Perempuan Tangguh yang Jadi Suar di Tengah Bencana, Dewi Hanifah: Nyawa Serasa Bertambah saat Harus Menolong Sesama
Relawan mendistribusikan bantuan untuk korban yang terdampak bencana. (Istimewa)
17:08
21 April 2024

Perempuan Tangguh yang Jadi Suar di Tengah Bencana, Dewi Hanifah: Nyawa Serasa Bertambah saat Harus Menolong Sesama

HARI Kartini yang kita peringati hari ini (21/4) kembali mengajak kita semua berefleksi. Sudah tercapaikah kesetaraan akses dan peluang bagi perempuan di ruang-ruang publik? Termasuk di daerah-daerah bencana yang menjadi domain para relawan perempuan seperti Wiwit Sri Arianti dan Dewi Hanifah.

DEWI Hanifah menjadi relawan bencana sejak 19 tahun lalu. Pada Juni 2005, sekitar enam bulan setelah tsunami Aceh, dia mendaftar ke yayasan Mercy Corps Indonesia. Ternyata tindakan iseng Dewi itulah yang kemudian menjadi arah hidupnya kini.

”Saya waktu itu baru pulang dari Cile sebagai sekretaris duta besar Indonesia di sana,” ujarnya kepada Jawa Pos Jumat (19/4).

Bersamaan dengan itu, seorang teman menawarinya untuk menjadi relawan di Aceh, membantu pemulihan masyarakat pascagempa dan tsunami. Tawaran itu pun dia ambil.

Tanpa pengalaman apa pun, Dewi bertolak ke Aceh. Saat pesawatnya mendarat, dia shock. Sejauh mata memandang, yang dia temukan adalah reruntuhan bangunan, tanah-tanah kosong, serta wajah pilu para korban yang kehilangan keluarga dan sanak saudara. Dengan perasaan yang campur aduk, Dewi pun memulai hari-hari beratnya sebagai relawan.

”Apalagi, saat itu Indonesia belum punya pengalaman penanganan bencana besar,” ungkap lulusan Ilmu Sosiologi Universitas Widya Mataram, Jogja, tersebut.

Bersama tim, perempuan kelahiran 3 Oktober itu berfokus pada upaya-upaya pemulihan dan penanganan bencana. Dewi menjadi relawan selama 16 bulan di Aceh. Tugas utamanya adalah menyalurkan bantuan dan membantu warga Aceh agar segera bangkit.

Aceh, rupanya, adalah pintu pertama Dewi untuk menjawab panggilan-panggilan berikutnya dari lokasi bencana. Ada gempa Jogja (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Padang (2009), gempa Tasikmalaya (2009), gempa dan tsunami Mentawai (2010), topan Haiyan Filipina (2013), gempa Nepal (2015), serta likuefaksi Sulawesi Tengah (2018).

”Ada begitu banyak hal yang saya dapatkan dari berbagai bencana itu,” papar Dewi. Salah satunya adalah strategi penanganan bencana yang tepat dengan melihat kebutuhan dan karakter masyarakat yang terdampak.

Membuat skala prioritas agar yang paling membutuhkan bantuan bisa lebih dulu ditolong adalah hal yang penting. Namun, itu perlu diselaraskan dengan karakter masyarakat agar distribusi bantuan lebih efektif. Khususnya pada fase emergency response atau masa-masa awal pascabencana.

”Karakter masyarakat pesisir dan pegunungan itu beda,” jelas Dewi. Ada yang susah diatur, ada yang nurut. Jika bertemu dengan yang susah diatur, distribusi bantuan harus dirancang secara detail. Kalau perlu, pakai nomor antrean supaya tidak terjadi chaos atau rebutan.

Makin sering berkecimpung di daerah bencana, karakter Dewi pun terbentuk menjadi lebih tangguh. Aktivitas fisik di lokasi bencana tidak hanya menguras energi, tetapi juga emosi. Namun, Dewi menikmatinya. ”Terlibat kerja-kerja seperti ini malah membuat nyawa serasa bertambah. Buktinya, saya jarang sakit,” ungkapnya, lalu tertawa.

Menjadi relawan bencana tidak berarti bebas dari ancaman bahaya. Salah satu yang ekstrem dialaminya saat bertugas di Nepal. Ketika itu dia menunaikan salat Subuh di kamar hotel di lantai 7. Tiba-tiba, gempa besar mengguncang. Lift mati. Dewi hanya bisa pasrah. ”Paling nggak kalau mati saat bekerja itu fine,” tegasnya.

Pengagum RA Kartini itu tidak pernah ciut nyali meski berkali-kali dihadapkan pada ancaman bahaya. Menjadi perempuan yang terjun langsung ke lokasi bencana dan menekuni aktivitas yang dulu hanya bisa diakses laki-laki membuat Dewi kian menikmati pilihan hidupnya.

Kini, sebagai programme manager, Dewi memang tak selalu sibuk di lapangan. Dia bertanggung jawab untuk merancang skenario pemulihan masyarakat dan pembangunan fisik pascabencana.

Kendati demikian, pengalaman panjang Dewi sebagai relawan yang berinteraksi langsung dengan para korban membuatnya punya julukan khas. Yakni, Dewi Disaster. Julukan dari mantan supervisor regional itu lekat kepadanya sampai sekarang. ”Mungkin (julukan itu muncul, Red) karena saya selalu ready setiap saat jika ditugaskan,” katanya.

Dewi bertekad akan terus menjadi pekerja kemanusiaan selama tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan. (elo/c14/hep)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #perempuan #tangguh #yang #jadi #suar #tengah #bencana #dewi #hanifah #nyawa #serasa #bertambah #saat #harus #menolong #sesama

KOMENTAR