Gerakan Rakyat dan Teka-teki Kendaraan Politik Anies Baswedan
LANGKAH politik Anies Baswedan pasca-Pilpres 2024 sepertinya belum akan berhenti pada titik jeda yang panjang karena dinamika terus berjalan.
Baru-baru ini, publik kembali disuguhkan manuver menarik dengan peluncuran Kartu Tanda Anggota atau KTA ormas Gerakan Rakyat. Anies menerima kartu bernomor 0001 sebagai simbol kehormatan sekaligus komando tertinggi.
Peristiwa ini bukan sekadar seremonial belaka, melainkan sinyal politik yang sangat terang benderang bagi siapa saja yang terbiasa membaca gerak-gerik elite kita.
Anies tampaknya sedang merawat stamina politiknya serta memastikan bahwa mesin yang sempat panas di 2024, tidak menjadi dingin dan berkarat begitu saja.
Fenomena peluncuran KTA ini mengingatkan kita bahwa dalam politik Indonesia tidak ada istilah pensiun bagi figur yang masih memiliki political efficacy tinggi di mata publik.
Gerakan Rakyat yang kini dikomandoi oleh Sahrin Hamid selaku orang kepercayaan Anies tampak bukan sekadar paguyuban relawan biasa yang timbul tenggelam mengikuti musim pemilu.
Ada keseriusan tata kelola yang terlihat dari bagaimana mereka memformalkan keanggotaan melalui sistem KTA yang rapi dan terdata dengan baik.
Ini merupakan langkah awal dari apa yang dalam ilmu politik sering kita sebut sebagai institutionalization atau pelembagaan dukungan yang sebelumnya cair dan tak berbentuk.
Saya melihat ada upaya sistematis untuk mengubah kerumunan atau crowd menjadi barisan alias movement yang terorganisir lewat instrumen ormas ini.
Biasanya relawan pasca-Pilpres akan membubarkan diri atau kembali ke aktivitas masing-masing. Namun, Gerakan Rakyat justru melakukan konsolidasi internal yang agresif.
Anies sepertinya sadar betul bahwa modal sosial yang ia raih sekitar 40,9 juta suara di Pilpres 2024 lalu, merupakan aset yang terlalu mahal untuk dibiarkan menguap tanpa wadah.
KTA ini adalah cara mengikat loyalitas itu agar tetap nyata dan bisa dikapitalisasi kapan saja diperlukan.
Pertanyaannya kemudian, apakah ini sekadar ormas sosial ataukah embrio partai politik baru yang sedang disiapkan untuk 2029 mendatang?
Aroma politiknya tentu jauh lebih menyengat daripada aroma sosialnya mengingat figur-figur yang terlibat di dalamnya adalah operator politik yang sudah makan asam garam.
Infrastruktur yang dibangun pun tidak main-main. Data lapangan menunjukkan kepengurusan Gerakan Rakyat sudah terbentuk di hampir seluruh provinsi dan merata hingga tingkat kabupaten/kota.
Kecepatan pembentukan struktur ini mustahil terjadi secara organik tanpa adanya desain top-down yang matang dan dukungan logistik yang memadai.
Inkubasi atau kamuflase?
Jika kita menengok ke belakang, sejarah politik modern Indonesia mencatat pola yang nyaris serupa pada kelahiran Partai NasDem.
Dulu, Surya Paloh mendirikan Nasional Demokrat sebagai ormas lalu mengumpulkan tokoh-tokoh bangsa lintas latar belakang dengan narasi Restorasi Indonesia yang memikat.
Menariknya, Anies Baswedan merupakan salah satu deklarator ormas Nasional Demokrat kala itu dan membacakan manifesto dengan gaya retorika yang khas.
Artinya, Anies bukan orang baru dalam skema ormasisasi politik karena ia memiliki memori institusional tentang bagaimana ormas bisa bermetamorfosis menjadi partai politik yang lolos ke Senayan.
Pola ini sebenarnya adalah strategi inkubasi yang cerdas untuk menguji ombak atau testing the water sebelum benar-benar terjun ke lautan regulasi partai politik yang ganas.
Mendirikan partai politik di Indonesia hari ini, membutuhkan biaya yang astronomis dan syarat verifikasi administrasi serta faktual yang sangat berat dari KPU.
Melalui baju ormas, maka Gerakan Rakyat bisa leluasa bermanuver dan menggalang massa serta melakukan kegiatan politik tanpa terikat aturan ketat UU Partai Politik atau pengawasan Bawaslu di luar masa kampanye.
Kendati demikian, saya meragukan jika Gerakan Rakyat hanya akan berhenti sebagai ormas selamanya mengingat infrastrukturnya yang didesain layaknya struktur partai.
Ada Badan Politik dan Badan Hukum hingga sayap-sayap organisasi yang nomenklaturnya sangat mirip dengan departemen dalam kepengurusan partai politik modern.
