Sikap Ketua Reformasi Polri: Tegaskan Perpol Polisi Isi Jabatan Sipil Menentang Putusan MK
- Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 kembali ditegaskan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil kecuali telah pensiun atau mundur dari kepolisian.
Kali ini, pernyataan tersebut datang langsung dari Ketua Komisi Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie.
Dia menyebut, secara formal, Perpol yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo pada 9 Desember 2025 ini bertentangan dengan putusan MK.
Jimly menjelaskan mengapa Perpol ini disebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Pertama, format penerbitan Perpol dalam klausul "menimbang" dan "mengingat" tidak mencantumkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114.
"Apakah dalam pertimbangan ada menimbang perubahan undang-undang sebagaimana sudah diputuskan MK? Nah, itu enggak ada," kata Jimly saat ditemui di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, Rabu (17/12/2025).
Kedua, dalam bagian mengingat, Perpol hanya menyebut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, tanpa mencantumkan kembali putusan MK nomor 114.
"Itu juga tidak ada," kata Jimly lagi.
Perpol yang sekarang diteken oleh Polri bisa dimaknai tidak merujuk secara langsung undang-undang yang telah diubah melalui putusan MK.
Perpol tersebut masih merujuk UU Polri yang lama, yang masih memberikan penjelasan bahwa anggota polisi aktif bisa menduduki jabatan sipil dengan izin Kapolri.
Padahal, kata Jimly, putusan MK telah menegaskan bahwa UU Polri telah diubah lewat putusan nomor 114/PUU-XXIII/2025 tertanggal 13 November 2025.
Jimly bahkan memberikan redaksi penulisan yang tepat apabila Perpol tersebut tak ingin dianggap bertentangan dengan putusan MK.
"Maka harusnya mengingat undang-undang tentang Polri nomor sekian, lembaran negara nomor sekian, tambahan lembaran negara nomor sekian, sebagaimana telah berubah dengan putusan MK nomor sekian. Baru dalam kurung berita negara nomor sekian," katanya.
"Itu yang benar, itu artinya yang dijadikan rujukan undang-undang yang pascaputusan MK. Nah, yang kemarin enggak ada. Sehingga orang lalu mudah menafsirkan, 'lu ini bertentangan dengan putusan MK'," ucapnya lagi.
Jimly mengatakan, cara penulisan ini sangat penting dan sering diabaikan, tidak hanya pada institusi Polri, melainkan mayoritas pejabat negara yang memiliki kewenangan menerbitkan peraturan pelaksana undang-undang.
"Kalau tidak, maka secara formal itu bertentangan! Seolah-olah mengabaikan adanya perubahan undang-undang pasca putusan MK," tuturnya.
Perpol hanya bisa untuk internal Polri
Selain itu, Jimly juga menegaskan bahwa kekuatan Perpol tidak bisa bertentangan dengan undang-undang.
Karena kedudukan UU lebih tinggi dibandingkan aturan Perpol.
"Perpol itu niatnya Polri untuk mengatur masalah internal. Kan memang polisi punya kewenangan dan itu sudah biasa menerbitkan Perpol," ucap Jimly.
Namun, isi Perpol tersebut tidak mencerminkan aturan internal, karena bersinggungan langsung dengan menyebut 17 kementerian/lembaga yang bisa diduduki oleh Polri.
Sebab itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menegaskan harus ada evaluasi ke depan agar Perpol bisa diterbitkan khusus untuk urusan internal saja.
"Tapi ke depan memang harus dievaluasi bahwa Perpol itu hanya boleh diterbitkan kalau mengatur masalah administrasi internal. Kalau ada kaitan dengan institusi lain, itu tidak tepat," katanya.
Jimly menjelaskan, peraturan yang bisa menembus lintas instansi setidak-tidaknya harus dalam bentuk Peraturan Presiden.
Namun, Perpres juga tak bisa disebut setingkat di atas undang-undang.
Aturan yang lebih kuat seyogianya bisa dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP).
"Harus PP karena dia melampaui kewenangan yang bersifat internal, ada kaitan dengan kewenangan lembaga-lembaga lain. Dan menerobos juga aturan yang ada di beberapa undang-undang lain. Misalnya undang-undang ASN, maka yang paling tepat itu PP. Bukan diatur secara internal seperti kemarin," imbuhnya.
Tetap harus dihormati
Namun demikian, Jimly menyebut Perpol tersebut tetap harus dihormati karena peraturan yang diterbitkan pejabat berwenang terikat pada asas presumtio iustae causa, atau dianggap sah sebelum ada pembatalan.
"Peraturan itu sah, harus dihormati. Sampai pejabat berwenang menyatakannya tidak sah," katanya.
Ada tiga pejabat yang kini bisa membatalkan aturan yang bertentangan dengan putusan MK tersebut.
Pertama adalah Kapolri sendiri, karena Kapolri yang menerbitkan aturan tersebut.
Kedua adalah Mahkamah Agung (MA) melalui judicial review.
Terakhir adalah Presiden RI Prabowo Subianto yang memiliki wewenang menerbitkan aturan yang lebih tinggi.
"Kita tunggu saja, enggak usah terlalu pusing, enggak usah terlalu ribut," tuturnya.
Jimly sebagai Ketua Komisi Reformasi Polri telah memberikan masukan tersebut kepada presiden terkait hal tersebut.
"Ya sudah, pemerintah sudah tahu itu," katanya.
Kapolri sebut tak ada pertentangan
Pernyataan berbeda disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Dia justru menilai aturan mengenai polisi dapat menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga justru mempertegas putusan MK terkait pengisian jabatan sipil oleh polisi aktif.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
"Di situ kan klausanya sudah jelas dan tentunya akan dilakukan perbaikan. Di situ kan yang dihapus dalam putusan MK, penugasan oleh Kapolri, kemudian frasa yang terkait dengan tugas-tugas kepolisian kan sudah jelas di situ," kata Kapolri di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (15/12/2025).
"Untuk itu, kemudian itu harus diperjelas limitatifnya seperti apa. Jadi, apa yang dilanggar? Ya, saya kira cukup ya," imbuh dia.
Kapolri mengeklaim bahwa Polri menghormati putusan MK tersebut.
Oleh karena itu, Polri menindaklanjutinya dengan melakukan konsultasi terhadap kementerian/lembaga terkait yang berujung pada penerbitan Perpol 10/2025.
"Jadi Perpol yang dibuat oleh Polri, tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK. Saya kira itu," tegasnya.
Sigit juga memastikan, aturan soal polisi bisa menduduki jabatan di kementerian/lembaga ini akan ditingkatkan dalam peraturan pemerintah (PP) dan revisi Undang-Undang (UU) Polri.
"Perpol ini tentunya nanti akan ditingkatkan menjadi PP dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi undang-undang," tutur dia.
Tag: #sikap #ketua #reformasi #polri #tegaskan #perpol #polisi #jabatan #sipil #menentang #putusan