Regulasi Kepolisian dan Makna Kepatuhan Konstitusional
Ketua merangkap anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie (kelima kanan) bersama anggota (kiri ke kanan) Otto Hasibuan, Listyo Sigit Prabowo, Ahmad Dofiri, Tito Karnavian, Badrodin Haiti, Mahfud MD, Idham Aziz, Yusril Ihza Mahendra dan Supratman Andi Agtas memberikan keterangan pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (7/11/2025). Komisi yang dibentuk untuk melakukan kajian terhadap institusi Polri itu nantinya akan memberikan laporan secara periodik kepada
09:38
22 Desember 2025

Regulasi Kepolisian dan Makna Kepatuhan Konstitusional

RENCANA peningkatan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menjadi Peraturan Pemerintah (PP) akan menimbulkan persoalan dalam praktik ketatanegaraan Indonesia.

Persoalannya sekarang ini Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia belum direvisi.

Sementara Mahkamah Konstitusi (MK) telah lebih dahulu memberikan tafsir konstitusional yang bersifat final dan mengikat terkait pembatasan penugasan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian.

Isu ini bukan semata soal teknis administrasi, melainkan menyangkut kepatuhan negara terhadap prinsip negara hukum.

Dalam sistem konstitusional, putusan MK tidak dapat diposisikan sebagai rujukan tambahan, melainkan sebagai bagian dari norma hukum itu sendiri.

Karena itu, setiap kebijakan lanjutan seharusnya berangkat dari semangat dan batasan yang telah ditegaskan oleh MK.

Dalam putusannya, MK menekankan pentingnya menjaga profesionalisme dan netralitas Polri dengan membatasi keterlibatan anggota kepolisian aktif dalam jabatan di luar institusinya.

Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk mencegah percampuran peran antara fungsi keamanan dan fungsi pemerintahan sipil, sekaligus menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem demokrasi.

Tafsir konstitusional ini seharusnya menjadi fondasi utama dalam pembentukan regulasi lanjutan.

Namun, lahirnya Perpol 10/2025—yang kemudian direncanakan ditingkatkan statusnya menjadi PP—memunculkan kegelisahan publik.

Ketika regulasi turunan disusun dan dinaikkan derajatnya sebelum revisi undang-undang induk diselesaikan, muncul kesan bahwa arah kebijakan justru sedang dibentuk dari bawah, bukan dari undang-undang sebagai pangkal norma.

Dalam tata hukum Indonesia, hirarki peraturan perundang-undangan bukan sekadar urutan formal. Ia mencerminkan ketertiban berpikir dalam membangun norma.

Undang-undang dibentuk melalui proses politik dan representasi rakyat, sedangkan PP berfungsi menjalankan undang-undang tersebut.

Jika PP lahir tanpa pijakan undang-undang yang telah disesuaikan dengan putusan MK, maka fungsi pelaksanaan berpotensi bergeser menjadi pembentukan norma baru.

Di titik inilah makna kepatuhan konstitusional diuji. Regulasi yang baik tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga setia pada substansi konstitusional.

Kekhawatiran muncul ketika regulasi administratif justru membuka ruang tafsir baru yang berpotensi mengendurkan pembatasan yang telah ditegaskan MK. Jika ini terjadi, maka putusan MK berisiko kehilangan daya korektifnya dalam praktik.

Pihak yang mendukung Perpol 10/2025 kerap menekankan pentingnya kepastian hukum dan kejelasan mekanisme penugasan anggota Polri.

Argumen ini dapat dipahami, karena negara memang membutuhkan aturan teknis agar tata kelola pemerintahan berjalan efektif dan terhindar dari kekosongan pengaturan. Namun, kepastian hukum tidak dapat dilepaskan dari kesetiaan pada konstitusi,

Kepastian hukum yang dibangun dengan membuka ruang pengecualian justru berpotensi melahirkan ketidakpastian baru.

Pertanyaan mendasarnya bukan sekadar apakah aturan tersedia, melainkan apakah aturan tersebut mempertegas pembatasan atau justru mengelola pengecualian.

Dalam konteks putusan MK, yang harus dijaga adalah substansi pembatasan, bukan sekadar tertib administrasi.

Lebih luas lagi, praktik mendahulukan regulasi turunan sebelum revisi undang-undang selesai berpotensi menciptakan preseden yang kurang sehat dalam reformasi hukum.

Negara tampak lebih responsif terhadap kebutuhan institusional jangka pendek ketimbang membangun kepastian hukum jangka panjang.

Jika pola ini terus berulang, putusan MK berisiko diperlakukan sebagai rintangan administratif, bukan sebagai panduan konstitusional.

Padahal, salah satu peran utama MK adalah memastikan agar seluruh cabang kekuasaan, termasuk institusi penegak hukum, tetap bergerak dalam koridor konstitusi.

Dalam konteks Polri—institusi dengan kewenangan besar dan posisi strategis—kehati-hatian dalam merespons putusan MK menjadi semakin penting.

Pilihan yang lebih sejalan dengan prinsip negara hukum sesungguhnya cukup jelas: menyelesaikan terlebih dahulu revisi UU Polri dengan tunduk sepenuhnya pada putusan MK, lalu menyusun PP sebagai aturan pelaksana.

Dengan demikian, PP benar-benar berfungsi menjalankan undang-undang, bukan mendahului atau mengarahkannya.

Reformasi Polri tidak cukup diukur dari efektivitas organisasi atau kelancaran administrasi, tetapi dari komitmen terhadap supremasi konstitusi.

Ketika konstitusi telah berbicara melalui MK, konsistensi dalam menaatinya menjadi ukuran kedewasaan demokrasi.

Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya soal satu Perpol atau satu PP, melainkan kredibilitas negara hukum dan penghormatan terhadap putusan konstitusional sebagai fondasi bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tag:  #regulasi #kepolisian #makna #kepatuhan #konstitusional

KOMENTAR