NU, Konsesi Tambang, dan Alarm Kebangsaan
Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya (kiri), KH Miftahul Akhyar (tengah), Zulfa Mustofa (kanan) (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal, Muhammad Iqbal, Fauzan)
12:46
22 Desember 2025

NU, Konsesi Tambang, dan Alarm Kebangsaan

POLEMIK yang belakangan mengemuka di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak dapat dibaca sebagai sekadar dinamika internal organisasi keagamaan.

Berbagai laporan media menunjukkan bahwa konsesi tambang yang diberikan negara kepada NU menjadi salah satu faktor dasar yang memicu dan memperuncing konflik internal, sekaligus membuka kembali perdebatan lama tentang arah, posisi, dan etika relasi NU dengan kekuasaan.

Bagi sebagian warga Nahdliyin, konsesi tersebut dipandang bukan hanya sebagai persoalan administratif atau ekonomi, melainkan sebagai simbol pergeseran orientasi organisasi.

Ia memunculkan kegelisahan tentang konflik kepentingan, kerusakan lingkungan, dan pudarnya independensi NU sebagai kekuatan moral.

Kegelisahan itu lalu menemukan bentuk politiknya dalam seruan islah, tuntutan pengembalian konsesi kepada negara, hingga dorongan percepatan muktamar.

Di titik ini, penting ditegaskan bahwa konflik di PBNU bukan hanya urusan internal organisasi, tetapi peristiwa kebangsaan, karena NU adalah pilar utama masyarakat sipil Indonesia.

NU bukan organisasi biasa. Ia adalah ibu kandung NKRI—bersama ormas besar lain—yang ikut melahirkan Indonesia merdeka, menjaga republik ini sejak awal berdirinya, dan hingga kini memikul tanggung jawab besar dalam melestarikan Indonesia di tengah masyarakat dunia.

Ketika NU terguncang, yang ikut terguncang bukan hanya struktur organisasi, melainkan kepercayaan publik terhadap salah satu penyangga utama kehidupan berbangsa.

Konflik PBNU hari ini sesungguhnya memperlihatkan satu hukum klasik dalam ilmu organisasi dan politik. Yang terjadi hari ini adalah manifestasi klasik dari hukum organisasi: the moment moral authority is mixed with material privilege, legitimacy becomes contested.

Otoritas moral—terutama yang dimiliki oleh organisasi keagamaan—hidup dari kepercayaan. Ia tumbuh dari konsistensi nilai, keteladanan sikap, dan keberanian menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan.

Ketika otoritas semacam ini mulai berkelindan dengan privilese ekonomi yang besar dan strategis, maka yang pertama kali terkikis bukanlah struktur, melainkan legitimasi.

Dalam konteks NU, konsesi tambang menjadi problematik bukan semata karena soal tambang itu sendiri, tetapi karena makna simboliknya.

Tambang dipersepsikan sebagai sumber konflik kepentingan, potensi kerusakan lingkungan, dan pintu masuk kooptasi kekuasaan.

Akibatnya, perdebatan di internal NU tidak lagi sebatas soal prosedur atau kepemimpinan, tetapi menyentuh jantung identitas organisasi.

Di sinilah krisis legitimasi mulai bekerja. Bahkan jika secara hukum konsesi tersebut sah, secara etika publik ia tetap dipersoalkan.

Bagi organisasi bermoral, persepsi publik sering kali lebih menentukan daripada legalitas formal. Ketika kepercayaan mulai terbelah, konflik internal menjadi hampir tak terelakkan.

Negara dan kekeliruan relasi ekonomi dengan Ormas

Dari sudut pandang kebangsaan, refleksi paling penting justru perlu diarahkan kepada negara. Polemik ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya cermat dalam merancang relasi ekonomi dengan ormas keagamaan.

Ormas keagamaan diperlakukan seolah-olah dapat dikelola dengan logika ekonomi yang sama seperti entitas bisnis atau korporasi.

Padahal, dalam demokrasi, fungsi utama ormas keagamaan—terutama NU—bukanlah ekonomi, melainkan sosial, kultural, dan moral.

NU selama ini berperan sebagai penyangga moderasi Islam, perekat kebinekaan, dan pengawal etika publik. Peran-peran ini justru menuntut jarak relatif dari kekuasaan dan kepentingan material negara.

Pemberian konsesi ekonomi strategis, betapapun dimaksudkan sebagai bentuk pemberdayaan, membawa risiko besar.

Ia berpotensi memicu konflik internal, menarik Ormas ke dalam pusaran kepentingan ekonomi-politik, dan melemahkan posisi kritisnya terhadap negara.

Alih-alih memperkuat masyarakat sipil, kebijakan semacam ini dapat menjinakkan kekuatan moral yang seharusnya berdiri independen.

Dalam konteks NU, risiko tersebut kini nyata. Konflik yang terjadi bukan hanya melelahkan secara organisatoris, tetapi juga menguras energi kebangsaan.

Negara perlu jujur mengakui bahwa tidak semua bentuk kedekatan adalah penguatan, dan tidak semua pemberdayaan harus berbentuk privilese ekonomi langsung.

Warisan pemikiran Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memberi cermin penting bagi situasi hari ini. Gus Dur tidak pernah memusuhi negara, tetapi ia sangat tegas menjaga jarak etis antara NU dan kekuasaan.

Bahkan ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak memberikan privilese ekonomi kepada NU. Sebaliknya, ia justru mengingatkan warga NU agar tetap kritis kepada penguasa.

Bagi Gus Dur, kekuatan NU terletak pada kemerdekaan sikapnya. NU harus cukup dekat dengan rakyat untuk memahami penderitaan mereka, dan cukup jauh dari kekuasaan agar mampu mengoreksinya.

Prinsip inilah yang menjadikan NU bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi kekuatan masyarakat sipil yang disegani di dalam dan luar negeri.

Konflik PBNU hari ini seharusnya menjadi momentum refleksi bersama. Negara perlu mengevaluasi relasi ekonominya dengan ormas keagamaan, terutama dalam sektor-sektor strategis seperti sumber daya alam.

Ormas keagamaan, di sisi lain, perlu menegaskan kembali jati dirinya sebagai kekuatan moral dan sosial, bukan aktor ekonomi-politik.

Indonesia membutuhkan NU yang kuat secara moral, bukan kuat secara konsesi. Negara membutuhkan mitra kritis, bukan sekutu transaksional.

Dan demokrasi hanya akan sehat jika masyarakat sipil berdiri tegak, merdeka dari kooptasi, serta berani menjaga jarak dengan kekuasaan.

Berkaca pada NU hari ini, bangsa ini diingatkan kembali bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan satu organisasi, melainkan masa depan etika kebangsaan itu sendiri.

Jika pelajaran ini diabaikan, maka konflik serupa bukan mustahil akan terulang—bukan hanya di NU, tetapi di berbagai simpul penting kehidupan berbangsa.

Tag:  #konsesi #tambang #alarm #kebangsaan

KOMENTAR