



Danantara Jangan Bernasib seperti Jiwasraya
SKANDAL korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang menjadi salah satu kasus korupsi keuangan terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan kerugian negara Rp 16,8 triliun, akhirnya memakan korban. Perusahaan asuransi tersebut dibubarkan pada awal 2025.
Belajar dari pembubaran Jiwasraya akibat skandal korupsi, publik harus terus mengawasi dan mengkritisi Pemerintah terkait kebijakan tata kelola dan pengawasan Danantara yang akan diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2025.
Danantara jangan sampai bernasib sama seperti Jiwasraya.
Pada Kamis, 20 Februari 2025, empat hari sebelum Danantara diluncurkan oleh Presiden Prabowo, merupakan hari yang nahas bagi Jiwasraya.
Pada tanggal tersebut, OJK mengumumkan pada situs resminya resmi mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Jiwasraya dicabut izin usahanya karena mengalami gagal bayar terhadap klaim polis asuransi senilai Rp 12,4 triliun pada Desember 2019.
Setelah melalui proses berlarut-larut selama empat tahun, yang jelas sangat merugikan nasabahnya, baru pada awal 2025 ini, OJK resmi membubarkan Jiwasraya.
Pembubaran Jiwasraya, perusahaan milik negara yang sudah berdiri sejak 31 Desember 1859, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tentu sangat merugikan negara dan masyarakat Indonesia, khususnya para nasabah.
Perusahaan yang dapat bertahan selama 165 tahun, mampu melewati badai krisis “great depression” 1929-1939, melewati krisis ekonomi era Presiden Soekarno tahun 1960-an, dan bertahan saat krisis ekonomi 1998-1999, akhirnya harus berakhir dan bangkrut karena skandal korupsi.
Skandal korupsi yang melibatkan mantan direksi perusahaan, oknum pejabat Kementerian Keuangan, dan pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan dana investasinya, terbukti secara hukum telah menyebabkan Jiwasraya gagal bayar atas klaim polis para nasabahnya, yang berujung pada bangkrutnya perusahaan.
Melalui serangkaian sidang pengadilan yang berlarut-larut terkait kasus korupsi Jiwasraya, akhirnya pada 2021, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan terhadap pihak swasta, yakni Benny Tjokrosaputro (Komisaris PT Hanson International Tbk) dan Heru Hidayat (Komisaris PT Trada Alam Minera) dengan penjara seumur hidup.
Sementara Joko Hartono Tirto (Direktur PT Maxima Integra) dengan 20 tahun penjara dan eks anggota direksi Jiwasraya, yakni Hari Prasetyo divonis penjara 20 tahun, Hendrisman Rahim divonis penjara 20 tahun, dan Syahmirwan 18 tahun penjara.
Tidak berhenti sampai di situ. Pada 8 Februari 2025, Kejaksaan Agung juga menetapkan satu tersangka lagi, yakni Isa Rachmatarwata, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, terkait dugaan korupsi Jiwasraya periode 2008-2018.
Dikutip dari Kompas.id (8/2/2025), penetapan Isa Rachmatarwata sebagai tersangka merupakan kelanjutan dari kasus korupsi Jiwasraya yang ditangani Kejagung pada 2019.
Penetapan tersangka tersebut tidak terkait dengan jabatannya saat ini sebagai Dirjen Anggaran Kemenkeu.
Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan Isa Rachmatarwata sebagai tersangka karena terkait keputusan yang diambilnya tahun 2009, saat ia masih menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Isa Rachmatarwata dianggap bersalah karena dalam kapasitasnya sebagai Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK telah memberikan persetujuan atas produk asuransi “JS Saving Plan”, pada saat kondisi Jiwasraya sedang dalam keadaan insolven atau tidak mampu membayar kewajiban.
Persetujuan Bapepam-LK atas pemasaran produk “JS Saving Plan” tersebut juga menyalahi prinsip dasar dalam industri asuransi, yakni menjual produk asuransi dengan menawarkan tingkat bunga lebih tinggi dari tingkat bunga deposito perbankan.
