Pidana Kerja Sosial: Paradigma Baru Keadilan Humanis
SELAMA bertahun-tahun, lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah beroperasi melebihi kapasitas idealnya.
Di banyak lapas dan rutan, satu ruang yang seharusnya ditempati belasan orang justru dihuni puluhan warga binaan.
Kondisi ini mengakibatkan proses pembinaan lebih menyerupai upaya bertahan hidup daripada proses koreksi dan pemulihan.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendesak mengenai ketergantungan sistem pemidanaan Indonesia pada penjara sebagai solusi utama, bahkan untuk pelanggaran ringan.
KUHP 2023 memperkenalkan alternatif melalui pidana kerja sosial, yaitu bentuk pemidanaan yang mendorong pelaku menebus kesalahan dengan berkontribusi kepada masyarakat, bukan hanya menjalani masa kurungan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menetapkan pidana kerja sosial sebagai salah satu pidana pokok, sejajar dengan pidana penjara dan pidana denda.
Ketentuan ini menegaskan bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan untuk tindak pidana dengan ancaman penjara relatif ringan, dalam batas tertentu, serta memerlukan persetujuan dari pelaku.
Dari perspektif sinkronisasi kebijakan, pidana kerja sosial sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang memosisikan pelaku sebagai subjek pembinaan, bukan hanya objek penghukuman.
Konsep ini juga konsisten dengan standar internasional, seperti Tokyo Rules, yang mendorong penerapan sanksi non-penjara untuk menjaga martabat pelaku dan mendukung reintegrasi sosial.
Harmonisasi ke depan menjadi krusial, khususnya melalui regulasi pemasyarakatan dan peraturan pelaksana yang harus mengatur bentuk kerja sosial, mekanisme pengawasan, serta peran Balai Pemasyarakatan dan pemerintah daerah.
Tanpa pengaturan teknis yang jelas, pidana kerja sosial berpotensi hanya menjadi gagasan progresif tanpa implementasi nyata.
Melalui pendekatan interpretasi teleologis, pidana kerja sosial tidak sekadar berfungsi sebagai “hukuman alternatif”, melainkan sebagai koreksi terhadap kecenderungan pemidanaan yang terlalu mengandalkan penjara.
Tujuan utamanya adalah tidak hanya menciptakan efek jera, tetapi juga memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat melalui kontribusi konkret pelaku di ruang sosial.
Dalam kerangka teori pemidanaan modern, pidana kerja sosial berada di persimpangan antara keadilan retributif dan restoratif.
Di satu sisi, pelaku tetap menerima konsekuensi konkret atas perbuatannya. Di sisi lain, bentuk hukuman ini memberikan ruang untuk pembelajaran moral dan perbaikan diri.
Bagi korban dan masyarakat, menyaksikan pelaku berkontribusi melalui kerja sosial, seperti membersihkan fasilitas publik atau membantu layanan sosial, dapat menciptakan rasa keadilan yang lebih nyata dibandingkan hukuman yang dijalani secara tersembunyi di balik tembok penjara.
Namun, teori tersebut akan segera diuji oleh realitas implementasi. Penerapan pidana kerja sosial memerlukan sejumlah prasyarat, seperti kapasitas Balai Pemasyarakatan (Bapas) untuk melakukan asesmen dan pengawasan, kesiapan instansi penerima kerja sosial, serta perubahan paradigma aparat penegak hukum yang selama ini cenderung menjatuhkan pidana penjara.
Tanpa prasyarat tersebut, pidana kerja sosial berisiko menjadi beban administratif baru yang tidak efektif.
Pada tahap ini, pidana kerja sosial memuat pesan filosofis signifikan, yaitu pengakuan negara bahwa penghukuman tidak selalu identik dengan pengurungan.
Konsep ini sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang memandang manusia, bahkan ketika bersalah, sebagai makhluk bermartabat yang masih memiliki peluang untuk berubah.
Pendekatan ini konsisten dengan pemikiran utilitarian bahwa hukuman ideal adalah hukuman yang meminimalkan penderitaan yang tidak perlu dan memaksimalkan manfaat bagi sebanyak mungkin pihak.
Ketika kepadatan penjara menimbulkan biaya sosial dan ekonomi signifikan, sementara tingkat residivisme tetap tinggi, pidana kerja sosial menjadi opsi rasional yang lebih efisien dan konstruktif.
Lebih jauh, pidana kerja sosial memiliki nilai edukatif bagi publik. Masyarakat didorong untuk memandang pelaku bukan semata-mata sebagai “orang jahat” yang harus disingkirkan, melainkan bagian dari komunitas yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara terbuka dan produktif.
Dalam konteks ini, keadilan tidak hanya berfungsi sebagai pembalasan, tetapi juga sebagai proses pembelajaran bagi semua pihak bahwa kesalahan tidak selalu harus dibayar dengan pengasingan.
Pidana kerja sosial merefleksikan pergeseran hukum pidana Indonesia dari ketergantungan historis pada penjara sebagai satu-satunya solusi.
Pendekatan ini membuka ruang bagi keadilan yang lebih selaras dengan nilai kemanusiaan dan rasionalitas, serta menjadi salah satu solusi atas permasalahan klasik kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.
Regulasi yang progresif membutuhkan keberanian politik dan kesiapan teknis untuk diwujudkan.
Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil perlu bersama-sama memastikan bahwa pidana kerja sosial tidak berhenti sebagai jargon reformasi, melainkan betul-betul hadir dalam putusan pengadilan dan praktik pemidanaan sehari-hari.
Apabila momentum ini dimanfaatkan secara optimal, Indonesia berpotensi menunjukkan bahwa sistem pemidanaannya tidak hanya tegas, tetapi juga cerdas dan berperikemanusiaan.
Pada akhirnya, keberhasilan pidana kerja sosial diukur bukan hanya dari berkurangnya jumlah penghuni penjara, melainkan dari bertambahnya kesempatan bagi individu untuk berubah dan diterima kembali dalam masyarakat.
Tag: #pidana #kerja #sosial #paradigma #baru #keadilan #humanis