Peringati Hari Guru Nasional, PGRI Mendukung dan Mendorong Lahirnya UU Perlindungan Guru
–Seiring zaman, apakah seharusnya ada pemaknaan baru terkait profesi guru menurut PGRI? Pemaknaan guru harus ditekankan dan ditegaskan sebagai sebuah profesi yang harus dijalankan secara profesional, disejahterakan, dimartabatkan, dan dimuliakan.
”Guru bukan pahlawan tanpa tanda jasa dan selalu dinormalisasi, tetapi sebuah profesi,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI Wijaya.
Lalu apa saja tantangan jadi guru masa kini, terutama karena ada risiko tuntutan hukum dari orang tua?
Menurut Wijaya, tantangan guru masa kini di antaranya yakni dihadapkan dengan siswa generasi digital native dan strawberry generation. Karena itu perlu kesabaran yang kuat dari para guru.
Tantangan selanjutnya menurut dia, merancang dan membuat tata tertib atau aturan yang disepakati guru, siswa, orang tua, dan sekolah, serta dijalankan dengan komitmen bersama. Perlu juga penguatan tripusat pendidikan dan pelibatan bersama akan tanggung jawab terkait pendidikan.
Tarkait tanggapan PGRI terkait kasus-kasus guru dituntut orangtua siswa, dia menyatakan, kasus yang menimpa guru ketika menjalankan tugas keprofesian perlu diselesaikan melalui mekanisme dan regulasi yang ada. Melalui pendekatan litigasi dan non litigasi serta pelibatan organisasi profesi guru (PGRI) melalui Dewan Kehromatan Guru Indonesia.
”Apakah kasus tersebut terkait persoalan etika atau kategori pidana, karena seharusnya hal ini tidak terjadi jika semua pihak memahami tugas dan fungsinya masing-masing,” papar Wijaya.
Dia mengatakan, tugas seorang guru memang berat terlebih di tengah penghargaan dan perlindungan hukum yang kurang adil terhadap profesi guru. Orang tua juga tidak seharusnya mengandalkan sepenuhnya ke sekolah. Sebab, di sekolah anak-anak tidak lebih dari 8 jam, sisanya peran orang tua yang paling besar.
”PGRI selalu menjadi yang terdepan dalam memberikan pendampingan dan perlindungan hukum profesi guru melalui LKBH PGRI. Hanya persoalannya, tidak semua penanganan bisa diekspos,” tandas Wijaya.
Dia mencontohkan pendampingan semisal kasus guru Zaharman di Rejang Lebong, Akbar Sarosa di Sumbawa Barat, Khusnul Khotimah di Jombang, Sumarsono di Wonosobo. Dan yang menyita perhatian publik, Supriyani di Baito Konawe Selatan.
”Alhamdulillah Supriyani, hari ini (25/11) diputus bebas ini seperti kado buat PGRI. Dan kasus-kasus yang menimpa guru lainnya. PGRI selalu hadir dan memberikan pendampingan langsung di lapangan baik oleh pengurus besar atau PGRI di tingkatan di mana kasus itu terjadi,” terang Wijaya.
Dia menjelaskan, tugas utama guru adalah mendidik. Dalam proses mendidik ada aturan atau tata tertib yang harus ditaati siswa tanpa terkecuali. Hanya saja dalam proses mendisiplinkan siswa ini ada hal yang sifatnya manusiawi menyertai.
Karena itu, menurut dia, guru dalam menjalankan tugas keprofesiannya wajib mendapatkan perlindungan. Hanya saja dalam implementasinya selalu menjadi pihak tertuduh ketika dihadapkan dengan UU Perlindungan Anak. Payung hukum perlindungan guru hanya ada secara parsial pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 74 Tahun 2008, Permendikbudristek No. 10 Tahun 2017, dan MoU No. 606/Um/PB/XXII/2022 tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru.
”Oleh karena itu, sangat perlu adanya Undang-Undang Perlindungan Guru. PGRI telah membuat naskah akademis dan mendorong berbagai pihak terkait mewujudkan UU Perlindungan Guru,” tandas Wijaya.
Dia menambahkan, guru yang tersangkut persoalan hukum atau menjadi pihak terlapor, bisa meminta perlindungan hukum kepada organisasi profesi guru (PGRI) melalui pengurus di mana yang bersangkutan sebagai anggota. Atau melalui fitur lindungi guru di KTA Digital PGRI. Nanti kasusnya akan dikaji apakah persoalan etika atau pidana.
”Jika persoalan etika cukup diselesaikan melalui DKGI. Sedangkan jika menyangkut persoalan pidana dan sudah terpenuhi alat bukti baru diserahkan ke APH didampingi LKBH PGRI. Tentu setelah melalui proses bedah masalah yang ada, apakah masih bisa diselesaikan melalui justice restorative antara kedua pihak baik terlapor dan pelapor. Jadi penyelesaian bisa dilakukan melalui litigasi atau non litigasi,” papar Wijaya.
Menurut dia, ekosistem sekolah ramah anak dan sekolah ramah guru wajib terbangun dan hadir di satuan pendidikan. Semua pihak terkait harus memahami tugas dan fungsi masing-masing.
”Ini termasuk orang tua harus memberikan kepercayaan penuh ketika sudah mempercayakan anaknya menjadi siswa di sekolah serta menaati semua aturan yang berlaku. Terbangun komunikasi yang baik antar semua stakeholder di satuan pendidikan dan tidak mudah terprovokasi dan terpantik dengan informasi yang belum tervalidasi,” tutur Wijaya.
Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI Wijaya berharap seluruh guru di Indonesia tetap solid dalam semangat solidaritas, terus berproses dan adaptif menjadi guru bermutu, guru hebat dalam menjalankan tugas keprofesiannya. Menjadi guru yang tidak lupa akan sejarah perjuangan guru Indonesia, guru yang tidak mudah dipecah-belah, yang menentang kastanisasi guru.
”Guru yang senantiasa menghadirkan layanan terbaik bagi siswanya di satuan pendidikan. Mari bersama-sama jadikan Guru sebagai sebuah profesi yang dijaga harkat, martabat, kesejahteraan, dan perlindungan hukum, jauhkan dari beragam normalisasi yang merendahkan guru sebagai sebuah profesi,” kata Wijaya.
”Dukung penuh PGRI memperjuangkan hadirnya Undang-Undang Perlindungan Guru sebagaimana yang sudah disampaikan Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi dalam setiap kesempatkan. Selamat HUT ke-79 PGRI dan HGN 2024, Guru bermutu Indonesia maju dan Guru hebat Indonesia kuat,” imbuh Wijaya.
Tag: #peringati #hari #guru #nasional #pgri #mendukung #mendorong #lahirnya #perlindungan #guru