Lazimnya, produk asuransi seperti produk “JS Saving Plan” akan menawarkan tingkat bunga lebih rendah dari deposito bank. Produk asuransi “JS Saving Plan" menawarkan keuntungan berupa bunga dan manfaat perlindungan jiwa.
Alih-alih menawarkan tingkat bunga lebih rendah dari deposito bank, produk "JS saving plan" justru menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi dari bunga deposito bank, yakni antara 9-13 persen. Sementara bunga deposito perbankan saat itu antara 7,5-8,7 persen.
Menjual produk “JS Saving Plan” adalah keputusan yang tidak masuk akal secara bisnis dan jauh dari kata profesional.
Diloloskannya persetujuan pemasaran produk “JS Saving Plan” oleh Bapepam-LK diduga karena ada kongkalikong antara Isa Rachmatarwata (pihak Bapepam-LK sebagai pengawas) dan eks direksi Jiwasraya (pihak perusahaan yang diawasi).
Kongkalikong antara Bapepam-LK dan pihak Jiwasraya dibuktikan dengan adanya pertemuan antara Isa Rachmatarwata dan eks direksi Jiwasraya (Hendrisman Rahim, Hari Prasetyo, dan Syahmirwan) beberapa kali di kantor Bapepam-LK untuk membahas produk "JS Saving Plan".
Kongkalikong antara pihak Jiwasraya dan Bapepam-LK dalam menyetujui penjualan produk asuransi “JS Saving Plan” yang menyebabkan Jiwasraya gagal bayar, hingga pada akhirnya menyebabkan kerugian Rp 16,8 triliun berdasarkan audit BPK.
Satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kasus bangkrutnya Jiwasraya adalah sangat diperlukan pengawasan ketat dalam pengelolaan lembaga keuangan.
Jiwasraya bangkrut karena lemahnya pengawasan, baik oleh pihak internal (pihak perusahaan) maupun pihak eksternal (Bapepam-LK).
Sebagaimana disampaikan oleh Douglas W. Diamond, peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2022 sekaligus Profesor Keuangan dari University of Chicago, pada “the Princeton Lectures in Finance in June 2005”, industri dan lembaga keuangan sangat membutuhkan pengawasan yang ketat.
Pengawasan yang ketat itu harus melalui produk hukum yang dibuat oleh pemerintah yang dapat membatasi terjadinya moral hazard, dalam hal ini tentu adalah korupsi.
Oleh karena itu, Danantara harus memiliki sistem pengawasan ketat, baik oleh pihak internal perusahaan maupun eksternal yang diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Harus dibuat regulasi yang mengatur secara ketat siapa saja orang yang dapat masuk di jajaran Dewan Pengawas Danantara.
Selain itu, harus dipilih orang-orang yang ahli dalam bidang keuangan dengan integritas tinggi dalam jajaran Dewan Pengawas Danantara.
Jangan masukkan para mantan presiden yang tidak memiliki keahlian dalam bidang keuangan dalam jajaran Dewan Pengurus Danantara.
Sebagai pengawas eksternal, jangan hanya melibatkan DPR yang sangat kuat unsur politiknya, tapi libatkan juga KPK dan BPK sehingga pengawasannya menjadi ketat dan berlapis.
Sangat perlu diingat bahwa Danantara didanai dengan uang dari hasil efisien anggaran negara yang berdampak pada turunnya kualitas layanan publik yang dinikmati oleh rakyat.
Juga perlu diingat bahwa Danantara akan menguasai dan mengelola aset negara sekitar Rp 14.000 triliun.
Oleh karena itu, pengawasan dari pihak eksternal seperti KPK dan BPK terhadap pengelolaan Danantara sangat perlu dilakukan, apapun bentuk dan bagaimanapun mekanisme pengawasannya.
Jangan biarkan sistem pengawasan Danantara lemah dengan memasukkan para mantan presiden dan tidak melibatkan KPK dan BPK. Jangan biarkan Danantara bernasib seperti Jiwasraya.