Jangan Minta Pers Mingkem dalam Bencana Sumatera
DULU, saat ini, dan di masa mendatang, pers adalah kepanjangan tangan dari kenyataan atau realitas. Ia cermin, gambaran, dan wakil dari apa yang terjadi hari ini.
Iya, sekalipun kebenaran di situ sekadar "kebenaran jurnalistik" yang terikat waktu, ruang dan masalah yang melingkupinya (konteks).
Kebenaran jurnalistik tidak berhasrat menjadi kebenaran mutlak, karena ia bisa "diadendum", "diperbaiki", dan bahkan "dikurangi" seiring proses jurnalistik yang kontinyu. Demikian pula dengan bencana banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatera.
Pers melaporkan peristiwa bencana itu secara berkala (reguler) untuk memberi tahu publik tentang apa yang terjadi, mengapa semasif itu, bagaimana pemerintah lokal dan pusat menanganinya, hingga benarkah peristiwa yang menewaskan lebih dari seribu jiwa itu semata karena faktor alam atau juga disebabkan ulah manusia.
Lebih jauh, jika ada sumbangan ulah manusia, apakah aktor atau penjahat lingkungannya bakal dibawa ke meja hijau. Siapa saja mereka dan telah sejauh mana penegak hukum memburu penjahat lingkungan tersebut.
Lewat kerja jurnalistik yang tekun dan mengedepankan verifikasi, publik dapat memperoleh informasi dan berita (news) dari lapangan.
Bukan hanya publik, para pengambil kebijakan (decision maker) di tingkat lokal dan pusat dapat menggunakan informasi itu untuk menetapkan dan memutuskan kebijakan (policy) yang tepat untuk korban bencana.
Pers yang bekerja dengan baik bakal menghasilkan informasi dan berita yang berkualitas. Dan dengan informasi serta berita yang berkualitas, pejabat publik akan terbantu dalam menerbitkan policy yang tepat.
Pada akhirnya policy yang tepat bakal berguna buat khalayak luas. Inilah hubungan "berantai" yang menegaskan peran pers akan kekal, dan tak mungkin dilindas sang waktu.
Hari-hari ini kerja pers sedang diinterupsi. Seorang petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI AD) meminta media massa agar tidak mengekspose kekurangan dalam penanganan bencana di Sumatera.
"Tolong informasikan kami kekurangan itu, jangan diekspose lewat media," tegasnya di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta (Tempo.co, 19/12/2025).
Di hari yang sama, seorang anggota kabinet Merah Putih mengingatkan tokoh atau orang yang memiliki pengaruh atau influencer.
Katanya, mereka yang dianugerahi pengaruh, kecil atau besar, serta punya kemampuan menyampaikan pendapat di ruang publik sebaiknya menggunakan peran tersebut secara bertanggung jawab (MediaIndonesia.com, 19/12/2025).
Nadanya sama, meski ditujukan pada dua entitas yang jelas berbeda langit dan bumi. Influencer dan media massa sama-sama menyampaikan informasi.
Sementara media massa menyampaikan berita atau informasi yang memiliki kebaruan (aktualitas) lewat kerja jurnalistik, pemengaruh atau influencer tak terikat pada sistem kerja dan etika tertentu ketika menyampaikan informasi, perspektif dan pendapat atau opini.
Dalam negara demokrasi, influencer boleh berbicara. Ia memiliki hak dan kebebasan berbicara serta berpendapat.
Sang subyek atau aktor bisa saja membingkai dirinya sebagai intelektual publik sehingga punya keabsahan berbicara atas sesuatu topik, isu dan lain-lain yang ia kuasai, geluti dan dalami.
Pertanggungjawabannya adalah ia sedang membicarakan kebenaran, bukan kebohongan atau membual dan berpura-pura menyampaikan kebenaran.
Bencana Sumatera tidak hanya membuat pers mengirim armada mereka ke lapangan, tapi juga menyentuh hati sejumlah influencer untuk terjun ke mandala bencana itu.
