Biarkan Dunia Membantu Sumatera
Warga berjalan di dekat pemukiman yang rusak akibat banjir di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). Pemerintah Aceh memperpanjang masa tanggap darurat bencana hidrometeorologi hingga 25 Desember 2025 karena kondisi lapangan masih membutuhkan penanganan intensif, terpadu, dan terkoordinasi. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
05:58
22 Desember 2025

Biarkan Dunia Membantu Sumatera

POLEMIK mengenai boleh-tidaknya pemerintah daerah di tiga provinsi Sumatera terdampak bencana menerima bantuan internasional menjadi semakin liar.

Kritikan kepada pemerintahan Prabowo Subianto datang bertubi-tubi. Warga lokal (netizen Indonesia) dan komunitas internasional seolah berkolaborasi erat melancarkan serangan kritis, baik di dunia maya maupun melalui kanal-kanal media arus utama.

Warga Malaysia menjadi salah satu yang paling vokal, khususnya saat bantuan mereka dianggap kecil oleh Mendagri Tito Karnavian.

Sekalipun Tito kemudian meminta maaf, nasi sudah menjadi bubur. Rakyat Malaysia terlanjur marah. Bahkan mantan Menlu Tan Sri Rais Yatim turut bersuara keras, meminta Tito belajar adab sebelum bicara.

Penolakan bantuan 30 ton beras Uni Emirat Arab (UEA) juga menjadi coreng dalam hubungan antarbangsa Indonesia. Beruntung ormas Muhammadiyah bergerak cepat, menyatakan kesiapan menjadi penerima. Api masalah bilateral dapat dipadamkan.

Sikap resmi penolakan Pemerintah Indonesia terhadap bantuan asing terkuak jelas dari pernyataan Presiden Prabowo.

Dalam Sidang Kabinet pada 15 Desember 2025, ia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara  kuat. Karenanya Pemerintah mampu mengatasi bencana di Sumatera.

Itu juga yang mungkin menjadi alasan mengapa sampai hampir satu bulan sejak banjir bandang terjadi, Prabowo tak kunjung menetapkan status ‘Bencana Nasional’. Karena jika ditetapkan, Pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi.

Lebih rumit lagi, Prabowo juga menyatakan bahwa ada pihak-pihak asing yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara kuat.

Bagaimana saran yang dapat kita rekomendasikan kepada Presiden Prabowo?

Pertama, jika hal-hal yang disampaikan Pemerintah sudah atau sedang terealisasi, misalnya pengerahan lebih dari 50.000 personel TNI-Polri, mobilisasi masif bantuan kemanusiaan, dan rehabilitasi cepat infrastruktur vital, semuanya layak dihormati.

Namun, perlu menjadi catatan. Hal-hal di atas adalah kewajiban negara, bukan indikator suatu negara kuat atau tidak.

Tidak perlu mengutip norma internasional seperti Konvensi PBB mengenai hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

Pasal 28 UUD 1945 sudah jelas menyuratkan bahwa negara harus melindungi hak hidup, pendidikan, dan kebutuhan mendasar lainnya.

Permasalahannya, apa yang disampaikan sejumlah aparat negara tidak terlihat oleh publik. Potret yang digambarkan media arus utama dan media sosial tidak seperti yang disampaikan Pemerintah.

Justru yang viral adalah sejumlah daerah – seperti di Aceh Tamiang dan Bener Meriah – yang berminggu-minggu usai banjir menerjang belum tersentuh bantuan Pemerintah Pusat.

Tidak jelas apakah ini disebabkan karena lemahnya ‘public relations’ Pemerintah, atau realita sebenarnya. Namun yang pasti, masih banyak saudara kita di Sumatera terus bertarung untuk sekedar bertahan hidup pascabencana.

Kedua, kita sangat mengharapkan Pemerintah Indonesia dapat segera membuka diri menerima bantuan internasional, apapun skalanya.

Negara besar seperti Amerika Serikat (AS) saja tetap menerima bantuan kemanusiaan internasional, seperti saat mereka terkena badai Katrina pada Agustus 2005 lampau.

Dalam norma antarbangsa (international norms), pengiriman bantuan kemanusiaan dari sejumlah negara ke negara yang terdampak bencana adalah hal wajar, bahkan keniscayaan.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Desember tahun lalu, mengeluarkan Resolusi A/RES/79/139 berjudul “International cooperation on humanitarian assistance in the field of natural disasters, from relief to development”.

