Mengapa Penanganan Banjir Sumatra Lambat? Menelisik Efek Pemotongan Anggaran
Ironi pemotongan anggaran dan lambatnya penanganan banjir Sumatra. (Suara.com/Aldie)
21:00
18 Desember 2025

Mengapa Penanganan Banjir Sumatra Lambat? Menelisik Efek Pemotongan Anggaran

Baca 10 detik
  • Banjir bandang akhir November 2025 di Sumatra menyebabkan kerugian puluhan triliun rupiah, memicu kritik lambatnya respons.
  • Koalisi masyarakat sipil menyoroti pemangkasan anggaran BNPB 2025 dan TKD sebagai faktor penghambat penanganan darurat.
  • Pemerintah menyalurkan bantuan darurat awal meski dikritik karena dana tidak sebanding dengan skala kerugian masif.

Di saat puluhan ribu warga Sumatra kehilangan segalanya akibat terjangan banjir bandang dan longsor, sebuah ironi pahit terungkap dari alokasi anggaran negara.

Kebijakan pemangkasan anggaran yang menyasar pos-pos krusial, termasuk dana penanggulangan bencana di tingkat pusat maupun daerah (TKD), dituding menjadi salah satu faktor lambatnya respons dan penanganan darurat di lapangan.

Bencana hidrometeorologi yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 telah menjelma menjadi tragedi kemanusiaan berskala masif.

Hingga pertengahan Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ratusan korban jiwa dan kerugian materi yang ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah.

Namun, di tengah kebutuhan penanganan yang luar biasa besar, kapasitas fiskal pemerintah untuk merespons justru dipertanyakan.

Kritik tajam datang dari koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Posko Nasional untuk Sumatra. Dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (12/12/2025), mereka menyoroti ketimpangan antara skala bencana dengan anggaran yang tersedia.

Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy K. Wahid, mempertanyakan minimnya alokasi dana pemerintah pusat untuk keselamatan warga.

"Adanya alokasi anggaran yang maksimal, sekarang berapa dana bencana siap pakai? kurang lebih 500 miliar. dana bnpb hanya 2,5 triliun itupun dipangkas dari tahun lalu," ujar Edy.

Ia membandingkan angka tersebut dengan taksiran kerugian awal dari BNPB yang mencapai Rp50 triliun. Menurutnya, dana yang dialokasikan pemerintah pusat hanya sepersekian persen dari total kerugian, sebuah angka yang sangat tidak memadai untuk upaya pemulihan yang efektif.

Pemangkasan Anggaran di Tengah Kepungan Bencana

Rincian pemotongan dan Transfer ke Daerah (TKD) di tiga provinsi terdampak bencana Sumatra. (Grafis: Suara.com/Aldie) PerbesarRincian pemotongan dan Transfer ke Daerah (TKD) di tiga provinsi terdampak bencana Sumatra. (Grafis: Suara.com/Aldie)

Faktanya, anggaran BNPB untuk tahun 2025 memang mengalami efisiensi atau pemangkasan. Dari pagu awal sekitar Rp1,4 triliun, anggaran tersebut dipotong sebesar Rp470 miliar.

Bahkan, pagu anggaran BNPB untuk tahun 2026 direncanakan turun drastis, berada di level terendah dalam 15 tahun terakhir.

Pemotongan ini tidak hanya terjadi di level pemerintah pusat. Dana Transfer ke Daerah (TKD) yang menjadi salah satu sumber utama bagi pemerintah daerah untuk pos Belanja Tidak Terduga (BTT) juga mengalami efisiensi.

Hal itu berdampak langsung pada kesiapan daerah dalam menghadapi situasi darurat.

Di Sumatra Utara, misalnya, anggaran BTT di APBD Perubahan 2025 disebut dipangkas drastis.

Meskipun Gubernur Bobby Nasution membantah adanya pemangkasan dan menjelaskan bahwa dana tersebut dialihkan untuk kebutuhan lain seperti bonus atlet PON, fakta di lapangan menunjukkan respons bencana yang dinilai lambat.

Edy K. Wahid mengkritik keras prioritas pemerintah yang dinilai lebih mementingkan proyek strategis nasional ketimbang keselamatan warga negara.

"Pemerintah untuk membiayai proyek proyek strategis nasional... dengan cepat dan secara semena-mena melakukan pemangkasan dan efisiensi di semua sektor," ujarnya.

"Tapi soal keselamatan warga negara urgensinya jelas ada korban, dampak kemiskinan struktural dan kualitas sumber daya manusia di Sumatra jelas kenapa tidak diambil langkah itu?," tambahnya.

Menurut YLBHI, kondisi ini mencerminkan model pemerintahan yang abai terhadap daerah.

"ini menurut kami adalah model pemerintahan yang menjajah, pemerintah pusat yang menjajah warga dan pemeritnah daerah," kata Edy.

Respons Pemerintah dan Realitas di Lapangan

Menghadapi kritik dan skala bencana yang masif, pemerintah pusat akhirnya mengambil langkah darurat. Kementerian Keuangan memastikan akan menyalurkan TKD untuk daerah terdampak bencana tanpa syarat salur untuk mempercepat administrasi.

Bantuan awal senilai Rp4 miliar juga telah disalurkan ke 52 kabupaten/kota terdampak.

Meskipun demikian, bagi para korban dan relawan di lapangan, bantuan tersebut masih belum sebanding dengan kerusakan yang terjadi.

Banyak wilayah yang masih terisolasi, dan para penyintas di pengungsian menghadapi kondisi yang serba terbatas.

Desakan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional terus disuarakan, dengan harapan mobilisasi sumber daya dapat dilakukan secara lebih maksimal dan terkoordinasi.

Editor: Bangun Santoso

Tag:  #mengapa #penanganan #banjir #sumatra #lambat #menelisik #efek #pemotongan #anggaran

KOMENTAR