Mungkin saja ada kesamaan tujuan. Mungkin banyak perbedaan. Pers di atas segalanya bekerja untuk mewakili keingintahuan publik atas bencana di Sumatera itu hingga menjadi kontrol terhadap kekuasaan---dalam hal ini cara pemerintah lokal dan pusat menangani bencana yang bikin satu jutaan orang mengungsi di awal Desember lalu itu.
Pers bekerja sebagai wakil publik. Ia bukan wakil pemerintah atau lembaga yang terkait dengan government. Bukan juga wakil non-government organization (NGO).
Segenap hal, informasi atau data, yang diperolehnya dilaporkan kepada publik dalam bentuk berita atau laporan jurnalistik---baik teks, grafik dan audio-visual.
Pers tak punya kewajiban melaporkan atau menyampaikan hal yang ditemukannya kepada aparat TNI, Polri, BNPB, pemda atau kementerian tertentu. Pers tidak bekerja sebagaimana orang hubungan masyarakat atau humas melakukannya.
Kekurangan dalam penanganan bencana di Sumatera akan dilaporkannya kepada publik. Dan pihak-pihak terkait akan diberi ruang untuk menyangkal, menangkis, membantah atau membenarkan temuannya. Prinsip coverboth side atau multiside berlaku.
Saking fundamentalnya, awak pers yang bekerja di lapangan tak boleh dihalang-halangi dalam menjalankan kerja atau tugas jurnalistik. Hal itu dijamin oleh Undang-Undang.
Imbauan agar "kekurangan" menyangkut penanganan bencana di Sumatera diinformasikan pada TNI dan tidak diekspos di media massa sama dengan menyuruh pers "mingkem", alias diam dan bungkam.
Saya teringat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Dua pekan sebelum bencana menerjang ujung Barat dan Utara Sumatera, dalam acara "Fun Run for Good Journalism", menteri bergaya koboi itu mengingatkan insan pers. "Yang saya lihat beberapa tahun ini, jurnalisnya mingkem semua. Nggak pernah kasih kritik, akibatnya ekonomi kita susah," ujar Purbaya (Tirto.id, 17/11/2025).
Purbaya kerap kali menyinggung "apa yang tak dilakukan di masa lalu sebagai telah menyebabkan ekonomi negeri kita susah".
Ini premis yang harus selalu diuji. Sebab, bagaimana pun itu mengandung justifikasi dan ingin dimaklumi serta belum tentu sebuah fakta.
Komunitas pers mengampanyekan "good journalism", tapi kok seperti disentil Purbaya, "jurnalisnya mingkem semua"? Ini sebuah paradoks.
Jika pers Indonesia menerapkan "good journalism" atau praktik jurnalisme yang baik, seharusnya pers setia menjadi pilar keempat demokrasi: Menjalankan fungsi kontrol dan kritik terhadap kekuasaan.
Dan itulah yang disentil oleh Purbaya. Ia mengingatkan fungsi pers sebagai tukang kritik.
Sehubungan pemberitaan atau laporan terkait penanganan bencana di Sumatera, publik menyaksikan ajakan Purbaya itu belum merasuk dan apalagi menjadi spirit pers Indonesia.
Sebuah stasiun televisi men-take down laporan langsung atau live-nya dari sebuah lokasi di Aceh.
Dalam laporan itu, kru televisi bersangkutan sempat menitikkan air mata, tercekat dan menguraikan situasi dan kondisi berdasarkan pengamatan dan pengalaman dia di lokasi.
Laporan itu menyatakan hal yang dilihat dengan mata kepala sendiri oleh si produser lapangan.
Ada emosi tertentu yang tumpah. Ada sedikit subjektivitas yang bercampur dengan objektivitas.
Dan laporan itu viral, membetot perhatian publik karena dinilai mewakili apa yang tidak dikerjakan atau terlambat dilaksanakan oleh pemerintah.
Karena dinilai "rentan disalahgunakan sehingga berpotensi memicu framing dan mendiskreditkan pihak tertentu", konten itu ditarik alias di-take down. Penjelasan ini tetap membuat publik bertanya-tanya tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Saya teringat Danny Schechter. Bukunya "The Death of Media and The Fight to Save Democracy" (2005) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia, dua tahun selepas terbit.
