Ketika Gen Z Bicara Pernikahan: Antara Nilai, Tekanan, dan Realitas Zaman
Hari Raya Lebaran atau kumpul keluarga mungkin menjadi satu hal yang diantisipasi oleh para Gen Z. Bukan karena opor ayam yang berpotensi menaikkan berat badan, melainkan candaan dan pertanyaan seputar pernikahan.
Hal ini terkhusus Gen Z yang sudah memasuki usia seperempat abad namun belum ada hilal melangsungkan pernikahan. Jangankan menikah, pasangan saja belum tentu ada.
Di media sosial, klaim mengenai Gen Z tidak ingin menikah sering terdengar.
Beberapa Gen Z mengaku menikah sudah tidak lagi menjadi prioritas mereka dibandingkan dengan pendidikan, karier, dan mengumpulkan uang.
“List pemikiran gen Z (versi aku) : 1. pendidikan (wajib) 2. upgrade skill (wajib) 3. Kopi (wajib) 4. banyak duit (wajib) 5. nikah (opsional),” tulis akun @bac******** melalui media sosial X, Juni 2025 lalu.
Keputusan Gen Z dalam menolak pernikahan seringkali dianggap ekstrim di kalangan generasi sebelumnya, yang menganggap pernikahan masih menjadi tradisi, kewajiban, hingga tolok ukur dan pencapaian.
Namun, benarkah mayoritas Gen Z memiliki prinsip untuk tidak menikah? dan bagaimana pandangan serta stigma seputar pernikahan di era sekarang?
Antara trauma, iman, dan harapan
Sarah (23 tahun) asal Solo yang bekerja sebagai marketing mengaku masih ingin menikah.
Pengalaman orang tuanya yang gagal membangun rumah tangga tidak membuatnya takut terhadap pernikahan.
“Nggak tau kenapa tapi aku selalu punya pemikiran bahwa ketakutanku setelah melihat pernikahan ortuku yang gagal itu bisa aku lawan,” kata Sarah ketika dihubungi Kompas.com pada Kamis (11/12/2025).
Sementara itu, Aulia (23), perempuan asal Solo yang tengah menempuh pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan bahwa menikah masih menjadi salah satu tujuan hidupnya.
“Iya, masih mau, karena it's part of my life goal. Aku pingin bisa membangun keluarga yang baik sama pasanganku nanti, untuk bikin hidup yang aman dan nyaman buat anak-anak kita nanti. Itung-itung membayar ke diri sendiri yang masa kecilnya nggak sebahagia itu,” kata Aulia ketika dihubungi Kompas.com.
Di tengah banyaknya isu seputar Gen Z yang disebut enggan menikah, Rahma (23) asal Solo yang saat ini menjaga toko sambil mencari pekerjaan mengaku masih ingin menikah.
“I mean, siapa sih yang nggak mau melanjutkan hidup sama orang tersayang dan membangun keluarga kecil sendiri,” kata Rahma ketika dihubungi Kompas.com secara terpisah.
Hal serupa juga disampaikan Laras (23), pekerja marketing asal Solo, yang mengaku masih memiliki keinginan untuk menikah dan membangun keluarga.
“Masih, karena tidak berpacaran, pengen ngerasain gimana rasanya berbakti sama “laki-laki”, merasakan keluarga itu kayak gimana. Pengen ngerasain sih. Ada rasa harus nikah, mau-mau aja,” ungkapnya ketika dihubungi Kompas.com pada Kamis secara terpisah.
Nikah versi Gen Z: Kompatibel, siap, dan sepemikiran
Rahma memandang pernikahan sebagai upaya melanjutkan hidup bersama pasangan yang kompatibel dan memiliki tujuan yang sejalan.
“Kayak, punya tujuan yang sama sama ingin dicapai melalui pernikahan itu, terlepas perbedaan yang ada,” ungkap dia.
Pandangan serupa juga disampaikan Laras.
Menurut dia, pernikahan adalah proses menyatukan dua individu untuk membentuk keluarga dan menjalani fase kehidupan baru bersama.
“Pernikahan berarti kita membuat keluarga baru, saling memahami dan mengerti satu sama lain. Saling melengkapi,” kata Laras.
Berbeda dengan Rahma dan Laras, Aulia memaknai pernikahan dari sudut pandang agama. Baginya, pernikahan adalah ibadah panjang yang menuntut kesiapan dan komitmen.
“Tempat bisa farming pahala dengan mudah dan gacor. Karena panjang, persiapannya harus matang, tujuannya harus jelas, pasangannya juga tepat, tapi secara umum ya menurutku pernikahan itu ikatan suci antara laki-laki dan perempuan yang nggak bisa disamakan dengan hubungan lain,” tambah Aulia.
Bukan nggak mau nikah, tapi banyak pertimbangan
Sarah menilai sebagian Gen Z kini tidak lagi menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang wajib dalam hidup.
“Mereka mikir yang penting semua kebutuhannya sudah tercukupi, mayoritas mereka menggantinya dengan uang,” katanya.
Aulia menambahkan bahwa tantangan menikah di generasi saat ini semakin kompleks, terutama dalam mencari pasangan yang tepat.
