Overqualified Salah, Underqualified Salah, Gen Z Bingung Apa yang Dicari Perusahaan
Sebanyak 1.875 pencari kerja yang didominasi kaum perempuan mengikuti Job Fair yang digelar Dinas Tenaga Kerja Kota Pasuruan yang membuka 582 lowongan kerja di 30 perusahaan, Ravu (12/11/2025) lalu. (Kompas.com/MOH.ANAS)
16:58
18 Desember 2025

Overqualified Salah, Underqualified Salah, Gen Z Bingung Apa yang Dicari Perusahaan

Kalian pernah nggak sih ngerasa serba salah pas cari kerja? Terlalu banyak pengalaman dibilang overqualified, tapi pas masih belajar malah dianggap underqualified. Mau entry-level, tapi diminta S1 plus dua tahun pengalaman.

Ujung-ujungnya, banyak Gen Z bertanya, sebenarnya perusahaan itu nyari qualified yang kayak gimana, sih? Apakah gelar masih segalanya, atau sekarang udah kalah sama portofolio?

Gue ngobrol sama tiga Gen Z dari latar yang beda-beda mulai multimedia, administrasi, sampai tenaga kesehatan, buat ngebongkar makna qualified versi dunia kerja hari ini.

Muhammad Fawwaz Mumtazy (23 tahun), mahasiswa sekaligus multimedia and communication trainer, bilang kalau qualified itu bukan soal umur atau title semata.

“Yang utama itu real skills dan real proof,” katanya kepada Kompas.com, Kamis (11/12/2025).

Di dunia kreatif, menurut Fawwaz, orang yang dibilang qualified bukan yang sekadar bilang “bisa Adobe”, tapi yang bisa nunjukin hasil video, storytelling, dan konsistensi karya.

Tapi skill aja nggak cukup, attitude juga krusial.

“Banyak yang jago, tapi susah diajak kerja. Itu langsung drop point,” ujr Fawwaz.

Soal pengalaman, Fawwaz pernah ada di dua posisi ekstrem. Pernah ditolak karena dianggap kurang pengalaman, tapi juga pernah menolak karena justru terlalu basic untuk level skill-nya.

“Kalau entry-level tapi minta dua tahun pengalaman, honestly itu wild,” ujarnya. Menurut dia, itu tanda HR belum nyambung sama realitas talent muda saat ini.

Pandangan serupa datang dari Fajar Ridwan Wijaya (23), yang sudah empat tahun bekerja di berbagai industri.

Menurut Ridwan, qualified hari ini artinya siap kasih nilai sejak hari pertama.

“Bukan cuma punya gelar, tapi punya skill teknis dan portofolio yang bisa diuji,” katanya saat diwawancarai, Minggu (14/12/2025).

Ridwan menyebut fenomena lowongan entry-level dengan syarat pengalaman sebagai masalah serius di pasar kerja, perusahaan ingin kandidat terbaik tapi dengan harga termurah.

Ridwan juga menyoroti absurditas “lingkaran setan” pengalaman.

Banyak lowongan magang minta pengalaman, padahal magang itu sendiri seharusnya tempat cari pengalaman.

Solusinya, kata dia, perusahaan perlu mengakui proyek pribadi, kontribusi open-source, atau freelance kecil sebagai pengalaman yang sah.

Sementara itu, Arya Fadillah (22), tenaga kesehatan di rumah sakit swasta, melihat persoalan ini dari sudut yang berbeda. Di profesinya, pendidikan formal tetap krusial.

Title itu penting sebagai legalitas,” ujar dia.

Tapi Arya juga menekankan bahwa kualifikasi bukan cuma alat skrining awal, melainkan standar kecakapan untuk benar-benar menyelesaikan pekerjaan.

Ia mengaku pernah ditolak melamar kerja karena latar pendidikan dan portofolio yang dianggap kurang relevan.

Arya menilai masalah lain yang sering dialami Gen Z adalah minimnya transparansi rekrutmen.

“Lowongan sering nggak dibuka luas, hasil seleksi juga tertutup. Kita nggak tahu dinilai dari apa,” katanya.

Menurut dia, proses yang terbuka, termasuk kriteria dan timeline akan jauh lebih adil bagi pelamar.

Dari obrolan ini, satu hal jadi jelas, Gen Z sebenarnya nggak anti-gelar. Mereka juga nggak cuma ngejar sertifikat, yang mereka cari adalah kejelasan.

Gelar masih penting, terutama di profesi tertentu. Tapi di banyak sektor lain, portofolio, bukti kerja nyata, dan sikap kerja justru lebih menentukan.

Fawwaz mencontohkan seleksi yang menurutnya fair, seperti trial teaching 15 menit untuk menilai komunikasi dan adaptasi secara langsung.

Ridwan menambahkan, penilaian idealnya pakai matriks yang sama antar pewawancara, biar kandidat nggak dinilai dari “feeling” semata.

Jadi, apakah Gen Z sudah nggak peduli title? Jawabannya: tidak sesederhana itu.

Mereka hanya ingin satu hal kalau disebut qualified, ukurannya jelas dan masuk akal. Bukan kebanyakan syarat, tapi juga bukan tanpa standar.

Karena pada akhirnya, qualified bukan soal terlalu jago atau kurang jago, melainkan soal kecocokan antara kebutuhan kerja, kemampuan nyata, dan sistem rekrutmen yang adil.

Dan di situlah PR besar dunia kerja hari ini, bukan cuma menilai Gen Z, tapi juga belajar memahami mereka.

Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.

Tag:  #overqualified #salah #underqualified #salah #bingung #yang #dicari #perusahaan

KOMENTAR