



Remote Working Penuh Risiko Burnout dan Keamanan Data
- Banyak ibu rumah tangga kini memilih jalur baru dalam berkarier. Setelah memiliki anak atau merasa tak lagi cocok dengan sistem kerja konvensional, mereka mulai beralih menjadi pekerja jarak jauh. Baik sebagai freelancer maupun full-time remote worker.
“Fenomena ini semakin terlihat belakangan ini, karena dorongan kuat dari para ibu untuk tetap dekat dengan keluarga, tapi di sisi lain mereka ingin tetap produktif dan tidak menyia-nyiakan ilmu yang sudah diperoleh,” ujar dosen manajemen sumber daya manusia FEB Universitas Airlangga Dr Tri Siwi Agustina SE MSi.
Menurut Siwi, pilihan menjadi remote worker bukanlah bentuk mundur dari dunia kerja, melainkan penyesuaian. “Ada banyak ibu rumah tangga yang dulunya memang berpendidikan tinggi, punya pengalaman kerja. Mereka hanya mengganti bentuk berkaryanya. Eksistensi mereka tetap ada, meski tidak lagi masuk kantor setiap hari,” tuturnya.
Bahkan, lanjut Siwi, ada lulusan perguruan tinggi yang sejak awal memang memilih menjadi pekerja lepas atau membangun karier secara mandiri berbasis digital. “Mereka tidak melamar ke mana-mana, tapi langsung mengambil proyek. Mereka ini tetap profesional, saya menyebut mereka sebagai self-worker,” imbuh Siwi.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari pergeseran sistem kerja global. Sejak pandemi COVID-19, banyak perusahaan mulai mengenal fleksibilitas kerja jarak jauh. Sebagian bahkan menawarkan sistem hybrid atau full remote sejak proses rekrutmen awal.
“Pandemi kemarin itu momentum pembelajaran besar. Ternyata banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Setelah itu, didorong lagi oleh isu efisiensi perusahaan. Maka remote working jadi solusi win-win,” ungkap Siwi.
Dunia kerja pun ikut beradaptasi. Banyak profesi kini bisa dijalankan tanpa harus datang ke kantor, misalnya penulis, desainer, penerjemah, atau pengajar daring. “Yang penting bisa setor hasil, berkomunikasi virtual, dan profesional,” katanya.
Menurut Siwi, remote working juga memberikan peluang besar karena lebih inklusif. “Tak ada batasan usia, gender, status, bahkan penampilan fisik. Selama seseorang punya skill dan bisa dipercaya, maka bisa berkarya,” ujarnya.
Namun, di balik semua fleksibilitas itu, tantangan tetap ada. Salah satu yang paling krusial adalah komunikasi dan kolaborasi. Karena tak bertemu langsung, miskomunikasi bisa terjadi, bahkan konflik bisa muncul tanpa disengaja.
“Tantangan lain adalah manajemen waktu. Karena bekerja dari rumah, kita dituntut lebih disiplin. Jangan sampai pekerjaan molor tanpa kabar. Itu bisa merusak kepercayaan klien,” kata Siwi. Untuk itu, perlu sadar batas kemampuan. Apalagi kalau menerima banyak orderan, risiko burn out bisa meningkat.
Risiko lain terkait keamanan data. Karena bekerja secara daring, pekerja remote harus paham tentang jaringan yang aman, penyimpanan dokumen yang terenkripsi, dan menghindari jebakan kejahatan siber. “Jangan sampai kita lengah, lalu data klien bocor, atau kita sendiri jadi korban penipuan digital. Profesionalisme juga mencakup cara menjaga privasi dan keamanan data,” tegas Siwi.
Untuk sukses di dunia kerja remote, Siwi menekankan pentingnya kombinasi soft skill dan hard skill. Disiplin, kemampuan adaptasi, komunikasi tulis yang baik, hingga cara menolak klien dengan sopan, semua itu masuk ranah penting soft skill.
Dari sisi teknis, ibu rumah tangga yang ingin serius bekerja jarak jauh wajib melek teknologi dan alat kerja digital. “Kemampuan digital marketing juga perlu. Karena kita perlu promosi diri. Orang tak tahu jasa kita kalau kita tidak bisa menyampaikannya,” tambahnya.
Siwi juga menyarankan para pekerja remote untuk terus mengembangkan diri dan mau belajar hal baru. “Kalau sudah banyak klien, tak ada salahnya membangun tim. Rekrut teman, beri mereka kesempatan, dan bersama-sama bisa berkembang. Itu justru jauh lebih bermanfaat dan bisa memperluas jaringan,” pungkasnya.
Tag: #remote #working #penuh #risiko #burnout #keamanan #data