



Keterlambatan Badan PDP: Ancaman terhadap Keamanan Data Warga
- Sudah setahun berlalu sejak masa transisi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) resmi berakhir, namun penerapannya belum berjalan sebagaimana mestinya.
Regulasi yang diharapkan menjadi tonggak kedaulatan data nasional justru tersendat tanpa langkah nyata dari pemerintah. Padahal, di tengah meningkatnya ancaman siber dan eksploitasi data digital, perlindungan terhadap privasi warga negara menjadi semakin mendesak.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha, menilai keterlambatan implementasi UU PDP merupakan bentuk kelalaian serius negara. Ia menegaskan bahwa tanpa eksekusi yang konkret, regulasi ini hanya menjadi simbol hukum tanpa kekuatan.
“Urgensi pelaksanaan UU PDP tidak bisa lagi ditunda. Tanpa langkah nyata, publik akan terus menjadi korban kebocoran data dan penipuan digital,” ujar dia kepada JawaPos.com.
Sepanjang satu tahun terakhir, kebocoran data terus berulang—mulai dari sektor publik, e-commerce, hingga lembaga keuangan. Modusnya beragam, dari phishing, pencurian identitas digital, hingga penyalahgunaan data untuk akun judi online.
Fenomena ini menunjukkan bahwa data pribadi warga telah menjadi komoditas ilegal di ruang siber, sementara mekanisme perlindungan dan penegakan hukumnya masih lemah.
Salah satu sumber utama keterlambatan adalah belum terbentuknya Badan Pelindungan Data Pribadi (Badan PDP) yang diamanatkan langsung oleh Pasal 58 UU PDP kepada Presiden.
Lembaga ini menurut Pratama seharusnya menjadi pengawas utama dalam memastikan kepatuhan lembaga publik dan swasta terhadap prinsip perlindungan data. Namun hingga kini, pembentukannya belum terealisasi, dan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan teknis pun belum diterbitkan.
Ketiadaan lembaga pelaksana dan dasar hukum teknis ini membuat mekanisme pengawasan, pelaporan, serta sanksi hukum atas pelanggaran data menjadi tidak jelas.
Pratama menilai, penundaan ini bukan lagi soal administratif, tetapi bisa dipandang sebagai pengabaian terhadap amanat undang-undang dan hak konstitusional warga.
“Keterlambatan ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi hak digital warganya,” tegasnya.
Lebih jauh, Pratama menekankan bahwa Badan PDP harus dibangun dengan struktur independen dan dipimpin oleh sosok yang kompeten secara teknis, bukan sekadar hasil penunjukan politik.
Pemimpinnya perlu memahami keamanan siber, tata kelola data lintas sektor, serta mitigasi risiko di era kecerdasan buatan. Tanpa kepemimpinan yang berintegritas dan berkapasitas, lembaga ini berisiko menjadi 'macan kertas& tanpa daya eksekusi.
Krisis perlindungan data juga mengancam fondasi ekonomi digital nasional yang tengah tumbuh pesat. Kepercayaan publik adalah modal utama ekonomi digital, dan kebocoran data yang terus terjadi bisa menggerusnya.
Karena itu, percepatan implementasi UU PDP dan penerbitan PP PDP menjadi langkah strategis untuk memastikan transformasi digital Indonesia berjalan aman, beretika, dan berkelanjutan.
Pratama menutup dengan peringatan keras: Indonesia tak boleh terus tertinggal dari negara lain seperti Uni Eropa dengan GDPR atau Singapura dengan PDPA.
“Perlindungan data pribadi bukan sekadar urusan regulasi, tapi wujud tanggung jawab negara dalam menjaga martabat dan keamanan warganya di dunia digital,” tandasnya.
Tag: #keterlambatan #badan #ancaman #terhadap #keamanan #data #warga