Singkatnya, bantuan kemanusiaan akibat bencana alam yang disalurkan melalui kerja sama internasional adalah hal yang wajar.

Indonesia bahkan menjadi salah satu negara pengusung resolusi di atas, karena diusulkan oleh Kelompok 77 dan China dimana Indonesia adalah anggotanya.

Dengan kata lain, sikap Pemerintah Aceh yang menyurati PBB, khususnya UNDP dan UNICEF, tidak seyogianya diartikan sebagai penyimpangan dalam hubungan luar negeri.

Dalam konteks kondisi normal, hal itu bisa saja dianggap tidak berkesesuaian dengan perundang-undangan. Bahwa hanya Pemerintah Pusat yang berhak melakukan hubungan luar negeri secara formal.

Namun, dalam kondisi darurat, terlebih konteks bencana Sumatera yang berskala amat dahsyat, sudah sewajarnya ada pengecualian.

Sekiranya Pemerintah Pusat menyalahkan sikap Pemerintah Aceh atas inisiatif hubungan luar negerinya, besar kemungkinan akan mendapatkan perlawanan dari rakyat Aceh. Tentu kita tidak menginginkan dampak buruk politis dari penanganan bencana Sumatera ini.

Ribuan korban bencana dari Tapanuli Tengah berjalan kaki mencari bantuan ke Tapanuli Utara, Sumut, Rabu (3/12/2025). Warga berjalan kaki selama 5-6 jam karena sudah kehabisan bahan pokok. Sudah lebih sepekan Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah terisolasi dan tidak bisa diakses dari jalur darat.KOMPAS/NIKSON SINAGA Ribuan korban bencana dari Tapanuli Tengah berjalan kaki mencari bantuan ke Tapanuli Utara, Sumut, Rabu (3/12/2025). Warga berjalan kaki selama 5-6 jam karena sudah kehabisan bahan pokok. Sudah lebih sepekan Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah terisolasi dan tidak bisa diakses dari jalur darat.Ketiga, sudah seharusnya Pemerintah Pusat menetapkan bencana Sumatera sebagai ‘Bencana Nasional’.

Media arus utama, media sosial, bahkan handai-taulan di daerah terdampak seolah tak henti menyuarakan beratnya keadaan yang dihadapi warga di lokasi bencana Sumatera.

Anak-anak yang memelas meminta makanan, orang-orang tua sakit yang berteduh di tempat tinggal tidak layak, dan tumpukan ribuan gelondongan kayu yang mengepung sejumlah daerah, adalah hal-hal menyedihkan yang terus kita saksikan saat ini.

Ketidakinginan Presiden Prabowo untuk menetapkan status Bencana Nasional justru memunculkan isu-isu liar.

Lihatlah di media sosial, di mana kritikan pedas-keras para netizen justru mengarah kepada hal-hal terkait kepentingan bisnis pribadi, para pejabat, oligarki penyokong kekuasaan, dan bahkan pembalakan-deforestasi yang difasilitasi negara.

Semakin keras Presiden Prabowo menolak tuntutan penetapan status Bencana Nasional, semakin keras pula rakyat melakukan perlawanan.

Sampai saat ini saja ratusan masyarakat sipil, termasuk LBH Muhammadiyah, sudah atau akan melayangkan somasi ‘class action’ kepada Pemerintah Pusat.

Terakhir, terkait sinyalemen Presiden Prabowo bahwa ada pihak asing yang tidak suka Indonesia menjadi negara kuat, sebaiknya disampaikan dengan fakta dan data.

Karena jika hal ini dibiarkan dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan ketegangan Indonesia dengan negara lain.

Namun, untuk saat ini, sebaiknya negara mengerahkan mayoritas sumber daya untuk penanganan pascabencana.

Termasuk dengan rendah hati menetapkan bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional dan kemudian mempersilahkan dunia internasional memberikan bantuan.

Mari membuka pintu, membiarkan dunia membantu Sumatera. Tidak ada kata terlambat atas nilai-nilai kemanusiaan.

Bisa jadi, berdasarkan kerendahatian itulah Indonesia akan menjadi negara besar, melampaui status ‘kuat’ sebagaimana impian Prabowo. Wallahu a’lam.

Tag:  #biarkan #dunia #membantu #sumatera

KOMENTAR