Penegakan Hukum di Indonesia Tak Cukup Hanya Andalkan Presiden Prabowo
Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berpose setelah diwawancarai KOMPAS.com dalam Program Gaspol, Jakarta pada, Senin (20/1/2025).(KOMPAS.com/FREDERIKUS TUTO KE SOROMAKING)
22:36
22 Januari 2025

Penegakan Hukum di Indonesia Tak Cukup Hanya Andalkan Presiden Prabowo

- Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, berpendapat bahwa Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan adanya penegakan hukum.

Namun, perlu ada reformasi sistem penegakan hukum untuk menyelesaikan masalah yang ada hingga ke level sistematis.

“Kalau kita hanya mengandalkan Pak Prabowo yang kuat dari segi komandonya dan rencana-rencananya, maka jika sistemnya tidak berubah, setelah Pak Prabowo (tak lagi menjabat), kita hancur dong?” ujar Bivitri dalam program Obrolan News Room Kompas.com, Rabu (22/1/2025).

Menurut Bivitri, ketergantungan pada sosok-sosok tertentu tidak bisa menyelesaikan masalah hukum di Indonesia.

Akan jauh lebih baik jika yang diterapkan adalah reformasi sistem penegakan hukum.

Namun, keberadaan Prabowo yang dikenal sebagai sosok yang punya pengaruh kuat untuk memberikan komando atau arahan, akan lebih baik jika kesempatan ini digunakan untuk sekaligus memperbaiki sistem yang sudah ada.

Bivitri mengatakan bahwa beberapa keputusan Prabowo dalam aspek hukum sudah cukup baik.

Misalnya, wacana agar pengguna narkoba tidak perlu dihukum penjara, tetapi cukup direhabilitasi.

Namun, wacana ini tidak cukup berjalan sendiri. Perlu ada kebijakan atau aturan pengikat yang menjadi dasar pelaksanaannya.

“Bagaimana pengguna narkoba saja tidak perlu dipenjara, tapi cukup direhabilitasi saja. Itu kan butuh kebijakan. Maksud saya, masuklah hal-hal ke yang sifatnya policy ketimbang cuma populisme hukum,” lanjut dia.

Bivitri menilai bahwa masyarakat Indonesia masih terjebak dalam suatu konsep yang disebutnya sebagai populisme hukum.

Artinya, masyarakat paham kalau hukum sudah berjalan, tetapi penyelesaian kasusnya tidak sampai memberikan keadilan.

“Misalnya, oke ada yang ditangkap. Tapi, secara sistematik, apakah orang yang ditangkap itu benar-benar kena hukum pidana atau hanya disanksi etik?” imbuhnya.

Bivitri mengatakan bahwa hal ini beberapa kali terjadi dalam kasus yang melibatkan oknum polisi.

Misalnya, kasus di mana seorang polisi telah diberhentikan secara tidak hormat oleh Propam karena terbukti melakukan pemerkosaan, tetapi polisi yang sama kembali dipekerjakan dalam institusi polisi karena bandingnya diterima.

“Jadi, itu kan secara sistem salah. Tapi, kalau secara kasat mata kita lihat dia kena sanksi etik nih,” katanya.

Pendapat Bivitri ini disampaikan berkaitan dengan tingginya kepuasan masyarakat Indonesia terhadap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Namun, di satu sisi, kepuasan di aspek penegakan hukum menjadi yang terendah dibanding aspek lainnya.

Secara keseluruhan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mencapai 80,9 persen.

Tak hanya itu, tingkat keyakinan publik terhadap pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran juga tinggi, yakni 89,4 persen.

“Kepuasan terhadap kinerja Prabowo-Gibran itu tinggi banget ya, 80,9 persen. Sementara tingkat keyakinan ke depan juga tinggi, 89,4 persen,” kata Manajer Riset Litbang Kompas Ignatius Kristanto dalam memaparkan survei "Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran" secara virtual, Jumat (17/1/2025).

Dalam survei tersebut, tingkat kepuasan bidang penegakan hukum menjadi yang terendah dibandingkan aspek lainnya.

Padahal, tren kenaikan di aspek penegakan hukum menjadi yang tertinggi jika dibandingkan dengan aspek lainnya, yakni 72,1 persen.

Sementara di bidang politik keamanan mencapai 85,8 persen, kesejahteraan sosial 83,7 persen, dan ekonomi 74,5 persen.

Survei Litbang Kompas ini dilakukan melalui wawancara tatap muka yang diselenggarakan dari tanggal 4-10 Januari 2025.

Sebanyak 1.000 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi Indonesia.

Tingkat kepercayaan 95 persen dengan “margin of error” penelitian +/- 3,10 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi. Survei ini dibiayai sepenuhnya oleh Harian Kompas (PT. Kompas Media Nusantara).

Editor: Shela Octavia

Tag:  #penegakan #hukum #indonesia #cukup #hanya #andalkan #presiden #prabowo

KOMENTAR