Di halaman 92, ia menyitir keinginan Paus Yohanes Paulus II tentang tanggung jawab sosial media.
Paus berminat besar tentang "mempromosikan keadilan dan solidaritas berdasarkan visi yang organik dan benar tentang perkembangan manusia dengan melaporkan berbagai peristiwa secara akurat dan jujur, menganalisis situasi dan masalah secara utuh, dan menyediakan forum untuk opini-opini yang berbeda".
Paus lalu melanjutkan pikirannya tentang media. "Pendekatan etik yang otentik menggunakan media komunikasi yang kuat harus didudukkan dalam konteks pelaksanaan kebebasan dan tanggung jawab secara dewasa, yang bertumpu pada kriteria-kriteria utama tentang kebebasan dan keadilan."
Paus Yohanes Paulus II peduli pada pers yang bebas, pers yang melaporkan berbagai peristiwa secara akurat dan jujur, serta dijalankan dengan bertumpu pada kebebasan dan keadilan.
Pers yang bebas, dan tak dibungkam, dapat menjalankan fungsi kritik dan kontrol terhadap kekuasaan. Sebaliknya pers yang terbelenggu bakal terdiam seribu bahasa alias mingkem.
Saking pedulinya, Paus Yohanes Paulus II menyebut perlunya cara-cara baru dan transformatif agar media massa bisa eksis, terutama karena menimbang manfaat media bagi kemanusiaan. Ini relevan dengan masalah media massa mutakhir yang terkurung urusan "dapur".
Pemerintah pusat, pemerintah lokal, TNI, BNPB hingga relawan telah bekerja keras merespons dan menangani bencana di Sumatera. Namun, pemerintah harus jujur dan mengakui kalau masih ada kekurangan di sana-sini.
Sejauh ini ada-ada saja pernyataan dari anggota kabinet yang tidak pas dan menerbitkan kontroversi. Pers yang bebas sudah sewajarnya jika terus mengingatkan.
Pada 2004 silam, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sigap menetapkan tsunami Aceh dan Nias sebagai bencana nasional.
Saat ini, dengan skala kerusakan yang lebih masif--terutama menyangkut kerusakan infrastruktur di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat--Presiden Prabowo Subianto tak kunjung meningkatkan status darurat bencana di sana.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf, misalnya, tak mungkin melempar handuk dan menegakkan bendera putih.
Namun, bukankah kedaruratan dan skala kerusakan--disebut sebagai tsunami kedua--telah bicara dengan terang benderang?
Alih-alih, presiden malah berbicara hal yang tidak perlu menyangkut penanganan bencana ini ketika menyebut "tidak punya tongkat Nabi Musa".
Pemerintah mengaku respons atas bencana ini telah dilakukan sejak hari pertama dan berskala nasional. Jika begitu, mengapa keadaan di lapangan belum menunjukkan hal itu?
Sudah lebih dari tiga pekan, tapi korban di lokasi serta publik luas belum teryakinkan bahwa kondisi dan penanganannya telah on the right track. Sampai 18 Desember lalu, sebanyak 27 kabupaten masih memperpanjang status tanggap darurat.
Setelah itu masih ada pekerjaan raksasa rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini butuh dana dan waktu yang lama.
Pemerintah mengaku mengantongi dana Rp 60 triliun, tapi siapa badan yang ditunjuk untuk memimpin proyek itu, bagaimana menjalankan serta menetapkan skala prioritasnya serta detail menyangkut hunian sementara, rumah tetap, lokasi dan lahan hingga pembangunan infrastruktur yang rusak dari jembatan, gedung sekolah, kantor pemerintah hingga fasilitas ibadah.
Itu semua membutuhkan kerja pers. Butuh ketekunan jurnalis yang terus menerus melaporkan kemajuan penanganan di tahap tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
Belum lagi pemulihan psikologi terhadap anak hingga orang dewasa yang trauma akibat bencana ini.
Para pengambil kebijakan tidak mungkin melahirkan kebijakan yang tepat dan bermanfaat tanpa hadirnya informasi dan kritik dari pers yang bebas.
Tag: #jangan #minta #pers #mingkem #dalam #bencana #sumatera