Struktur yang gemuk dan hierarkis ini menunjukkan mereka sedang mempersiapkan mesin perang dan bukan sekadar yayasan amal yang membagikan sembako.
Bagi seorang analis, fenomena ini terlihat seperti shadow party alias partai bayangan yang sedang menunggu momentum yang tepat untuk mendeklarasikan diri secara formal.
Mengapa Anies memilih jalan memutar lewat ormas dan tidak langsung bikin partai saja menjadi pertanyaan yang menarik.
Jawaban paling logis adalah soal efisiensi sumber daya dan manajemen risiko di tengah ketidakpastian lanskap politik nasional.
Membuat partai baru di saat pemerintahan baru saja terbentuk memiliki risiko resistensi yang tinggi dari penguasa serta potensi deadlock jika tidak lolos verifikasi Kementerian Hukum.
Ormas memberikan fleksibilitas. Jika momentum 2029 bagus, maka ia bisa jadi partai. Sebaliknya jika tidak, maka ia tetap bisa menjadi pressure group yang memiliki daya tawar tinggi terhadap partai-partai yang ada.
Selain itu, kita harus mengakui bahwa persepsi publik terhadap partai politik di Indonesia masih berada di titik nadir dibandingkan institusi demokrasi lainnya.
Survei Indikator Politik Indonesia berulang kali menunjukkan tingkat kepercayaan publik atau trust terhadap partai politik selalu berada di urutan buncit.
Ada stigma negatif bahwa partai adalah sarang korupsi maupun transaksional dan elitis yang membuat sebagian kelas menengah dan anak muda enggan berafiliasi.
Siasat menghindari resistensi
Di sinilah letak kecerdikan strategi branding Anies lewat Gerakan Rakyat. Ia menawarkan wadah politik tanpa noda nama partai.
Bagi para pendukung Anies terutama segmen "Anak Abah" yang kritis serta rasional dan aktif di media sosial, bergabung dengan ormas terasa lebih noble dan ideologis ketimbang masuk partai.
Anies mencoba memanen dukungan dari kolam yang lebih luas termasuk mereka yang apolitis atau swing voters yang alergi terhadap atribut kepartaian konvensional.
Ormas memungkinkan Anies untuk terus merawat narasi Perubahan tanpa harus terbebani oleh pragmatisme koalisi yang kerap kali mengecewakan pendukung di level akar rumput.
Kita tahu bagaimana kecewanya sebagian pendukung ketika partai-partai pengusung Anies di 2024 satu per satu merapat ke koalisi pemerintah.
Melalui kendaraan sendiri yang berbasis ormas, Anies seolah ingin mengatakan kepada pendukungnya bahwa rumah mereka ada di sini dan bukan di partai-partai itu.
Gerakan Rakyat juga berfungsi sebagai alat ukur atau barometer loyalitas yang paling riil lewat data KTA yang terkumpul.
Di era big data sekarang, memiliki database pendukung yang valid secara by name by address adalah mata uang politik yang sangat berharga.
Jika Gerakan Rakyat mampu mengumpulkan jutaan anggota ber-KTA, maka itu adalah proposal yang sangat seksi untuk disodorkan kepada partai mana pun di 2029 atau menjadi modal verifikasi faktual jika ingin menjadi partai sendiri.
Meski demikian, jalan menuju pembentukan partai dari rahim ormas tidaklah semulus jalan tol sebagaimana yang dialami oleh Perindo atau NasDem di masa awal.
Tantangan terbesarnya adalah menjaga endurance logistik dan semangat kader di daerah agar tidak layu sebelum berkembang mengingat pemilu berikutnya masih empat tahun lagi.
Biaya pemeliharaan struktur organisasi dari pusat hingga ranting membutuhkan gizi yang tidak sedikit. Tanpa adanya kursi di parlemen atau akses ke kekuasaan, maka sumber pendanaan menjadi tantangan krusial.
Anies tampaknya menyadari bahwa Party ID atau kedekatan psikologis pemilih dengan partai di Indonesia sangat rendah, yakni rata-rata di bawah 15 persen.
Sebaliknya faktor ketokohan atau personalism masih menjadi faktor determinan utama dalam preferensi pemilih kita.
Gerakan Rakyat didesain sebagai kendaraan yang figure-centered serta bertumpu sepenuhnya pada pesona personal Anies Baswedan sebagai magnet elektoral.
Hal ini berbeda dengan partai kader yang berbasis ideologi sebab ini adalah tipikal partai massa yang disatukan oleh figur sentral.
Strategi ini juga bisa dibaca sebagai upaya Anies untuk tidak disandera lagi oleh elite partai politik seperti pengalaman Pilkada atau Pilpres sebelumnya.
Kita ingat drama tiket pencapresan yang penuh liku saat Anies harus menunggu kesepakatan para Kingmaker partai.
