



Berawal saat Kecil Sakit-sakitan, kini Jennifer Tjahyadi jadi Atlet Wushu Nasional
Menjadi atlet nasional Wushu tak pernah dibayangkan Jennifer Tjahyadi. Ketika kecil, dia berlatih wushu agar tubuhnya tidak gampang sakit-sakitan. Perjuangannya kini mulai membuahkan hasil. Prestasinya bukan hanya di tingkat nasional tapi juga Asean.
WAHYU ZANUAR BUSTOMI, SURABAYA
BEKAS make up di wajah Jennifer Tjahyadi belum luntur. Maklum, setiap latihan harus terlihat cantik seperti halnya saat bertanding. Dengan membawa tas besar berisi perlengkapan latihannya, dia digendong keluar dari sanggar Da Sheng Yundong Guan di Kenjeran Park. Setiap hari hampir 7-8 jam waktunya dia habiskan berlatih. Wajar jika perlengkapan yang dibawa banyak.
Jennifer tak pernah menyangka namanya harum di olahraga Wushu. Gadis yang dulu sering sakit-sakitan itu kini bisa berdiri di podium internasional. Dua medali emas dari 2025 Macao International Wushu Elite Competition dapat diraihnya pada Agustus kemarin. Perjalanan atlet nasional yang juga mahasiswi International Business Management, Universitas Ciputra (UC) ini tidak mudah.
Jennifer memulai perjalanan di dunia wushu bukan karena ambisi menjadi atlet, tetapi demi mencari tubuh yang sehat. Saat usia 8 tahun, dia sering sakit-sakitan. "Dulu aku sering sakit, jadi sempat coba renang, basket, dan olahraga lain. Tapi pas latihan wushu, rasanya beda—seneng banget," katanya sambil tersenyum. Sejak itu, latihan bukan lagi kewajiban, tetapi bagian dari hidupnya.
Awalnya hanya sekadar ikut-ikutan teman. Namun, tahun 2015 menjadi titik balik ketika dia menjuarai Kejuaraan Nasional Junior Wushu. Sejak saat itu, langkahnya semakin mantap. Empat tahun berselang, dia meraih medali perak dan perunggu di Kejuaraan Asia Junior 2019. "Dari situ aku tahu, aku bisa lebih jauh," ujarnya.
Di usia 21 tahun sekarang, Jennifer telah menembus level senior. Dia mewakili Indonesia dalam berbagai kejuaraan bergengsi, termasuk PON Aceh–Sumut 2024, dengan torehan dua medali emas. Tahun ini, namanya kembali harum lewat kemenangan di Makau. Dua emas ia sumbangkan di nomor Women’s ChangQuan dan Women’s DaoShu.
Namun, di balik gemerlap medali, hidupnya tak pernah mudah. Setiap waktunya dihabiskan untuk berlatih mulai pukul 09.00 hingga menjelang siang. Setelah itu, dia tidur sejenak di sanggar sebelum kembali latihan sore hingga malam. "Kalau dihitung, hidupku ya di sini. Makan, tidur, latihan—ulang lagi besoknya," ucapnya.
Rutinitas padat itu membuatnya jarang punya waktu untuk bersosialisasi. Apalagi saat persiapan Kejuaraan seperti akhir bulan ini Pon Beladiri di Kudus. Nongkrong bersama teman atau sekadar ngopi jadi kemewahan tersendiri. Teman-temannya memahami kondisinya, di waktu senggang biasanya Jennifer baru bisa bertemu nongkrong itu pun seminggu sekali.
Meski begitu, Jennifer tak melupakan pendidikannya. Dia tetap melanjutkan kuliah di UC. Kampusnya memberi dukungan penuh, terutama ketika jadwal latihan bertabrakan dengan perkuliahan. "Dosen-dosen di UC fleksibel banget. Kalau aku harus latihan atau tanding, aku boleh ngerjain tugas di waktu lain," katanya. Kini, dirinya tengah menjalani magang di bidang yang sesuai jurusannya sambil menyiapkan skripsi.
Di tengah kerasnya dunia atlet, Jennifer juga menghadapi naik-turun emosional. Kadang patah hati, kadang lelah fisik dan mental. Kalau lagi down, dia merilisnya dengan menangis. Setelah itu, cerita ke teman dekat yang bisa memberi semangat. Curhatan itu semacam charger energi untuk kembali berlatih.
Jennifer memang pernah patah hati di tengah masa latihan. Tapi dia tidak pernah membiarkannya memengaruhi performa. Kalau sudah masuk lapangan, semua harus ditinggal di luar. Fokusnya cuma satu. Kini, setelah menapaki 13 tahun perjalanan di dunia wushu, Jennifer masih punya mimpi besar. Tampil di Asian Games dan membawa nama Indonesia ke podium tertinggi. Jennifer ingin membuktikan bahwa kerja keras dan disiplin itu bisa mengalahkan semua keterbatasan.
Tag: #berawal #saat #kecil #sakit #sakitan #kini #jennifer #tjahyadi #jadi #atlet #wushu #nasional