Menyongsong 2026: Apa yang Diharapkan dari Perkembangan Kendaraan Listrik di Indonesia?
Pengamar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus. (ANTARA)
14:40
18 Desember 2025

Menyongsong 2026: Apa yang Diharapkan dari Perkembangan Kendaraan Listrik di Indonesia?

Ledakan penjualan mobil listrik di Indonesia dalam dua tahun terakhir menyimpan pertanyaan besar tentang masa depan industrinya. Di balik harga yang semakin terjangkau dan pilihan model yang kian beragam, pengamat melihat tahun 2026 sebagai titik kritis yang akan menentukan arah ekosistem kendaraan listrik nasional, apakah naik kelas menjadi basis industrialisasi atau terjebak sebagai pasar ritel EV murah.

Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai perang harga Battery Electric Vehicle (BEV) yang kini berlangsung adalah hasil dari kombinasi faktor global dan kebijakan domestik. 

Mulai dari turunnya biaya baterai, kuatnya integrasi rantai pasok Tiongkok, hingga insentif fiskal Indonesia yang masih sangat longgar hingga 2025.

“Masalahnya bukan pada murahnya harga sekarang. Pertanyaannya, setelah 2025 berakhir, struktur industrinya mau dibawa ke mana,” ujar Yannes dihubungi JawaPos.com.

Harga Turun, Struktur Industri Dipertaruhkan

Saat ini, perang harga BEV berhasil mempercepat adopsi kendaraan listrik secara signifikan. Selisih harga dengan mobil berbahan bakar fosil semakin menipis, membuat konsumen merespons cepat. 

Namun di balik lonjakan volume penjualan, fondasi industrinya dinilai belum kokoh.
Yannes mengingatkan bahwa tanpa penguncian regulasi yang tegas, Indonesia berisiko menjadi nett market, pasar besar yang menyerap produk impor, tetapi minim nilai tambah domestik.

“Kalau perang harga ini dibiarkan liar, Indonesia hanya akan menjadi etalase EV murah Asia Tenggara. Nilai tambah tinggi, penguasaan teknologi, dan margin industri tetap lari ke luar negeri,” katanya.

Kondisi ini juga berpotensi membuat strategi hilirisasi nikel dan baterai nasional berjalan tidak sinkron. Di satu sisi, Indonesia mendorong investasi tambang dan pengolahan bahan baku baterai. Di sisi lain, produk EV yang beredar belum tentu menyerap rantai nilai tersebut secara optimal.

2026: Ujian Setelah Insentif

Tahun 2026 dipandang sebagai fase ujian karena berbagai insentif kendaraan listrik diperkirakan akan dievaluasi atau diubah. Pada titik ini, industri EV Indonesia akan menghadapi realitas pasar tanpa penopang kebijakan yang terlalu longgar.

Jika tidak ada kewajiban produksi lokal dan transfer teknologi yang disiplin sejak sekarang, investor bisa bersikap wait and see. Margin yang tertekan akibat perang harga juga dinilai dapat menghambat investasi jangka panjang, terutama di sektor manufaktur, riset, dan pengembangan sumber daya manusia.

“Industrialisasi tidak bisa dibangun di atas margin yang terlalu tipis. Tanpa kepastian arah, investasi lokal bisa seret,” ujar Yannes.

Dominasi Tiongkok, Jepang Masih Menunggu

Perang harga BEV saat ini sebagian besar digerakkan oleh merek-merek Tiongkok. Polanya mirip dengan strategi yang pernah terjadi di pasar domestik Tiongkok, di mana price war digunakan untuk menggeser struktur pasar dan membentuk ulang peta persaingan.

Di Indonesia, efeknya belum langsung menjatuhkan dominasi merek Jepang atau Korea. Namun tekanan mulai terasa di segmen paling krusial, yakni kendaraan listrik mass-market, generasi pengguna baru, serta pasar fleet yang sangat sensitif terhadap biaya kepemilikan.

Sementara itu, pabrikan Jepang dan Korea masih bertahan pada strategi kendaraan ICE dan hybrid yang terbukti menguntungkan. Mereka cenderung berhati-hati masuk ke segmen EV murah karena risiko merusak citra merek, margin, dan resale value yang selama ini menjadi kekuatan utama.

“Nasib dominasi Jepang ke depan sangat ditentukan oleh seberapa cepat mereka berani turun ke BEV mass-market yang benar-benar kompetitif,” kata Yannes.

Pemerintah di Posisi Penentu

Dalam konteks ini, peran pemerintah menjadi sangat menentukan. Yannes menilai negara perlu mengarahkan perang harga menuju kompetisi yang sehat dan produktif, bukan sekadar adu murah.

Beberapa instrumen kebijakan yang dinilai krusial antara lain penguncian TKDN riil dan bertahap, kewajiban produksi lokal yang jelas, standar layanan purnajual dan ketersediaan suku cadang, perlindungan konsumen baterai melalui garansi dan skema daur ulang, serta konsistensi insentif yang berpihak pada industrialisasi.

“Kalau itu dijalankan, perang harga bisa menjadi katalis percepatan ekosistem EV nasional. Kalau tidak, ini justru bisa menjadi bom waktu industri otomotif,” tegasnya.

Yannes menutup, Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Ledakan adopsi EV memberi peluang besar untuk meloncat ke era baru industri otomotif. Namun tanpa arah kebijakan yang tegas dan disiplin, peluang itu bisa berubah menjadi jebakan pasar murah.

Tahun 2026 bukan sekadar angka, melainkan penentu apakah Indonesia akan naik kelas sebagai produsen EV regional atau hanya menjadi konsumen besar produk impor.(*)

Editor: Dinarsa Kurniawan

Tag:  #menyongsong #2026 #yang #diharapkan #dari #perkembangan #kendaraan #listrik #indonesia

KOMENTAR