Kisah Mahasiswa Penggugat Ambang Batas di MK: Mohon Terima Saya Jadi Budak Korporat di Perusahaan
Faisal Nasirul Haq dari Prodi Ilmu Hukum, dan tiga mahasiswa dari Program Studi Hukum Tata Negara: Enika Maya Oktavia, Rizky Maulana Syafei, dan Tsalis Khoirul Fatna saat bersama Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag. 
08:00
4 Januari 2025

Kisah Mahasiswa Penggugat Ambang Batas di MK: Mohon Terima Saya Jadi Budak Korporat di Perusahaan

- Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mencatatkan nama mereka dalam buku sejarah politik Indonesia. 

Bagaimana tidak, tanpa diduga gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa itu, yakni; Enika Maya Oktavia, Rizki Maulayan Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna, ternyata dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Empat mahasiswa itu berjuang menguji Pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). 

Menurut mereka, presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden harus dihapuskan agar memunculkan calon presiden yang lebih beragam dan sejalan dengan preferensi.

Perjuangan empat mahasiswa itu pun berbuah manis. 

Pada Kamis 2 Januari 2025, di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu. 

Keputusan MK ini diyakini bakal mengubah peta pencalonan pada Pilpres kelak, karena semua partai politik kini berhak berkoalisi atau tidak untuk mengajukan bakal calon presiden.

Meski berhasil memenangkan gugatan yang diyakini akan mengubah peta politik di Tanah Air, keempat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu ternyata tak ada yang tertarik terjun ke dunia politik. 

Mereka kompak mengatakan pengajuan uji materiil itu bukan untuk pijakan mereka maju ke dunia politik di masa yang akan datang. 

Mereka tidak yakin bisa terjun ke dunia politik dan saat ini masih memilih untuk menjadi akademisi.

Enika Maya Oktavia misalnya, mengatakan dirinya lebih tertarik jadi budak korporat ketimbang jadi politisi. 

"Kalau ada yang bertanya apakah kelak saya jadi politisi, jawaban dari saya sendiri, jawabannya adalah tidak. Saya tidak mau jadi politisi. Mohon terima saya jadi budak korporat di perusahaan," kata Enika saat ditemui di kampusnya, Jumat (3/1/2025).

Menurut Enika, tak ada anggota keluarganya yang berlatar belakang politisi atau terjun ke dunia politik praktis. 

Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna saat Sidang Pengujian Materiil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali dilakukan pada hari Rabu, 13 November 2024 di Mahkamah Konstitusi. Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna saat Sidang Pengujian Materiil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kembali dilakukan pada hari Rabu, 13 November 2024 di Mahkamah Konstitusi. (syariah.uin-suka.ac.id)

Bahkan, kata Enika, dia adalah orang pertama di keluarganya yang kuliah di jenjang S1. 

"Kakak saya D3 dan saya satu-satunya orang belajar hukum. Orang tua saya tidak paham hukum, kakak saya tidak paham hukum, keluarga saya tidak ada yang paham hukum, tidak ada yang berkaitan dengan politik. Tapi kalau ke depannya ternyata saya jadi ahli hukum tata negara saya kurang tahu. Wallahu a'lam," kata Enika.

Jawaban yang sama dilontarkan Rizki, juga Tsalis dan Faisal. 

Tsalis misalnya, menyebut keluarganya sangat awam politik. 

"Bahkan orang tua saya saja presidential threshold itu apa masih belum tahu gitu. Jadi mungkin saya tidak akan memproyeksikan ke sana," kata dia. 

"Putusan ini memang sesuai harapan, tapi bukan berarti kami ingin jadi politisi karena tujuan utama kami memajukan permohonan ini untuk mendorong lebih luas putra-putri Indonesia yang mungkin jalurnya menjadi politisi agar mereka punya akses yang sama," ujarnya.

Gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa itu memang menjadi tonggak sejarah baru politik Indonesia, karena dari sekian banyak pengajuan uji materiil tentang presidential threshold, baru gugatan mereka yang dikabulkan oleh MK. 

Berdasarkan putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, Pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden. 

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat mahasiswa itu.

Ketua Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum (FSH), Gugun El Guyanie dan Dekan FSH, Prof. Dr. H. Ali Sodikin menceritakan bagaimana perasaan mereka atas perjuangan yang bisa mengubah peta politik nasional. 

