Game Lawas dan Modern Ternyata Punya Dampak Psikologis Berbeda
Ringkasan berita:
- Psikolog menilai game era 1990-an lebih sehat secara mental, karena fokus pada tantangan, proses belajar, dan rasa “tamat” yang memberi kepuasan jangka panjang bagi anak.
- Game modern dinilai lebih adiktif, dirancang untuk retensi pemain lewat algoritma, notifikasi, tantangan harian, dan monetisasi, sehingga memicu “junk-food dopamine” dan sulit berhenti bermain.
- Desain game masa kini berisiko mengikis berpikir kritis dan rasa percaya diri, akibat tutorial berlebihan, sistem ranking, dan perbandingan sosial yang memicu tekanan, stres, serta rasa inferior pada anak.
- Sejumlah psikolog menyoroti perbedaan mencolok antara video game era 1990-an dan game modern saat ini, terutama dari sisi dampak psikologis pada anak-anak.
Secara umum, psikolog melihat, game 1990-an dinilai lebih berfokus pada tantangan, proses belajar, dan rasa selesai/tamat.
Sementara banyak game modern dianggap dirancang untuk mempertahankan pemain selama mungkin melalui sistem adiktif, yang berpotensi memengaruhi pola pikir, emosi, dan kebiasaan anak.
Seorang konselor kesehatan mental berlisensi dan mantan guru, Veronica Lichtenstein menilai game modern tidak lagi sekadar menawarkan hiburan, melainkan sengaja dibangun untuk mendorong pemain terus bertahan di dalamnya.
Caranya halus, lewat rasa tidak nyaman dalam dosis kecil. Ini diyakini cukup untuk mendorong pemain mengeluarkan uang sebagai solusi tercepat.
Menurut dia, banyak game saat ini memantau setiap aksi pemain. Data itu kemudian dipakai algoritma untuk memunculkan dorongan yang pas, mulai dari notifikasi, tantangan harian, hingga penawaran item berbayar yang muncul di momen kritis, tepat ketika pemain hampir menyerah.
“Semua ini menciptakan lingkaran adiksi yang sempurna. Tidak ada benar-benar ‘tamat’, jadi pemain tidak pernah mendapatkan rasa selesai,” kata Lichtenstein.
Ia menggambarkan pola ini sebagai “junk-food dopamine”, yaitu lonjakan kesenangan singkat yang cepat menghilang.
Efeknya, anak-anak dilatih untuk mengejar stimulasi instan, bukan kepuasan jangka panjang yang lebih stabil seperti yang umum dialami pemain game era 1990-an.
Fenomena ini berbeda dengan game era 90-an. Lichtenstein mengingat kepuasan yang dirasakannya saat menamatkan game tahun 90-an dan mendeskripsikannya sebagai "kemenangan sejati".
“Kita berjuang melewati level, menghafal pola, dan akhirnya melihat akhir cerita. Ini rasanya seperti kita telah mencapai sesuatu. Otak memberi kita kepuasan yang solid dan tahan lama, seperti menyelesaikan proyek yang sulit," kata Lichtenstein.
Game modern bikin hilang berpikir kritis dan insecure
Ilustrasi orang main game MLBB.
Lichtenstein juga menyoroti hilangnya latihan berpikir kritis dalam game modern. Pada era 90-an, pemain yang terjebak di satu level harus mencari solusi sendiri, membuka buku panduan, menelepon teman, atau mencoba berkali-kali sampai berhasil.
“Sekarang, kalau pemain mentok, tinggal Googling dan jawabannya langsung ketemu,” ujarnya.
Perbedaan itu juga terlihat jelas dalam desain game populer. Ia mencontohkan perbedaan desain Pokémon lintas generasi. Pokémon Red dan Green yang dirilis pada 1996 hanya memberi satu tutorial singkat sebelum pemain dilepas sepenuhnya ke dunia permainan.
Sebaliknya, Pokémon Sun and Moon (2016) mengharuskan pemain melewati tutorial panjang dan arahan terus-menerus hingga seperempat awal permainan.
Pandangan serupa datang dari Melissa Gallagher, pekerja sosial klinis berlisensi sekaligus Direktur Eksekutif Victory Bay (pusat perawatan kesehatan mental dan kecanduan di AS).
Ia melihat game 90-an sebagai bentuk hiburan dengan batas yang jelas, dengan awal dan akhir yang jelas, titik berhenti yang alami, dan desain yang mendorong interaksi sosial.
Contohnya, anak-anak dulu bermain bersama teman secara langsung, lalu berhenti untuk beraktivitas lain, berlari di luar rumah, atau beralih ke kegiatan berbeda.
Tidak ada tekanan media sosial, tidak ada sistem peringkat, dan tidak ada perbandingan tanpa henti.
Pengalaman main game di era 1990-an itu diyakini membangun batasan sehat dan rasa percaya diri.
Sebaliknya, banyak game modern justru dirancang untuk mengikis batas tersebut. Semua hal terasa seperti tugas yang harus diselesaikan, dengan sistem ranking yang terus membandingkan pemain satu sama lain.
“Semuanya dibuat seperti tugas atau kompetisi. Sistem peringkat menciptakan rasa inferior, memicu tekanan, pola tidur yang tidak stabil, dan membuat pikiran anak terus dipenuhi tekanan,” ujarnya.
Gallagher menekankan bahwa filosofi desain game telah berubah drastis. Pada 1990-an, fokus utama ada pada kesenangan dan penyelesaian permainan. Kini di abad ke-21, banyak game berfokus pada retensi pemain dan monetisasi.
Memahami perbedaan ini, kata Gallagher, penting bagi keluarga agar bisa mengambil keputusan yang lebih sadar soal game yang dikonsumsi anak-anak, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Newsweek.
Tag: #game #lawas #modern #ternyata #punya #dampak #psikologis #berbeda