“Takut jadi HTS (Hubungan Tanpa Status), diselingkuhi pasangan, takut punya pasangan yang main tangan, main judol (judi online), perokok, temperamen, self-centered, anak mama, dan sebagainya,” kata Aulia.
Selain faktor pasangan, tekanan ekonomi juga menjadi pertimbangan besar bagi Gen Z dalam mengambil keputusan menikah.
“Orang tuaku dulu bisa bayarin sekolah aku sama adikku dan ngurus nenekku sembari berangkat haji, terus pulangnya langsung bikin rumah from scratch. Lah, untuk sekarang gaji ayahku setelah naik pangkat bahkan buat biaya kuliah aku sama adikku doang beratnya pol,” keluh Aulia.
Stigma pernikahan dalam keluarga Gen Z
Aulia mengungkapkan bahwa stigma seputar pernikahan masih kuat di lingkungan keluarganya.
Menurut dia, pernikahan kerap dipandang sebagai upaya penyatuan keluarga, bahkan hingga keluarga besar.
“Jadi mereka emang menitikberatkan ke restu keluarga, bahkan sampai keluarga besar, dan mereka juga nentuin banget nikah harus di umur sekian,” kata Aulia.
Selain dari keluarga, stigma juga datang dari lingkungan desa tempat tinggalnya. Pernikahan kerap dilihat sebagai ajang pembuktian status sosial.
“Keluarga mana yang mantu-nya paling keren dan acaranya paling mewah. Tolak ukur mereka di situ,” tambah Aulia.
Tekanan lain datang dari keluarga inti. Aulia menyebut masih ada anggapan bahwa ruang gerak perempuan akan semakin terbatas setelah menikah, terutama dalam peran domestik.
“Apa-apa nggak bisa. Kudu fokus ngurus keluarga. Harus bisa sat-set soalnya banyak kerjaan rumah, dan sebagainya. Tuntutan soal nikah juga harus sama laki-laki yang agamanya kuat, macam guru pesantren atau hafidz lah,” tambahnya.
Sementara itu, Rahma menilai stigma pernikahan yang menuntut perempuan untuk serba bisa masih melekat di keluarganya.
Perempuan dianggap wajar memikul peran ganda, baik di ranah domestik maupun ekonomi.
“Kita dituntut buat mengurus rumah (bersih-bersih, masak, dan sebagainya) karena mayoritas yang melakukan pekerjaan rumah ya perempuan, tapi di sisi lain, perempuan juga diminta untuk kerja buat membantu perekonomian keluarga, atau at least bisa dipakai buat pegangan sendiri, buat jaga-jaga kalau suatu hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, jadi kayak beban ganda gitu untuk perempuan dan ini dianggap hal yang biasa,” ungkap dia.
Dari sisi Laras, pernikahan masih dipandang sebagai momen ketika anak perempuan ‘dibawa pergi’ oleh pasangannya. Bersamaan dengan itu, tuntutan untuk mengurus dan mengutamakan suami juga masih dianggap wajar.
Padahal, menurut Laras, pernikahan seharusnya dijalani dalam posisi setara sebagai partner.
“Nikah itu kayak ‘anakku dijikuk wong liyo ki, dinikahi, digowo lungo’, tapi dari perempuan itu juga kayak kita harus ‘merajakan’ suami, mengurus suami, diutamakan banget. Nah, di situ aku kurang suka karena rasanya kayak, kan kita ini partner ya jadinya, bukan berarti aku dijikuk trus dijadikan pembantu kan enggak, kan kita harusnya partner,” jelas Laras.
Meski begitu, baik Sarah, Laras, dan Rahma mengaku tidak ada pressure atau tekanan dari keluarga tentang pernikahan.
“Di keluargaku nggak pernah ada obrolan tentang itu, yang penting semua ngalir sesuai sama yang sedang aku lakukan sekarang, jadi bukan pressure tentang pernikahan,” ujar Sarah.
“Kalau tekanan atau komentar nggak pernah sih, paling cuma nasehat nasehat yang berkaitan sama pernikahan, kadang kalau aku kurang setuju sama nasehatnya ya tetep tak bantah,” kata Rahma.
“Paling ditanya-tanya tapi kalau ditekan nggak pernah karena sepupu juga belum menikah, karena Ibu dulu juga nikahnya telat jadi nggak di-pressure banget,” jelas Laras.
Standar siap nikah menurut Gen Z
Bagi Sarah, kesiapan menikah tidak hanya soal usia, tetapi juga kesiapan finansial, mental, dan karier.
Namun, ada satu aspek yang menurutnya paling krusial sebelum memutuskan menikah, yakni kesetaraan dengan pasangan.
“Satu hal yang selalu ada dipikiranku dan menurutku penting adalah soal kesetaraan, aku sama pasanganku harus udah setara dulu dalam segi apapun, nah nanti kalo dilihat udah pas barulah nikah,” kata Sarah.
Ia menambahkan bahwa cara berpikir, kemampuan menyelesaikan masalah, kecakapan dalam menempatkan kepentingan pasangan dan keluarga besar, serta cara menaruh perhatian pada pasangan juga tak kalah penting.
