Mata Elang, Privasi Warga, dan Regulasi Digital
Polres Gresik, Jawa Timur, menetapkan dua orang sebagai tersangka (tengah) kasus dugaan penyalahgunaan dan penjualan data pribadi debitur, melalui aplikasi Go Matel R4 yang kerap dimanfaatkan oleh debt collector ilegal.(Dok. Polres Gresik)
10:54
22 Desember 2025

Mata Elang, Privasi Warga, dan Regulasi Digital

HIRUK-pikuk kota yang semestinya menjadi ruang kebebasan kini perlahan bergeser menjadi arena pengawasan. Aplikasi pelacak kendaraan yang dipakai dalam praktik penagihan utang menjadikan jalanan sebagai titik rawan intimidasi.

Identitas kendaraan, nomor rangka, hingga riwayat cicilan dapat diakses dan dipertukarkan dengan mudah. Warga pun kehilangan posisi sebagai subjek berdaulat, berubah menjadi target dalam ekosistem digital yang predatoris.

Dalam tiga minggu terakhir, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memblokir sejumlah aplikasi yang terbukti menyalahgunakan data pribadi secara sistemik (Komdigi, 17/12/2025).

Langkah ini patut diapresiasi sebagai kemenangan teknis, tetapi sesungguhnya baru menyentuh permukaan luka kronis: eksploitasi kerentanan manusia dalam ekonomi digital yang timpang.

Sekilas, aplikasi semacam ini tampak sebagai alat efisiensi bisnis leasing. Namun, substansinya adalah “stalker ekonomi” yang beroperasi di luar koridor hukum beradab.

Data nomor polisi, jenis kendaraan, hingga lokasi real-time dipertukarkan di pasar gelap informasi, seolah martabat manusia tak lagi bernilai di hadapan angka tagihan.

Ketika data bocor dan digunakan untuk intimidasi, dampaknya bukan sekadar kerugian nominal. Korban pelanggaran data kerap mengalami guncangan emosional intens, ketakutan sistemik, dan hilangnya kendali atas hidup (Smith, 2021).

Teknologi ini berubah menjadi senjata yang melucuti rasa aman warga. Debitur yang telat membayar cicilan satu-dua bulan tak hanya menghadapi denda, melainkan dihantui bayang-bayang pencegatan oleh debt collector/mata elang.

Intimidasi digital menciptakan perasaan “selalu diawasi” yang meruntuhkan kemerdekaan individu.

Pertanyaan kritis pun muncul: sejauh mana kita membiarkan algoritma mengambil alih hak dasar manusia untuk sekadar merasa aman?

Psikologi utang dan eksploitasi

Keterkaitan antara beban utang dan degradasi kesehatan mental bukanlah isapan jempol. Riset menunjukkan kecemasan finansial berkorelasi langsung dengan meningkatnya tekanan psikologis dan risiko depresi berat (Jones, 2022).

Aplikasi pelacak semacam ini beroperasi tepat di jantung kecemasan tersebut—mengeksploitasi rasa malu dan takut nasabah untuk memaksakan interaksi yang semestinya diselesaikan lewat koridor perdata yang manusiawi.

Lebih dalam, praktik ini merefleksikan eksploitasi struktural. Eksploitasi ekonomi bukan sekadar persoalan upah rendah, melainkan determinan penting yang merusak kesehatan mental masyarakat (Brown, 2021).

Ketika perusahaan leasing memberikan atau membiarkan akses data nasabah kepada pihak ketiga yang memakai cara intimidatif, mereka melanggengkan kekerasan struktural yang dilegitimasi teknologi.

Data nasabah berhenti menjadi amanah; ia dijadikan komoditas untuk menindas kembali pemiliknya demi keuntungan segelintir pihak.

Kesenjangan kekuasaan yang tajam menciptakan lingkungan di mana pihak yang kuat secara finansial merasa berhak “mematikan” hak-hak dasar pihak lemah atas nama piutang.

Pertukaran sosial menjadi timpang: debitur menanggung beban stres, ancaman fisik, dan rasa malu, sementara penagih memanen kemudahan akses informasi tanpa akuntabilitas perlindungan (Lee, 2023). Ini adalah kegagalan kontrak sosial yang telanjang di tengah hiruk-pikuk era digital.

