Digitalisasi Katanya Udah Ada, Tapi Kok Masih Harus Fotocopy KTP?
— Pagi itu, Dea (21) datang ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dekat rumahnya dengan perasaan cukup tenang.
Ia sudah lebih dulu mendaftar secara online untuk mengikuti program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Harapannya sederhana: tinggal tunjuk bukti pendaftaran, periksa kesehatan, selesai.
Namun kenyataan berkata lain. Meski semua data sudah dikirim secara daring, Dea masih diminta membawa fotokopi Kartu Keluarga.
Bukti pendaftaran online bukan penutup alur administrasi — melainkan pintu masuk ke babak berikutnya: formulir tambahan dan berkas fisik.
“Waktu itu daftar via online, yang dibutuhkan fotocopy KK/KTP, dan isi identitas diri. Setelah sampai Puskesmas, harus membawa fotocopy KK/KTP lagi, dan isi formulir lagi,” katanya, Rabu (3/12/2025).
Tidak hanya Dea. Nur Khairunnisa (28), atau yang akrab disapa Ica, mengalami hal serupa ketika membuat paspor untuk pertama kalinya pada November lalu.
Niatnya hanya ingin liburan dan menyusul suaminya yang bekerja di Korea Selatan, tetapi prosesnya terasa panjang—dan penuh map.
Ia datang dengan tumpukan dokumen: KTP elektronik, KK, ijazah, akta lahir, hingga ditanya buku nikah.
“Dan ditanyakan juga dokumen aslinya dibawa atau enggak,” tutur Ica.
Semua berkas itu kemudian harus disatukan dalam satu bundel bersama surat keterangan yang ia unduh dari aplikasi M-Passport.
"Bisa diunduh di M-Passport setelah ambil antrian di M-passport secara online. Wajib di-print dan dijadikan satu bundle sama berkas kelengkapan yang tadi," tuturnya.
Rumit dan berulang
Bagi sebagian orang, ini mungkin dianggap hal biasa. Tetapi bagi generasi yang tumbuh dengan internet cepat, aplikasi digital, dan QR code di mana-mana, proses administrasi yang berulang mulai terasa… outdated.
“Harusnya tinggal input NIK, data kita sudah bisa diunduh. Apalagi sekarang sistemnya sudah elektronik dan digital semua. Pemerintah juga bisa meminimalisir hal-hal kayak gini, harusnya bisa lebih paperless," ucapnya.
Dea juga merasakan hal yang sama. Menurutnya, jika pendaftaran sudah dilakukan melalui situs resmi, seharusnya masyarakat tidak lagi diminta membawa berkas berulang kali.
“Sedikit rumit karena harus fotocopy dan menyiapkan berkas dua kali. Mungkin saat datang ke faskes, orang yang mau cek kesehatan hanya perlu memegang dan memberikan bukti print daftar tersebut, serta tidak perlu mengisi data lagi, karena seharusnya pihak faskes sudah mendapat/memiliki data pendaftar via online," ujar Dea.
Digitalisasi setengah hati?
Pengamat kebijakan publik Lina Miftahul Jannah mengamini keresahan ini. Menurutnya, kebiasaan meminta fotokopi identitas menunjukkan bahwa sistem digital pemerintah belum sepenuhnya berjalan.
Pemerintah yang memiliki data lengkap warganya seharusnya dapat memanfaatkan digitalisasi yang ada. Begitu pun meningkatkan digitalisasi data agar informasi di kementerian/lembaga dapat tersambung satu sama lain.
"Jadi misalnya dengan hanya memasukkan nama, dia akan bisa mendapatkan informasi tentang kita walaupun tidak dalam arti lengkap, yang penting sudah tercatat secara digital. Itu menggambarkan bahwa kita sudah tercatat sebagai warga negara, kalau kepentingannya itu," kata Lina saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/12/2025).
Ia justru bertanya-tanya, mengapa fotocopy data diri diperlukan ketika pemerintah kini.telah mengembangkan e-government—sebuah super apps yang menyatukan ribuan aplikasi tercecer di kementerian/lembaga.
Kewajiban menyerahkan fotocopy identitas diri juga menunjukkan adanya ketidakselerasan antara perkembangan teknologi layanan publik dan prosedur birokrasi yang sejalan.
Ia menekankan, digitalisasi pemerintahan tidak boleh hanya menjadi wacana belaka.
"Jadi tidak hanya jadi wacana saja, tapi memang harus didorong untuk bagaimana menjamin implementasinya di lapangan. Sekarang ngapain ada identitas digital, kalau kita tetap harus membawa KTP itu dalam bentuk hard," bebernya.
Melanggar ketentuan?
Selain itu, terdapat risiko nyata yang membayangi. Data identitas warga, meski dalam bentuk foto copy, dapat disalahgunakan tanpa adanya perlindungan ataupun jaminan keamanan dari pihak yang meminta.
Ia menekankan bahwa harus ada pengaturan yang menjamin bahwa kerahasiaan data identitas dijaga, terutama bila penyimpanan dan pemrosesan dilakukan oleh institusi seperti hotel, bank, atau penyelenggara layanan publik lain.
Praktik ini juga bertentangan dengan prinsip perlindungan data pribadi dalam pasal 20 dan pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
Pasal 20 UU PDP berbunyi: Pemrosesan data pribadi hanya dapat dilakukan berdasarkan dasar pemrosesan yang sah dan untuk tujuan tertentu.
Sementara Pasal 22 UU menyebut: Pemrosesan data pribadi harus dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah disampaikan kepada subjek data dan tidak boleh diproses lebih lanjut untuk kepentingan lain di luar tujuan tersebut.
Artinya, penahanan, penggandaan, atau penyimpanan KTP — termasuk fotokopi atau hasil pemindaian — tidak boleh dilakukan sembarangan dan harus didasarkan pada kebutuhan yang jelas, disertai persetujuan atau dasar hukum yang sesuai.
"Alasannya untuk identitas, iya. Tapi kalau kemudian di-fotocopy dan segala macam jadi bermasalah, identitas kita bisa disalahgunakan dan tidak ada perjanjian juga dari mereka kepada kita untuk menjaga identitas kita," tandas Lina.
Di tengah jargon transformasi digital, warga seperti Dea dan Ica masih bertanya-tanya: lebih baik digital, atau tetap fotokopi?
Untuk saat ini, jawabannya masih keduanya.
Namun dengan semakin banyak suara yang menuntut proses yang lebih simpel, aman, dan tidak berulang, tuntutan menuju layanan publik yang benar-benar digital semakin tidak terhindarkan.
Bukan sekadar efisiensi—tetapi soal hak warga atas data pribadinya.
Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com coba bikin kamu paham dengan bahasa yang mudah.
Tag: #digitalisasi #katanya #udah #tapi #masih #harus #fotocopy