghadapi tantangan dari fluktuasi nilai tukar rupiah, kenaikan harga bahan baku global, serta melemahnya konsumsi domestik.

Tantangan global, suku bunga AS, perlambatan ekonomi China, dan risiko geopolitik

Menurut Ekonom SMBC Group Zhang Bohan, Indonesia tidak bisa mengabaikan ketidakpastian global yang masih menjadi faktor utama dalam menentukan arah ekonomi tahun ini. 

Sebagai contoh, menurut Zhang, kebijakan suku bunga yang dibuat Bank Indonesia (BI) tetap harus memperhatikan keputusan dari Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed. 

"The Fed kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga secepat yang diharapkan. Inflasi AS masih tinggi sehingga nilai dollar AS tetap kuat dan menekan nilai tukar negara berkembang, termasuk rupiah," ujar Zhang.

Kondisi itu berisiko menaikkan biaya impor, meningkatkan inflasi, dan membuat BI harus lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan moneter. Jika rupiah terlalu melemah, BI harus menjaga suku bunga tetap tinggi agar investor asing tidak menarik modalnya dari Indonesia.

Zhang juga menyoroti penurunan permintaan di China yang selama ini menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.

"Sektor properti China sedang mengalami krisis yang bisa berdampak pada melemahnya permintaan bahan baku dari Indonesia, terutama batu bara, nikel, dan minyak sawit," jelasnya.

Jika ekspor Indonesia ke China melambat, target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa semakin sulit dicapai.

Zhang juga memperingatkan bahwa risiko perang dagang antara AS dan China dapat semakin memperumit situasi.

"Jika Donald Trump menerapkan tarif lebih agresif terhadap produk China, rantai pasok global bisa terganggu. Hal ini juga akan berdampak pada industri manufaktur di Indonesia," tambahnya.

Dilema kebijakan moneter, fiskal, dan ekonomi hijau dalam negeri

Di tengah ketidakpastian global yang berpengaruh terhadap stabilitas rupiah dan investasi, Indonesia juga menghadapi tantangan internal yang tak kalah besar.

Anggota Dewan Ekonomi Nasional dan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, Indonesia berada dalam posisi sulit dalam menentukan kebijakan ekonomi.

"Jika Bank Indonesia menurunkan suku bunga, rupiah bisa melemah lebih jauh, yang berpotensi meningkatkan inflasi. Namun, jika suku bunga tetap tinggi, kredit dan investasi akan melambat," katanya.

Chatib juga mengingatkan bahwa ruang fiskal pemerintah semakin terbatas, dengan defisit anggaran yang dijaga di kisaran 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Defisit anggaran memang dijaga di 2,5 persen dari PDB, tapi pemerintah harus berhati-hati dalam pengelolaan belanja agar tidak mengorbankan stimulus ekonomi," tambahnya.

Tak hanya itu, dengan utang pemerintah yang terus bertambah dan kebutuhan belanja yang meningkat, pemerintah juga harus berhati-hati dalam mengelola anggaran.

"Jika pemerintah terus menggenjot belanja tanpa meningkatkan penerimaan pajak, risiko defisit anggaran yang lebih besar bisa menjadi ancaman," ujar Chatib.

Untuk itu, pemerintah harus lebih fokus pada investasi berkualitas yang dapat memberikan efek berganda terhadap perekonomian.

"Hilirisasi industri, pengembangan energi hijau, serta proyek infrastruktur strategis perlu menjadi prioritas, tetapi harus dilakukan dengan perencanaan yang matang agar tidak membebani anggaran negara," tambahnya.

Chatib turut menyoroti pentingnya transisi ke ekonomi hijau untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Menurutnya, Indonesia perlu lebih banyak berinvestasi dalam sektor energi baru dan terbarukan serta mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. 

"Ini bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga soal daya saing Indonesia di pasar global," tambahnya.