Di Indonesia, kerangka hukum sebenarnya tersedia. UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menetapkan prinsip pemrosesan data yang sah, pembatasan tujuan, dan akuntabilitas pengendali data (Kemenkominfo, 20/10/2022).

OJK telah menerbitkan pedoman perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, termasuk larangan praktik penagihan yang mengandung ancaman atau intimidasi (OJK, 05/03/2024).

Namun, selisih antara norma dan praktik masih lebar: kebocoran data, outsourcing penagihan kepada pihak dengan standar etik longgar, dan minimnya audit kepatuhan menjadikan warga berhadapan dengan “preman digital” yang memanfaatkan celah operasional.

Karena itu, narasi “efisiensi bisnis” harus diletakkan berdampingan dengan narasi “martabat manusia”.

Ketika perusahaan membangun sistem yang memanfaatkan bias kognitif—seperti loss aversion, rasa malu, dan ketakutan reputasi—untuk mendorong kepatuhan cicilan, maka desain tersebut berubah menjadi alat kontrol psikologis yang berbahaya.

Di titik ini, etika desain bukan jargon, melainkan pagar hukum yang melindungi warga dari manipulasi terstruktur (Behavioral Policy Unit, 2023).

Memulihkan keadilan digital

Langkah Komdigi memerintahkan platform menghapus aplikasi bermasalah menunjukkan otoritas negara hadir (Komdigi, 17/12/2025).

Namun, efektivitas perintah institusi sering bergantung pada persepsi legitimasi dan konsistensi pengawasan di lapangan (Taylor, 11/08/2025).

Artinya, pemblokiran hari ini mudah diakali besok melalui aplikasi baru dengan nama berbeda, tetapi fungsi predatoris serupa.

Kita membutuhkan perubahan paradigma yang lebih fundamental. Negara tidak boleh hanya menjadi “pemadam kebakaran” saat api keresahan membara, melainkan arsitek ekosistem digital yang melindungi martabat manusia dari akarnya.

Ada tiga poros kebijakan yang perlu ditegakkan. Pertama, pencegahan melalui standar desain: larang eksploitasi bias kognitif dalam penagihan, wajibkan audit dampak hak asasi terhadap sistem pelacakan, dan kenakan sanksi pada pemrosesan data tanpa dasar hukum yang sah (Kemenkominfo, 20/10/2022).

Kedua, penegakan tegas: denda administratif progresif bagi kebocoran data, pencabutan izin bagi leasing yang mengalihdayakan penagihan intimidatif, serta kewajiban pelaporan insiden keamanan yang transparan (OJK, 05/03/2024).

Ketiga, pemulihan: akses cepat ke bantuan hukum, kanal pengaduan yang responsif, dan layanan dukungan mental bagi korban intimidasi digital (Public Health Agency, 14/06/2022).

Literasi keuangan perlu dibarengi literasi privasi: warga harus memahami jejak data, hak untuk keberatan, dan mekanisme penghapusan data ketika tujuan pemrosesan selesai (Kemenkominfo, 20/10/2022).

Di sisi lain, jurnalisme investigatif dan kanal pelaporan publik harus diperkuat agar praktik predatoris tidak berlindung di balik jargon “transformasi digital”.

Kebijakan digital yang baik tidak diukur dari jumlah aplikasi yang diblokir, melainkan dari rasa aman yang dirasakan warga saat menggunakan gawai dan menjalani aktivitas tanpa ketakutan.

Menghapus aplikasi pelacak hanyalah langkah awal. Yang lebih penting adalah memastikan teknologi berdiri di sisi martabat, bukan melawan hak-hak dasar warga.

Di balik setiap baris data, ada nyawa dan kehormatan manusia yang tak boleh diinjak oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Hanya dengan itu kita bisa menyebut diri sebagai bangsa berdaulat, adil, dan bermartabat di tengah riuh era digital yang kian menuntut empati dan akuntabilitas.

Tag:  #mata #elang #privasi #warga #regulasi #digital

KOMENTAR