"Awalnya, kami tidak optimis. Karena jujur, ini pertama kali kami membuat draft permohonan yang nyata, meski kami paham dasarnya," kata Enika di hadapan wartawan, Jumat (3/1/2025).

Enika dan kawan-kawan sempat merasakan tidak percaya diri karena permohonan mereka ke MK dirasa kurang baik. 

Bahkan, mereka tidak yakin permohonan itu bisa masuk ke sidang selanjutnya, apalagi sampai sidang putusan. 

"Saat kami masuk ke sidang pendahuluan, itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim MK. Kami pikir, kesempatan untuk lanjut ke sidang permohonan pokok saja sepertinya sangat kecil, tapi alhamdulillah, tetap bisa lanjut," beber dia.

Keraguan itu tervalidasi dari hasil diskusi dengan rekan-rekan pegiat konstitusi lain. 

Sembilan orang menyebut permohonan ditolak, meski delapan lainnya yakin permohonan akan dikabulkan. 

"Kami rasa, permohonan kami tidak ada kesempatan karena kalau itu diputuskan, itu mengubah peta perpolitikan di Indonesia," ucap Enika lagi.

Enika, Rizki, Fasial dan Tsalis merupakan mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), organisasi resmi yang berada di FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Keempatnya memiliki visi yang sama, yaitu menciptakan ruang demokrasi yang lebih beragam dan tidak terpolarisasi. 

"Kami sering ketemu, punya visi yang sama. Kami kerjakan draft itu saat mengikuti KKN. Jadi, kendala seperti sinyal, perbedaan pendapat pasti ada, tapi visinya tetap sama," jawab Enika.

Selama menjadi pemohon di MK, keempatnya tak didampingi oleh pengacara. 

Mereka mengandalkan bimbingan internal maupun eksternal dari jaringan yang sudah mereka buat. 

"Kami tidak menggunakan kuasa hukum karena kami mahasiswa, belum mampu menggaet kuasa hukum. Di MK, juga bisa sidang online sehingga kami minta sidang online karena terbatas satu dan lain hal," tambah Tsalis menimpali Enika.

Meski bisa sidang daring, dua perwakilan sempat ke Jakarta untuk mendampingi Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yance Arizona yang menyampaikan tentang prinsip kebijakan hukum terbuka, pada Rabu (13/11/2024) lalu.

"Kami sempat beracara langsung di MK, waktu itu sidang mendengarkan keterangan ahli dari UGM, Pak Yance Arizona. Karena untuk mendampingi beliau, Rizki dan Faisal ke Jakarta," tambahnya.

Sebagai Dekan FSH, Ali Sodikin pun mengapresiasi perjuangan para mahasiswa yang mampu menjadi tonggak monumental perubahan bangsa. 

Di FSH, ada sejumlah lembaga mahasiswa struktural dan otonom yang didirikan untuk mengembangkan minat bakat mahasiswa. 

"Tentunya, fakultas mendukung mereka dengan memberikan atau menganggarkan dana. Kami punya dana delegasi, sehingga jika mahasiswa mengikuti kompetisi, kami fasilitasi dengan dana itu. Dan juga, dana prestasi kami persiapkan. Fakultas berupaya untuk memfasilitasi kegiatan meningkatkan kreativitas yang diikuti mahasiswa," tambahnya.

Termasuk ketika dua perwakilan ke Jakarta, fakultas memfasilitasi transportasi dan akomodasi. 

"Kami berharap bisa memberikan fasilitas lebih karena kaitannya dengan pengembangan kreativitas dan kompetensi," ungkapnya.

Ali turut menyinggung KPK yang memiliki pembimbing internal, termasuk Kaprodi HTN FSH, Gugun El Guyanie dan jaringan alumni yang kuat. 

"Mereka berkreasi membangun jaringan untuk memperkuat argumentasi. Sehingga, kalau mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengacara, mereka merasa sudah cukup didampingi pendamping internal maupun eksternal," jelas dia. (tribun network/ard/dod)

Editor: Dewi Agustina

Tag:  #kisah #mahasiswa #penggugat #ambang #batas #mohon #terima #saya #jadi #budak #korporat #perusahaan

KOMENTAR