Melalui cara membangun basis massa riil yang terlembagakan, maka Anies ingin membalikkan posisi tawar agar bukan dia yang melamar partai, melainkan partai yang butuh massanya.
Tentu saja ada skeptisisme yang wajar muncul: apakah ormas ini akan efektif di tengah gempuran pragmatisme politik uang atau money politics.
Ormas yang berbasis relawan seringkali rapuh ketika berhadapan dengan operasi darat yang massif dan transaksional.
Namun, Anies mungkin bertaruh pada segmen pemilih rasional dan kelas menengah terdidik yang jumlahnya kian membesar secara demografis.
Menarik juga mencermati komposisi pengurus Gerakan Rakyat yang mengakomodasi berbagai elemen mulai dari aktivis dan mantan kader partai hingga profesional.
Ini mencerminkan upaya membangun catch-all organization yang merupakan wadah yang bisa menampung spektrum pendukung beragam, mulai dari kelompok Islam konservatif hingga nasionalis moderat.
Kemampuan meramu keberagaman basis pendukung ini akan menjadi ujian kepemimpinan Anies dalam mengelola konflik kepentingan di internal ormasnya sendiri.
Apakah Gerakan Rakyat akan menjadi Partai Gerakan Rakyat Indonesia di masa depan? Kemungkinannya sangat terbuka jika melihat tren partai-partai baru yang lahir dari sempalan atau ormas.
Namun, transformasi itu membawa risiko delusi. Banyak ormas besar gagal saat berubah jadi partai karena gagal mengonversi dukungan sosial menjadi suara elektoral.
Muhammadiyah dan NU punya basis massa raksasa, tetapi partai yang diasosiasikan dengan mereka tidak serta merta menang pemilu. Anies harus belajar bahwa anggota ormas tidak otomatis sama dengan pemilih partai.
Saya juga mencium adanya testimoni terselubung dari peluncuran ini kepada partai-partai yang dulu mengusungnya, tapi kini meninggalkannya.
Ini merupakan show of force atau unjuk kekuatan bahwa Anies masih berdiri tegak dan memiliki pasukan.
Dalam politik persepsi adalah realitas dan Anies sedang membangun persepsi bahwa ia adalah kekuatan politik yang mandiri dan otonom.
Namun, Anies harus hati-hati agar Gerakan Rakyat tidak terjebak menjadi ormas kultus individu yang mematikan nalar kritis sebagaimana yang kerap terjadi pada pendukung fanatik tokoh populis.
Jika ormas ini hanya menjadi echo chamber alias ruang gema bagi para pemuja, maka ia akan gagal memperluas basis dukungan atau outreach ke segmen pemilih yang belum memilih Anies.
Tantangannya adalah bagaimana membuat ormas ini inklusif dan tidak eksklusif bagi golongan tertentu saja.
Dalam konteks teori clientelism, maka ormas sering digunakan sebagai sarana distribusi patronase untuk merawat konstituen.
Tanpa akses ke sumber daya negara karena berada di luar pemerintahan, maka Anies harus kreatif menciptakan incentive non-material bagi anggotanya.
Mungkin lewat program pelatihan dan pemberdayaan ekonomi atau jaringan sosial yang dijanjikan dalam visi misi Gerakan Rakyat.
Satu hal yang pasti bahwa peluncuran KTA Gerakan Rakyat ini menegaskan sikap Anies Baswedan yang menolak untuk menjadi masa lalu.
Ia sedang berinvestasi untuk masa depan dan membeli tiket antrean 2029 jauh lebih awal dibanding kompetitor lainnya.
Sementara tokoh lain sibuk dengan birokrasi pemerintahan baru, maka Anies sibuk bergerilya membangun sel-sel jaringan di akar rumput.
Apakah strategi ini akan berhasil? Waktu yang akan menjawab. Namun, sejarah mengajarkan bahwa partai yang lahir dari ormas memiliki survival rate yang bervariasi.
NasDem berhasil, Perindo cukup berjuang, sementara banyak ormas lain layu sebelum berkembang menjadi partai. Kuncinya ada pada momentum dan daya tahan logistik.
Jadi kesimpulannya, Gerakan Rakyat adalah kendaraan taktis hibrida yang cerdik karena berbaju sosial tapi berotot politik.
Anies sedang memainkan bidak catur jangka panjang di mana ormas ini adalah benteng pertahanan sekaligus pangkalan penyerangan untuk kontestasi lima tahun mendatang.
Bagi publik, ini tontonan menarik. Sedangkan bagi kompetitor politik ini adalah alarm peringatan bahwa sang petahana Jakarta belum habis.
Anies paham betul bahwa dalam politik berhenti bergerak berarti mati dan KTA 0001 adalah bukti denyut nadi ambisinya yang masih berdetak kencang.
Tag: #gerakan #rakyat #teka #teki #kendaraan #politik #anies #baswedan