Jika gagal beradaptasi, imbuhnya, Indonesia bisa tertinggal dari negara lain yang lebih cepat dalam mengadopsi ekonomi hijau.

Direktur Utama SMBC Indonesia Henoch Munandar saat membuka SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 yang diselenggarakan oleh PT Bank SMBC Indonesia Tbk (SMBC Indonesia) di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (18/2/2025). dok. SMBC Indonesia Direktur Utama SMBC Indonesia Henoch Munandar saat membuka SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 yang diselenggarakan oleh PT Bank SMBC Indonesia Tbk (SMBC Indonesia) di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Stabilitas politik dalam negeri dan dampaknya terhadap kelas menengah

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menjelaskan bahwa meskipun kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo masih tinggi, ada tanda-tanda peningkatan ketidakpuasan di kalangan kelas menengah.

Burhanudin pun memaparkan hasil survei Indikator Politik Indonesia terkait tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Survei tersebut menunjukkan bahwa 79,3 persen masyarakat merasa puas. 

Hal tersebut terjadi karena kemampuan pemerintah untuk menjaga inflasi di tingkat rendah. Seperti diketahui, inflasi pada 2024 berada di angka 1,57 persen secara tahunan yang terjaga dalam rentang sasaran 2,5 persen dengan toleransi kurang lebih 1 persen.

Meski pemerintah berhasil mencapai inflasi rendah dengan tingkat kepuasan tinggi, banyak masyarakat merasa pemerintah belum bisa mengendalikan harga kebutuhan pokok.

"Survei kami menunjukkan bahwa di tengah inflasi rendah, masyarakat tetap merasa harga kebutuhan pokok mahal. Ini menunjukkan daya beli yang stagnan," katanya.

Manuver politik Prabowo dan dampaknya

Burhanudin juga menguraikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil Prabowo, seperti beban fiskal tinggi dan keikutsertaan Indonesia di BRICS, juga menuai perhatian karena bisa berdampak pada stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat kelas menengah.

Burhanudin menjelaskan Prabowo memang memiliki basis koalisi politik yang sangat kuat karena didukung oleh mayoritas partai. 

"Akan tetapi, ia harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan. Jika kebijakan ekonomi lebih banyak menguntungkan kelas atas, kelas menengah dan bawah yang akan paling merasakan dampaknya," jelasnya.

Menurutnya, kelompok kelas menengah yang kehilangan daya beli bisa menjadi kelompok yang paling vokal dalam mengekspresikan ketidakpuasan. Hal ini dapat berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi.

Sementara itu, Henoch Munandar menegaskan bahwa perbankan memiliki peran krusial dalam mendukung tercapainya target pertumbuhan ekonomi pemerintah.

"Kami percaya bahwa dengan sinergi antara pemerintah dan sektor swasta, serta seluruh pihak terkait, kita dapat menghadapi tantangan dan meraih peluang yang ada untuk ekonomi Indonesia inklusif, lebih maju, dan sejahtera,” kata Henoch.

Henoch melanjutkan, SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 sekaligus mengukuhkan komitmen perseroan untuk terus hadir memberikan layanan yang mampu menjawab kebutuhan nasabah di berbagai segmen.

“SMBC Indonesia akan terus menghadirkan solusi keuangan yang inovatif dan komprehensif agar dapat menciptakan lebih banyak pertumbuhan bersama yang lebih bermakna bagi masyarakat dan meningkatkan kontribusi nyata kami bagi kemajuan perekonomian negara,” tutup Henoch.

Indonesia memiliki tantangan besar dalam mencapai target pertumbuhan 8  persen pada 2025. Namun, dengan kebijakan fiskal yang kuat, stabilitas politik yang terjaga, serta sinergi sektor swasta, target tersebut masih mungkin diwujudkan.

Editor: Anissa Dea Widiarini

Tag:  #bersama #lebih #bermakna #pentingnya #sinergi #sektor #publik #swasta #untuk #hadapi #tantangan #ekonomi #indonesia #2025

KOMENTAR