Pencatatan Duit Pemerasan Bulanan Rp 30 Juta di Izin TKA Jadi Sorotan Sidang
Sidang pemeriksaan saksi kasus pemerasan pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang melibatkan Eks Dirjen Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Suhartono di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (19/12/2025)()
22:28
19 Desember 2025

Pencatatan Duit Pemerasan Bulanan Rp 30 Juta di Izin TKA Jadi Sorotan Sidang

- Direktur PT Patera Surya Gemilang, Ali Wijaya Tan, mengatakan uang Rp 20-30 juta yang harus disetorkannya ke Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dicatat sebagai biaya operasional kantor.

Hal ini Ali sampaikan ketika menjadi saksi dalam kasus pemerasan pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang melibatkan eks Direktur Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Suhartono dan kawan-kawan.

"Sumbangan kontribusi adalah uang dari perusahaan dalam kategori operasional, masuk dalam kategori operasional," ujar Ali dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (19/12/2025).

Ali menjelaskan, uang bulanan ini diberikannya sejak tahun 2011 hingga 2024 untuk tiga orang yang berbeda.

Mereka adalah Heri Sudarmanto, Wisnu Pramono, dan Haryanto.

Saat ini, Heri masih berstatus tersangka. Sementara, Wisnu dan Haryanto sudah menjadi terdakwa.

Kemudian, jaksa mempertanyakan alasan Ali mencatat uang bulanan tidak resmi itu sebagai operasional perusahaan.

"Jadi, uang-uang yang dalam kurun waktu 2011 sampai dengan 2024 tadi ya itu saudara ada pencatatannya di laporan keuangan buku kas perusahaan saudara saksi?" tanya jaksa.

Ali pun menjelaskan secara sederhana pola pembiayaan di perusahaannya.

Misalnya, setiap tanggal 5, ia menarik uang Rp 100 juta.

Dana yang ditarik ini digunakan untuk membayar berbagai kebutuhan, seperti gaji, uang makan, dan juga 'setoran' untuk Kemnaker.

"Ada penarikan buat bayar gaji, buat BPJS, uang makan anak-anak, segala macam lah begitu ya. Jadi, itu Rp 20 juta dan Rp 30 juta itu adalah masuk kategori uang operasional yang sumbernya dari perusahaan," jelasnya.

Selesai jaksa bertanya, majelis hakim pun ikut mencecar Ali terkait pencatatan pembukuannya.

Menurut hakim, pengeluaran untuk Kemnaker seharusnya dicatat dengan label terpisah, misalnya 'kontribusi'.

"Kenapa tidak ditulis di pembukuan 'kontribusi' tapi saudara menyatakan bahwa ini, untuk ini, untuk ini?" tanya salah satu hakim anggota.

Hakim menilai, pencatatan dengan label operasional itu justru mengaburkan aliran dana.

Pasalnya, uang Rp 20-30 juta itu diantar dan diserahkan Ali secara tunai kepada para tersangka di kantor Kemnaker.

Uang-uang itu tidak pernah ditransfer sehingga tidak ada pencatatan elektroniknya.

"Tidak tahu uang itu memang benar saudara serahkan atau saudara pakai? Kita enggak tahu," lanjut hakim.

Menurut hakim, Ali sebagai petinggi perusahaan seharusnya bisa lebih tegas memberikan arahan bagi anak buahnya agar pencatatan uang bulanan ke aparatur sipil negara (ASN) itu bisa lebih mudah dilacak.

"Apa alasannya tidak dicatat alasannya? Saudara diperintah bukan? Kenapa tidak dicatat? Ini uangnya besar lho, Rp 20 juta, Rp 30 juta itu kan besar nih setiap bulan Rp 20 juta padahal saudara bilang ini perusahaan kecil. Kenapa?" cecar hakim.

Ali hanya bisa mengulang pernyataannya.

Ia mengaku hanya mencatat pengeluaran itu sebagai biaya operasional secara umum.

"Ya kami, kami memang tidak catat tapi kami masukkan dalam dana operasional semua," jelas Ali.

Hakim pun mempertanyakan maksud Ali mencatat pengeluaran itu dengan sederhana, terlebih pembiaran uang bulanan itu agar dokumen RPTKA yang tertahan di Kemnaker bisa segera diterbitkan.

Ali yang terus dicecar hakim hanya bisa meminta maaf.

"Saya mohon maaf, ini ya memang kita tidak catat sebagai kontribusi, kita masuk dalam kategori operasional," kata Ali lagi.

8 Terdakwa Hadapi Sidang

Untuk saat ini, ada delapan orang yang duduk sebagai terdakwa, yaitu eks Direktur Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Suhartono;

Haryanto (HY) selaku Dirjen Binapenta Kemenaker periode 2024-2025 sekaligus Staf Ahli Menaker.

Kemudian Wisnu Pramono (WP) selaku Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker tahun 2017-2019;

Devi Angraeni (DA) selaku Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan TKA; Lalu, Gatot Widiartono (GTW) selaku Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja; dan Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), Alfa Eshad (ALF) selaku staf.

Para terdakwa diduga telah memperkaya diri sendiri dengan memeras mereka yang membutuhkan dokumen RPTKA.

Rinciannya, Suhartono Rp 460 juta; Haryanto Rp 84,72 miliar dan satu unit mobil Innova Reborn; Wisnu Rp 25,2 miliar dan satu unit sepeda motor Vespa tipe Primavera 150 ABS A/T.

Devi Rp 3,25 miliar; Gatot Rp 9,48 miliar; Putri Rp 6,39 miliar; Jamal Rp 551,16 juta; dan Alfa Rp 5,24 miliar.

Jika dijumlah, total uang yang diterima para terdakwa mencapai Rp 135,29 miliar.

Modus pemerasan izin TKA

JPU membeberkan, RPTKA adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu yang diterbitkan oleh Kemenaker kepada pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA di Indonesia.

Proses permohonan RPTKA dilakukan secara daring dengan cara pihak pemohon mengajukan pengesahan RPTKA melalui laman resmi tka-online.kemnaker.go.id.

Akan tetapi, para terdakwa sengaja tidak memproses berbagai pengajuan RPTKA tersebut hingga pemberi kerja atau agen perusahaan pengurusan izin RPTKA mendatangi kantor Kemenaker dan bertemu dengan petugas untuk menanyakan kendala atas pengajuan RPTKA yang tidak diproses.


Dalam pertemuan, diketahui untuk memproses pengajuan RPTKA diperlukan sejumlah uang di luar biaya resmi (biaya kompensasi penggunaan TKA) dan apabila uang di luar biaya resmi tidak dipenuhi maka pengajuan RPTKA tidak akan diproses.

JPU menuturkan, pemberi kerja atau agen perusahaan pengurusan izin RPTKA yang tidak memberikan sejumlah uang maka pengajuan RPTKA tidak akan diproses, sehingga tidak dibuatkan jadwal wawancara melalui aplikasi Skype.

Lalu, tim verifikator juga tidak menginformasikan kepada pemberi kerja atau agen perusahaan pengurusan izin RPTKA apabila ada berkas yang tidak lengkap, serta dokumen Hasil Penilaian Kelayakan (HPK) dan pengesahan RPTKA pun tidak diterbitkan.

Atas perbuatannya, para terdakwa terancam pidana yang diatur dalam Pasal 12e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Tag:  #pencatatan #duit #pemerasan #bulanan #juta #izin #jadi #sorotan #sidang

KOMENTAR