Katanya Gen Z Lemah Banget di Dunia Kerja, Masa Sih?
Banyak orang yang menilai Gen Z adalah generasi stroberi (strawberry generation), sebuah istilah populer bernada stereotip yang digunakan untuk menggambarkan anak muda: cukup kreatif dan cakap secara digital, tetapi dinilai rapuh secara mental dan mudah goyah saat menghadapi tekanan.
Layaknya stroberi — ia tampak segar dan menarik dari luar, namun mudah “memar”.
Tapi, apa iya? Atau cuma mitos belaka?
Kerja sigap bagi jurnalis
Kayaknya anggapan itu nggak bisa digeneralisasi, deh. Firda (27) salah satunya, menjadi generasi Z yang justru bertolak belakang dengan stigma tersebut.
Ia sudah melakoni perannya sebagai jurnalis media mainstream selama 4 tahun sejak lulus kuliah.
Tempat bekerjanya saat ini pun menjadi tempat kerja pertama — jauh berbeda dengan anggapan yang menyebut bahwa generasi Z tidak pernah bekerja lama di satu perusahaan; entah karena lemah mental hingga ingin cepat resign atau malas.
Di tiga tahun pertama, ia menjadi jurnalis politik dengan lingkup kerja di DPR RI.
Saat Pemilihan Presiden (Pilpres), Firda juga menjadi wartawan yang meliput secara langsung agenda kampanye salah satu calon presiden dan calon wakil presiden.
Berpindah dari satu kota ke kota lain, serta dari provinsi ke provinsi lain hanya dalam satu hari.
Selama tiga tahun itu, Firda punya cara tersendiri untuk dekat dengan narasumber. Ia menyapa, bahkan mengantar elite politik ke ruangannya, dengan tujuan agar diingat.
Lagi-lagi, hal ini jauh berbeda dengan anggapan bahwa Gen Z tidak menyukai tantangan.
"Dulu pernah ngebuntutin Said (Ketua Banggar Said Abdullah).Jadi kayak gue temenin jalan ke Banggar. Terus Nazaruddin Dek Gam. 'Kamu ngapain?' Pernah digituin kan, (gue jawab), 'Mau nganter abang aja ke ruangan'. Ya jadi kebiasaan, jadi kebiasaan," ucap Firda kepada Kompas.com, Selasa (9/12/2025).
Dinamika jadi jurnalis istana
Setelah tiga tahun berkecimpung di perpolitikan, Firda menjadi Wartawan Istana Kepresidenan di tahun keempatnya.
Agenda liputan lebih padat dari biasanya, bahkan mendadak. Firda sebagai salah satu wartawan yang ditunjuk sebagai jurnalis ring-1, harus siap sedia ketika penugasan turun.
Sekitar dua minggu terakhir, Firda juga memiliki kesempatan meliput kunjungan Presiden Prabowo meninjau penanganan bencana di Sumatera.
Saat itu, Kepala Negara mengunjungi Tapanuli Tengah, Sumatera Utara; Aceh Tenggara; hingga Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar).
Tiga titik itu ditempuh dalam satu hari, sehingga mengetik di atas mobil hingga helikopter sudah jadi menu utama seorang jurnalis.
"Salah satu yang capek juga ketika meliput kunjungan Beliau ke luar kota, karena perjalanan dan mobilitas tinggi dan lain-lain. Jadi bisa selesai sampai jam tengah malam," jelas Firda.
Senada dengan Firda, Vonita (25) juga merasakan hal serupa sebagai jurnalis Istana.
Mual saat mengetik di kendaraan memang menjadi kendala, tapi jurnalis punya caranya sendiri untuk mengatasi agar hasil tulisan tetap maksimal. Misalnya, dengan beristirahat sejenak saat jalan berkelok, atau minum obat pereda mual.
Vonita juga punya pengalaman tersendiri saat meliputi 17 Agustus 2025 pertama kalinya di Istana Merdeka.
"Pernah waktu 17 (Agustus 2025), tapi itu di Istana, ya. Waktu 17 Agustusan di Istana kita berangkatnya sebelum matahari terbit, pulang matahari juga udah nggak ada," katanya sembari tertawa mengingat momen itu.
Dapat tawaran kerja dari magang
Dari cerita itu, Vonita juga menunjukkan bahwa tidak semua gen Z adalah generasi manja.
Ia bahkan mendapatkan tawaran pekerjaan di kantornya saat ini, setelah menjalani magang.
Sama seperti orang lain yang bekerja, hari-hari pertama tidaklah mudah. Ada banyak penyesuaian yang perlu ia lakukan, hingga berhasil menemukan ritme kerja yang cocok untuknya.
"Apalagi kan bukan jurusan jurnalis (kuliahnya), atau komunikasi. Awal magang langsung disuruh ke DPR, jujur kaget banget. (Tapi pekerjaan ini) Passion, karena dulu ambil Ilmu Politik. Beberapa ilmu dapat kepake jadi lebih paham," imbuh dia.
Kini, Vonita bertahan bekerja di kantor tersebut hingga hampir 3 tahun.
Kerap jadi andalan
Lain lagi dengan Fatma Hablillah (28). Ia sudah menjadi guru di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Depok, selama lima tahun belakangan sejak 2020.
Sebagai Gen Z sendiri di lingkungannya, ia justru kerap menjadi andalan guru-guru lainnya.
Utamanya untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan desain grafis, sebuah ilmu yang Gen Z sudah nggak asing.
Setiap ada kegiatan di sekolah, Fatma yang akan mendesain berbagai poster, banner, hingga mendadak social media spesialis dadakan untuk akun sekolahnya.
Karena dianggap bertanggung jawab, Fatma juga seringkali ditunjuk menjadi sekretaris.
"Setahun tuh bisa 10 (kegiatan) atau apa, setiap kegiatan banner atau bikin video-video. Ada kegiatan Natal, kegiatan Maulid, 17 Agustusan, itu gue harus bikin video, editan dan sebagainya, sekretaris kalau ada kegiatan acara, proposal pun gue yang bikin," beber Fatma, Minggu (14/12/2025).
Sebagai generasi yang lebih melek kesehatan mental, Fatma juga punya cara sendiri untuk kehidupan pribadi di masa libur. Layaknya tombol "off", Fatma memilih mengistirahatkan diri dari pesan pekerjaan di hari libur.
Namun, ia tetap menyelesaikan tugasnya, ketika hari-hari lain terlalu sibuk mengurus kegiatan.
"Senin sampai Jumat gue kerja, dan masih ada yang harus gue kerjain, Sabtu-Minggu gue kerjain. Tapi kalau Sabtu-Minggu gue ada (tugas) tambahan, itu nggak akan gue kerjain," tandas Fatma.
Nyatanya, Gen Z itu lebih sadar batas diri, menjadi generasi pertama yang berani menarik garis tegas antara kerja dan eksploitasi, bukan lemah seperti yang dilabeli selama ini.
Mereka menjadi pemecah stigma, bahwa Gen Z juga bisa bertanggung jawab atas pekerjaannya, namun tetap kreatif.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.