Menjaga Marwah ASN: Integritas Pegawai Pemerintah di Pusaran Medsos
PERGESERAN paradigma komunikasi publik pemerintah telah mencapai titik krusial di era digital. Saat ini, wajah birokrasi tidak lagi hanya direpresentasikan oleh siaran pers resmi atau situs web kaku, tapi melalui layar ponsel jutaan rakyat lewat aksi para pegawainya.
Fenomena pemengaruh atau influencer di institusi publik kini merambah hampir ke seluruh lini: mulai dari polisi yang mendokumentasikan aksi pengejaran, guru yang berbagi metode mengajar kreatif, tenaga medis yang mengedukasi kesehatan, hingga petugas pemadam kebakaran yang menunjukkan sisi humanis penyelamatan.
Kesadaran akan kompleksitas fenomena ini membawa penulis hadir sebagai narasumber dalam kegiatan peningkatan kapasitas yang diselenggarakan oleh Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Provinsi DKI Jakarta dalam forum bertajuk "Pemanfaatan Media Sosial Secara Bertanggung Jawab dan Pengelolaan Citra Institusi dari Potensi Pelanggaran Kode Etik".
Terungkap keresahan strategis yang juga dialami banyak institusi lain: bagaimana mengelola antusiasme digital pegawai agar tetap selaras dengan marwah jabatan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ekosistem baru komunikasi publik: Dari institusi ke individu
Dalam kajian Public Relations (PR) Strategis, kita menyaksikan pergeseran dari komunikasi berbasis institusi (institutional branding) menuju komunikasi berbasis individu (human branding).
Masyarakat cenderung lebih memercayai sosok manusia nyata di balik seragam dibandingkan akun resmi organisasi yang sering dianggap impersonal.
Hal ini menjelaskan mengapa influencer berseragam di berbagai instansi pemerintah—baik di kepolisian, TNI, kementerian, hingga Pemda—memiliki daya tarik dan jangkauan yang seringkali melampaui kanal komunikasi resmi instansi mereka.
Kehadiran para "duta digital" ini sejatinya adalah anugerah bagi komunikasi publik. Mereka berperan sebagai jembatan yang meruntuhkan sekat birokrasi, membuat institusi terasa lebih dekat, transparan, dan dapat dipercaya.
Namun, di balik popularitas tersebut, tersimpan risiko reputasi yang masif. Setiap individu yang mengenakan seragam saat tampil di media sosial secara otomatis membawa seluruh beban sejarah, nilai, dan kehormatan institusinya ke dalam ruang publik digital yang seringkali tidak kenal ampun.
Kepercayaan publik yang tinggi terhadap sebuah institusi—seperti yang dialami Damkar DKI saat ini—dibangun di atas dua pilar utama: field of experience dan frame of reference.
Pengalaman nyata (field of experience) adalah fondasi yang paling kokoh. Ketika warga merasakan langsung pertolongan petugas yang cepat, tulus, dan gratis, sebuah memori kolektif yang positif terbentuk. Ini adalah kinerja nyata yang menjadi mata uang kredibilitas paling berharga.
Namun, di era media sosial, mayoritas masyarakat membangun persepsi mereka tanpa pernah mengalami interaksi langsung.
Di sinilah frame of reference atau wawasan digital bekerja. Bagi jutaan orang, profesionalisme seorang abdi negara diukur dari apa yang mereka lihat di layar gawai.
Konten penyelamatan heroik, edukasi yang cerdas, hingga momen humanis yang dibagikan oleh para influencer institusi menjadi referensi utama publik.
Tantangannya, jika konten yang disajikan justru menampilkan perilaku yang bertentangan dengan nilai profesi, maka "wawasan digital" yang negatif akan dengan cepat merusak legitimasi kinerja nyata yang telah dibangun di lapangan.
Paradoks popularitas: Dilema abdi negara dan "public figure"
Tantangan strategis terbesar muncul ketika seorang pegawai pemerintah mulai menikmati peran sebagai public figure.
Terjadi konflik kepentingan antara tugas utama sebagai abdi negara yang terikat hierarki, dengan ambisi pribadi sebagai pembuat konten yang mengejar pengikut (followers) dan viralitas.
