Ketika Reformasi Polri Diuji Kepentingan Kekuasaan
SEJAK digagasnya rencana pembentukan dan terbentuknya, Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian tidak pernah sepi dari berbagai pro dan kontra, baik dari sisi independensinya maupun orang-orang yang akan dan telah resmi menjadi anggotanya.
Reformasi kepolisian merupakan salah satu harapan besar publik pasca-Reformasi secara umum dan secara khusus pascademonstrasi akhir Agustus 2025.
Ia lahir dari kesadaran bahwa institusi kepolisian, sebagai pemegang kewenangan koersif negara (keamanan dan ketertiban masyarakat), harus dikelola secara profesional, akuntabel, dan tunduk sepenuhnya pada prinsip negara hukum.
Namun, harapan itu kembali diuji ketika reformasi justru diiringi oleh praktik yang memunculkan keraguan publik, terutama setelah terbentuknya Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian.
Sulit untuk kita bantah bahwa institusi kepolisian sejak awal dibentuknya hingga sekarang sangat lekat dengan berbagai persoalan.
Baik persoalan terkait pelaksanaan tugas-tugasnya sebagai institusi (aparat penegak hukum) maupun sepak terjanya di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pelanggaran hukum dilakukan oleh aparat kepolisian mulai dari berpangkat rendah hingga pejabat tinggi.
Salah satu persoalan krusial adalah keterlibatan Kapolri aktif sebagai anggota Komisi Reformasi Kepolisian. Dari sudut pandang paradigmatik, situasi ini problematis.
Dalam teori reformasi kelembagaan, perubahan institusi mensyaratkan adanya mekanisme koreksi yang relatif independen dari kepentingan internal lembaga yang direformasi.
Ketika subjek reformasi ikut menentukan arah perubahan, konflik kepentingan menjadi sulit dihindari.
Salah satu wujudnya adalah ketika Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Peraturan Kepolisian No 10 Tahun 2025 yang antara lain mengatur anggota kepolisian boleh menjabat di 17 jabatan di kementerian dan lembaga di luar kepolisian.
Reformasi dalam kondisi demikian berisiko bergeser dari upaya pembenahan struktural menjadi legitimasi simbolik.
Reformasi yang sehat justru menuntut adanya jarak kritis antara pengawas dan yang diawasi, antara pihak yang menilai dan yang dinilai.
Tanpa jarak tersebut, reformasi kehilangan objektivitas dan dimensi etiknya. Terlebih lagi ketika kepolisian dijadikan alat politik untuk kepentingan politik sempit dan sesaat.
Persoalan itu semakin serius ketika Kapolri menerbitkan peraturan yang membuka ruang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki 17 jabatan di kementerian dan lembaga negara.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan konstitusional, mengingat Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menegaskan larangan bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di luar struktur kepolisian.
Dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, MK menyatakan anggota Polri harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu sebelum menduduki jabatan sipil di luar kepolisian.
Dalam kerangka negara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Ia bukan sekadar tafsir hukum, melainkan norma konstitusional yang wajib dipatuhi oleh seluruh penyelenggara negara.
Hans Kelsen menempatkan pengadilan konstitusi sebagai penjaga kemurnian konstitusi (guardian of the constitution).
Ketika putusan tersebut dikesampingkan melalui peraturan internal, maka yang dipertaruhkan bukan hanya konsistensi regulasi, melainkan kewibawaan konstitusi itu sendiri.
Fenomena ini juga mencerminkan apa yang dalam literatur ketatanegaraan dikenal sebagai constitutional backsliding, yakni kemunduran konstitusional yang terjadi secara gradual melalui mekanisme formal-administratif.
Praktik semacam ini sering kali tampak sah secara prosedural, tapi bermasalah secara substantif karena menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum.
Lebih jauh, perluasan peran polisi aktif ke berbagai jabatan sipil membangkitkan kembali kekhawatiran akan kaburnya batas antara ranah keamanan dan ranah sipil.
Dalam teori demokrasi modern, netralitas aparat keamanan merupakan syarat utama bagi tegaknya supremasi sipil.
Samuel P. Huntington menegaskan bahwa profesionalisme militer dan aparat keamanan justru ditentukan oleh sejauh mana mereka dibatasi dari peran-peran politik dan sipil.
Reformasi kepolisian sejatinya bertujuan memperkuat profesionalisme, meningkatkan kepercayaan publik, dan menempatkan Polri secara proporsional dalam sistem ketatanegaraan.
Tujuan tersebut akan sulit tercapai apabila reformasi justru disertai oleh ekspansi kewenangan dan pengabaian terhadap putusan konstitusional.
Karena itu, koreksi menjadi keniscayaan. Komisi Reformasi Kepolisian perlu ditata ulang agar bebas dari konflik kepentingan, sementara seluruh kebijakan kepolisian harus tunduk secara konsisten pada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pada akhirnya, ukuran keberhasilan reformasi bukan terletak pada banyaknya regulasi yang lahir, melainkan pada kesetiaan seluruh institusi negara terhadap konstitusi dan kepentingan publik.
Tag: #ketika #reformasi #polri #diuji #kepentingan #kekuasaan