Quo Vadis Sistem Pemilukada: Menjerat Kepala Daerah Menjadi Koruptor
Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya (tengah) dikawal petugas saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (10/12/2025). Ardito ditangkap bersama sejumlah pihak dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang diduga terkait dugaan suap proyek, sementara KPK belum memberikan keterangan resmi mengenai pihak-pihak yang turut diamankan maupun barang bukti yang disita. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
08:26
11 Desember 2025

Quo Vadis Sistem Pemilukada: Menjerat Kepala Daerah Menjadi Koruptor

OPERASI Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Lampung Tengah dan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menambah panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi. Fenomena ini kian menyadarkan publik bahwa sistem Pemilukada yang kita anut mengandung lubang struktural yang belum tertutup.

Kepala daerah yang lahir dari proses demokrasi justru kerap terperangkap dalam pusaran politik transaksional yang menggerogoti integritas pemerintahan daerah. Akar persoalan dapat ditelusuri dari biaya politik pemilukada yang semakin mahal. Untuk menjadi calon saja, kandidat harus menempuh proses politik panjang, termasuk membangun jejaring partai, menggalang dukungan, hingga membiayai kampanye.

Dalam banyak kasus, ongkos ini jauh melampaui kemampuan pribadi kandidat sehingga memaksa mereka bergantung pada sponsor politik dan pengusaha lokal. Setelah menjabat, ruang korupsi terbuka karena dorongan untuk “mengembalikan investasi politik” melalui fee proyek, jual beli jabatan, atau suap dalam pembahasan anggaran.

Kasus Lampung Tengah menjadi contoh nyata bagaimana persetujuan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat berubah menjadi barang tawar-menawar.

Selain biaya politik, struktur tata kelola daerah juga menyisakan celah pengawasan. Kepala daerah memiliki kewenangan besar dalam anggaran, perizinan, dan mutasi pejabat, tetapi pengawas internal seperti inspektorat tidak memiliki independensi yang cukup untuk mengoreksi penyimpangan.

Ketika lembaga pengawas berada di bawah kendali politik kepala daerah, peluang korupsi menjadi lebih lebar. Dalam kondisi demikian, hubungan patron–client semakin menguat: pejabat dan kontraktor daerah mengandalkan kedekatan personal, bukan kinerja dan meritokrasi.

Pola ini membuat praktik transaksional dapat berlangsung sistematis, bahkan terinstitusionalisasi. Kultur politik lokal turut memperparah keadaan. Demokrasi lokal yang seharusnya mendorong partisipasi justru terjebak dalam politik balas budi dan negosiasi kepentingan jangka pendek.

Jabatan strategis diberikan kepada mereka yang setia mendukung saat kampanye. Proyek pembangunan menjadi alat konsolidasi kekuasaan. Legislator daerah tidak jarang ikut terseret dalam arus ini, menjadikan fungsi pengawasan DPRD melemah. Pada akhirnya, tata kelola pemerintahan di beberapa daerah berjalan di atas fondasi transaksi, bukan visi pembangunan.

Situasi ini menunjukkan bahwa penindakan tidak dapat berdiri sendiri. Reformasi sistem pemilukada menjadi kunci untuk menutup sumber korupsi dari hulu. Transparansi pendanaan kampanye, pembatasan ketat sumbangan dari pengusaha yang berkaitan dengan proyek daerah, serta digitalisasi penuh proses perencanaan dan anggaran adalah langkah yang perlu didorong.

Inspektorat daerah harus diperkuat sebagai lembaga semi-independen agar berfungsi sebagai pengawas yang efektif. Rekrutmen pejabat publik harus kembali ke prinsip meritokrasi, bukan alat konsolidasi politik.

Kasus Lampung Tengah seharusnya menjadi momentum untuk mengajukan pertanyaan besar: Quo vadis sistem pemilukada kita? Jika korupsi kepala daerah terus berulang, apakah sistem yang kita bangun telah menciptakan insentif yang salah?

Demokrasi lokal hanya akan bermakna jika mampu menghasilkan pemimpin yang bersih dan akuntabel. Tanpa reformasi serius, pemilukada justru akan terus menjadi pintu masuk yang menjerat kepala daerah pada lingkaran korupsi yang sama—sementara masyarakat tetap menanggung kerugiannya.

Tag:  #vadis #sistem #pemilukada #menjerat #kepala #daerah #menjadi #koruptor

KOMENTAR