Di satu sisi, ia adalah petugas yang wajib patuh pada Standar Operasional Prosedur (SOP), tapi di sisi lain, ia dituntut untuk kreatif, spontan, dan bahkan provokatif agar tetap relevan di media sosial.
Penelitian Johnson (2023) dalam jurnalnya, "The Digital Disconnect: How Government Employee Influencers Mediate Public Trust," memperingatkan bahwa diskoneksi antara citra ideal institusi dengan perilaku individu di media sosial akan langsung memediasi penurunan kepercayaan publik secara drastis.
Publik memiliki standar moral yang jauh lebih tinggi bagi mereka yang digaji oleh pajak negara. Masyarakat mungkin memaafkan kesalahan seorang influencer murni, tetapi mereka sangat tidak toleran terhadap kecerobohan etis yang dilakukan oleh sosok berseragam.
Kecerobohan digital bukan sekadar masalah "salah unggah," melainkan ancaman nyata terhadap karier dan hukum.
Seorang ASN terikat pada kode etik yang melekat 24 jam. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil secara tegas mengatur kewajiban menjaga nama baik instansi.
Pelanggaran seperti mengkritik kebijakan atasan secara vulgar, mengunggah konten yang merendahkan martabat seragam, hingga menggunakan atribut dinas untuk kepentingan komersial murni, dapat dijatuhi sanksi disiplin berat.
Selain sanksi internal, jerat pidana melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 (UU ITE) juga menjadi ancaman nyata.
Kasus-kasus pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang menyesatkan, hingga pelanggaran terhadap etika kerahasiaan—seperti mengunggah foto korban atau data sensitif demi mengejar engagement—adalah bentuk nirempati yang sangat berbahaya.
Dalam konteks pelayanan publik, kerahasiaan data warga adalah harga mati yang tidak boleh dikorbankan demi satu kali konten viral.
Manajemen reputasi berbasis "zero tolerance"
Mengadopsi kerangka PR Strategis berarti institusi harus memiliki panduan yang jelas dalam mengelola pegawainya di media sosial.
Salah satu prinsip utama yang saya tekankan dalam pelatihan di Damkar DKI adalah kebijakan zero tolerance terhadap distraksi digital saat tugas operasional kritis.
Di lapangan, fokus mutlak harus berada pada keselamatan. Misalnya, saat response time sedang berjalan, tidak boleh ada ruang bagi petugas untuk sibuk merekam video demi konten pribadi.
Keselamatan tim dan warga tidak boleh dipertaruhkan demi unggahan media sosial.
Selain itu, transparansi dalam aktivitas komersial adalah mutlak. Jika seorang pemengaruh pemerintah menerima kolaborasi, penggunaan tagar iklan (#Iklan atau #Ad) adalah kewajiban moral untuk menjaga kejujuran publik.
Institusi juga harus memastikan bahwa produk atau jasa yang dipromosikan tidak bertentangan dengan standar keselamatan publik atau marwah profesi. Marwah negara tidak boleh berubah menjadi sekadar etalase komersial tanpa kendali etis yang jelas.
Menghadapi masa depan, institusi pemerintah tidak bisa lagi bersikap pasif atau hanya sekadar melarang penggunaan media sosial. Sebaliknya, institusi harus mampu membina para pegawainya agar menjadi komunikator publik yang handal, tapi tetap beretika.
Manajemen krisis digital juga harus disiapkan; jika terjadi konten viral yang negatif, protokol seperti stop posting, lapor pimpinan, dan klarifikasi satu pintu melalui saluran resmi harus dijalankan dengan disiplin tinggi untuk mencegah eskalasi.
Tujuan akhirnya adalah memastikan bahwa kehadiran para abdi negara di ruang digital menjadi sumber inspirasi, edukasi, dan penguat kepercayaan publik.
Mari kita pastikan bahwa marwah negara tetap terjaga, baik melalui tetesan keringat dalam pengabdian nyata di lapangan, maupun melalui setiap kata dan gambar yang kita bagikan di semesta digital.
Dengan integritas yang terjaga, setiap pegawai pemerintah dapat menjadi "pahlawan" yang tidak hanya hebat saat bertugas, tetapi juga bermartabat di mata jutaan rakyat yang mengawasinya di ruang maya. Yudha Brama Jaya.
Tag: #menjaga #marwah #integritas #pegawai #pemerintah #pusaran #medsos