“Di luar itu, aku mau pasangan yang memperlakukan aku sebagai 'perempuan' atau 'istrinya kelak' atau 'ibu',” jelasnya.
Senada dengan Sarah, Aulia menilai aspek finansial sebagai faktor utama sebelum menikah.
Menurutnya, pendapatan bulanan dari salah satu atau kedua pasangan setidaknya harus mampu mencukupi kebutuhan hidup bersama.
Selain finansial, Aulia menekankan pentingnya pemahaman tentang peran, hak, dan kewajiban sebagai suami atau istri.
Ia juga mencari pasangan yang memiliki pemahaman agama, kemauan untuk belajar, serta sikap terbuka terhadap diskusi.
“Karena nikah itu isinya kompromi doang asli. Kalau gak siap buat berubah, berat,” lanjutnya.
Rahma sendiri menilai kesiapan menikah bisa dilihat dari pola pikir calon pasangan, terutama dalam menghadapi masalah.
“Gimana dia menyikapi suatu hal, caranya menyelesaikan masalah, cara dia menyampaikan pemikirannya,” jelas Rahma.
Aspek ekonomi dan kesehatan mental juga menjadi perhatian Laras dalam memandang kesiapan pernikahan.
Menurutnya, kecerdasan emosional dan stabilitas finansial menjadi syarat yang tidak bisa ditawar.
“Ekonomi jelas iya, provide tempat tinggal, makan sehari-hari, apalagi kalau sandwich generation orang tua nggak kerja, kakak adik yang harus dikasih,” tambahnya.
Soal waktu menikah, Gen Z nggak mau buru-buru
Soal target menikah, Sarah mengaku tidak menetapkan usia tertentu. Baginya, kesiapan dan kehadiran pasangan yang tepat jauh lebih penting dibanding angka usia.
“Aku sebenernya tipe orang yang nggak punya target di usia berapa nikah, yang jelas kalau yang aku cari udah ada ya silahkan, tapi buat aku (karena aku cewe) aku nggak mau di atas 30 tahun,” kata Sarah.
Meski begitu, saat ini Sarah belum berencana menikah karena ingin memantaskan diri, memperkuat kondisi finansial, serta fokus mengejar karier terlebih dahulu.
Menurut dia, karier sebenarnya bisa dijalani bersamaan dengan pernikahan, meski membutuhkan kesepakatan dan aturan yang jelas dengan pasangan.
Namun, ia memilih mengejar karier saat masih single karena merasa lebih leluasa.
“Sesuai yang tadi aku bilang terkait kesetaraan, dan aku nggak mau pasanganku adalah orang yang kayak aku sekarang. Loh, tapi kalau sekarang yang ngajak adalah sugar daddy kaya raya 7 turunan kenapa enggak?” ujarnya dengan nada bercanda.
Berbeda dengan Sarah, Aulia sudah memiliki gambaran usia ideal untuk menikah.
Menurut dia, usia 28 tahun menjadi waktu yang cukup realistis karena banyak orang dinilai sudah lebih stabil secara mental dan finansial.
“Tapi aku ok aja sih kalau ada yang nikah 25. 23 ke bawah tuh yang buatku agak ngeri-ngeri sedap,” katanya.
Aulia menambahkan bahwa sebelum menikah, ia ingin menyelesaikan pendidikan S2, bekerja, serta menabung sebagai bekal membangun rumah tangga.
Ia menekankan pentingnya kesiapan ekonomi kedua pasangan sebelum memutuskan menikah.
“Karena bagaimanapun juga yang nikah kita, yang ngejalanin kita. Kita gak bisa terus-terusan blindly nurut sama orang tua,” kata Aulia.
Sementara itu, Rahma menilai kesiapan menikah tidak bisa diukur hanya dari usia. Baginya, stabilitas finansial, emosional, dan karier menjadi penentu utama sebelum menikah.
“Menurutku usia ideal untuk menikah itu sebenarnya nggak ada ya, tapi kalau dikira-kira ya sekitar 28-32-an mungkin?” ujar dia.
Pandangan serupa juga disampaikan Laras.
Ia merasa kesiapan menikah datang ketika seseorang sudah cukup mengenal diri sendiri, merasa cukup dengan hidupnya, dan stabil secara emosional maupun ekonomi.
“Kalau aku finansial jelas, mental jelas, yang penting udah sama-sama dewasa, udah merasa cukup dengan diri sendiri. Maksudnya kayak oh aku sudah cukup bersenang-senang, meniti karier, sudah siap menikah. Stabilitas pernikahan jelas, kita udah harus stabil ya pasangan kita juga harus stabil dong,” katanya.
Di usia 23 tahun, Laras mengaku belum siap menikah. Ia menargetkan menikah di rentang usia 25–27 tahun, dengan sejumlah pertimbangan pribadi.
“Belum mau menikah sekarang soalnya ngerasa masih tanggungan S2, belum nemu pasangan yang pas, ngerasa belum dewasa, belum cocok menikah,” ujar Laras.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.
Tag: #ketika #bicara #pernikahan #antara #nilai #tekanan #realitas #zaman