Dua Jalan, Satu Tujuan
– Dulu, melintasi Pulau Sumatera adalah ujian kesabaran. Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) yang membentang sepanjang sekitar 2.400 kilometer (km) dari Lampung hingga Aceh dikenal berkelok, berbukit, dan memakan waktu lama.
Selain menjadi jalur logistik utama, kondisi jalan yang padat membuat Jalinsum rawan kemacetan dan kecelakaan. Perjalanan lintas provinsi pun kerap menguras tenaga dan waktu.
Kini, wajah perjalanan itu berubah. Kehadiran Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dibangun PT Hutama Karya (Persero) bukan sekadar menghadirkan hamparan aspal baru. Tol ini menjadi penghubung yang memendekkan jarak, mempercepat pertemuan, serta membuka ruang bagi cerita dan pengalaman baru.
Gambaran itu terpotret dari kisah Nanda dan Iman, dua relawan proyek sosial “Jagat Literasi” yang melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Palembang.
Meski memiliki titik awal dan tujuan yang sama, pilihan jalur yang mereka ambil menghadirkan pengalaman perjalanan yang sangat berbeda.
Duel efisiensi: tol vs non-tol
Nanda, seorang perempuan muda yang mengutamakan efisiensi waktu, memilih melintasi JTTS. Baginya, janji kecepatan bukan sekadar slogan.
Dari Pelabuhan Bakauheni, Lampung, menuju Palembang, ia hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar tujuh hingga delapan jam. Perjalanan terasa lancar, melewati belasan gerbang tol tanpa hambatan berarti.
“Tadi kita ngelewatin 16 pintu tol. Enggak kerasa. Ternyata kalau pakai tol Sumatera jadi lebih dekat,” ujar Nanda saat menceritakan pengalamannya, seperti dikutip dari reels Instagram Kompas.com, Jumat (26/12/2025).
Sebaliknya, Iman harus menempuh jalur non-tol. Kebutuhan logistik untuk menurunkan bantuan di sejumlah kota kecil membuatnya menghadapi jalan berlubang, antrean kendaraan besar, dan kemacetan panjang.
Akibatnya, Iman menghabiskan waktu hingga 12 jam di perjalanan—selisih sekitar empat jam dibandingkan Nanda.
“Lewat jalur non-tol itu rasanya enggak selesai-selesai. Banyak hambatan, bensin pun sampai harus isi empat kali karena mesin bekerja lebih keras di kemacetan. Benar-benar menguras energi,” ujar Iman dengan wajah lelah saat tiba di lokasi kegiatan.
Bukan hanya soal waktu
Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dibangun PT Hutama Karya (Persero).
Efisiensi perjalanan bukan semata soal cepat sampai, tetapi juga berkaitan dengan tanggung jawab dan profesionalisme. Hal ini terlihat dari perbedaan waktu kedatangan Nanda dan Iman.
Nanda, yang tiba lebih awal berkat jalur tol, harus menghadapi jadwal kegiatan yang mulai terganggu. Baginya, waktu bukan sekadar angka di jam tangan, melainkan komitmen terhadap rekan kerja dan masyarakat yang telah menunggu.
“Jadi kamu yang namanya Iman? Kok baru sampai sekarang? Aku kira kamu santai-santai di jalan sampai telat begini,” tegur Nanda dengan nada dingin saat Iman akhirnya tiba.
Keterlambatan tersebut membuat Nanda sempat meragukan keseriusan rekannya.
Dalam kerja tim, satu orang yang terlambat dapat menghambat keseluruhan agenda. Pilihan jalur perjalanan pun berpengaruh langsung terhadap reputasi dan kepercayaan.
Hitung-hitungan waktu dan biaya
Jika dibedah secara teknis, perbedaan perjalanan keduanya cukup mencolok. Nanda mengeluarkan biaya sekitar Rp 500.000 untuk tarif tol, dengan frekuensi pengisian bahan bakar hanya dua kali.
Sementara itu, meski tidak membayar tol, Iman justru harus mengeluarkan biaya bahan bakar lebih besar karena harus mengisi bensin hingga empat kali. Waktu tempuh yang lebih lama dan kondisi jalan yang kurang baik membuat konsumsi bahan bakar meningkat.
Di sisi lain, Hutama Karya terus mengakselerasi pembangunan JTTS. Hingga November 2025, tol ini telah membentang sepanjang sekitar 1.235 km, menghubungkan Lampung hingga Aceh secara bertahap.
Sebelum adanya tol, perjalanan Lampung–Palembang bisa memakan waktu 10 hingga 12 jam. Kini, melalui JTTS, waktu tempuh dapat dipangkas menjadi sekitar 3,5 hingga 4 jam.
Ke depan, JTTS akan menghubungkan Lampung hingga Aceh melalui 24 ruas jalan dengan total panjang mencapai 2.704 km.
Bukan sekadar infrastruktur
Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang dibangun PT Hutama Karya (Persero).
Usai menyelesaikan kegiatan Jagat Literasi, Nanda dan Iman menutup perjalanan di bawah kemegahan Jembatan Ampera.
Sambil menikmati suasana hangat Palembang dan mencicipi pempek di pasar tradisional, keduanya menyadari satu hal: kemudahan akses telah membuka lebih banyak ruang untuk cerita.
Kemarahan Nanda perlahan mencair setelah memahami beratnya medan yang ditempuh Iman melalui jalur lama. Sebaliknya, Iman menyadari bahwa efisiensi waktu adalah bagian penting dari profesionalisme.
“Maybe next time aku akan lewat Tol Trans Sumatera aja deh. Biar lebih cepat, efisien, dan enggak telat lagi,” ujar Iman sambil tersenyum.
Kini, Sumatera memang terasa lebih dekat. Jalan yang dibangun Hutama Karya bukan sekadar infrastruktur, tetapi jembatan yang menghubungkan manusia, pekerjaan, dan komitmen. Jarak bukan lagi penghalang, asal memilih jalur yang tepat.
Simak kisah lengkap perjalanan Nanda dan Iman yang penuh drama dan pelajaran dalam potongan video berikut.