Promosi Nikah Siri di TikTok Bikin Resah: Jalur Berisiko, Tapi Peminatnya Makin Menggila
Ilustrasi nikah siri. (Gambar dikreasikan oleh AI)
19:04
27 November 2025

Promosi Nikah Siri di TikTok Bikin Resah: Jalur Berisiko, Tapi Peminatnya Makin Menggila

Baca 10 detik
  • Promosi jasa nikah siri paket "akad kilat" di TikTok menjadi viral, memicu perdebatan mengenai komodifikasi ritual agama.
  • Nikah siri sah secara agama namun tidak diakui negara, menghilangkan perlindungan hukum bagi istri dan hak anak.
  • Data menunjukkan tingginya angka nikah siri karena biaya, birokrasi, dan lemahnya pengawasan penegakan hukum negara.

Di antara deretan video joget, resep lima menit, dan curhatan tengah malam yang tak ada habisnya, tiba-tiba muncul sebuah unggahan yang membuat banyak orang terhenti: promosi jasa nikah siri paket ‘akad kilat’, lengkap dengan tarif ratusan ribu rupiah, bonus dokumentasi, dan pilihan lokasi akad.

Dalam video yang kini viral, seorang pria berpeci hitam duduk rapi di depan kamera, menawarkan layanan nikah yang disebutnya aman, syar’i, dan tanpa ribet.

Nomor WhatsApp terpampang jelas, seolah ini hanya satu dari sekian jasa cepat yang biasa dijual di TikTok Shop.

Puluhan ribu penonton menanggapi. Ada yang benar-benar bertanya soal tarif dan jadwal akad. Ada pula yang marah karena praktik sakral berubah menjadi komoditas instan.

Bagaimana mungkin sebuah ritual keagamaan yang mengikat hidup dua manusia kini dipromosikan layaknya layanan ojek atau katering?

Antara Nikah Siri dan Nikah Resmi: Perbedaan yang Kerap Diremehkan

Di balik kemudahan yang dijanjikan para “penyedia layanan akad kilat”, terselip fakta yang sering luput dari perhatian: nikah siri memang sah secara agama, tetapi tidak diakui negara.

Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah, Ahmad Zayadi, menjelaskan bahwa pencatatan nikah bukanlah formalitas tambahan. Melainkan fondasi yang menentukan apakah sebuah keluarga memiliki payung perlindungan negara atau tidak.

“Pencatatan perkawinan bukan sekadar administrasi, tetapi instrumen perlindungan hukum bagi seluruh pihak,” ujarnya.

Tanpa pencatatan, pasangan tidak akan mendapatkan buku nikah, dokumen yang menjadi pintu menuju seluruh hak setiap keluarga.

Tanpa buku nikah, proses perolehan hak nafkah, hak waris, penetapan status anak, hingga perlindungan hukum saat terjadi kekerasan bisa mandek prosesnya.

Paling dirugikan justru perempuan karena kesulitan menuntut hak setelah konflik meledak di rumah tangga.

Di sisi lain, anak juga menghadapi tembok birokrasi ketika hendak membuat akta kelahiran atau mengakses layanan publik.

Itu sebabnya, UU 1/1974 dan revisinya melalui UU 16/2019 sudah menetapkan pencatatan nikah sebagai keharusan. Namun, realitasnya masih jauh dari ideal. Negara sudah membuat aturan, tetapi tidak selalu punya jangkauan dan kapasitas untuk memastikan semua orang mematuhinya.

Ilustrasi menikah siri. PerbesarIlustrasi menikah siri.

Kenapa Nikah Siri Tetap Diminati?

Data 2025 menunjukkan kontras yang mencolok: 1,5 juta pasangan menikah resmi melalui KUA, tetapi sekitar 34,6 juta pasangan memilih menikah tanpa pencatatan negara.

Lonjakan jumlah pernikahan tidak tercatat memberikan gambaran lain tentang betapa kompleksnya persoalan ini.

Alasannya berlapis. Ada yang mengeluhkan biaya dan proses administrasi. Ada yang ingin proses cepat tanpa birokrasi. Namun sebagian lain memilih nikah siri untuk menghindari prosedur hukum poligami.

Di media sosial, terutama Threads, perempuan mulai berani membagikan pengalaman mereka sebagai istri kedua dalam pernikahan siri—sebuah ruang suara yang jarang dipotret media arus utama.

Seorang pengguna menulis kisahnya:

Aku dulu istri kedua (TIDAK UNTUK DICONTOH). Awalnya nikah siri, lalu pas mau sidang poligami aku mundur meski sudah ada surat izin istri pertama. Kalau bisa milih jangan mau siri.

Cerita-cerita semacam ini memperlihatkan bagaimana nikah siri sering dijadikan jalan pintas untuk menghindari proses legal, tetapi justru membuka pintu risiko baru, terutama bagi perempuan yang kehilangan perlindungan hukum, akses identitas anak, hingga hak atas nafkah.

Ada Celah Hukum yang Membiarkannya Terjadi

Meski undang-undang mewajibkan pencatatan nikah, realitas hukum tak sepenuhnya mampu menutup celah.

Penelitian Universitas Diponegoro (2019) menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan dan minimnya mekanisme penegakan membuat nikah siri tetap bertahan sebagai praktik yang “dibiarkan terjadi”.

Banyak masyarakat percaya bahwa sah agama = sah negara, menunjukkan literasi hukum yang masih rendah.

Dalam banyak kasus, pasangan bahkan tidak pernah diberi pemahaman menyeluruh tentang risiko nikah tanpa pencatatan.

Ketika pengetahuan hukum minim, dan pelayanan negara belum merata, nikah siri menjadi solusi yang tampak mudah, meski penuh jebakan.

Fenomena promosi nikah siri di TikTok sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es masalah yang jauh lebih dalam.

Di balik video-video viral itu, ada persoalan struktural yang selama ini dibiarkan menggantung: akses pencatatan pernikahan yang belum merata, literasi hukum yang rendah, budaya yang masih memaklumi praktik nikah siri, pengawasan regulasi yang lemah, hingga dinamika relasi gender yang sering kali tidak seimbang.

Dalam lanskap seperti ini, nikah siri tidak bisa lagi dilihat sebagai sekadar pilihan personal. Ia adalah cermin dari sistem sosial yang belum hadir secara adil untuk semua warganya.

Maka jika negara benar-benar ingin fenomena ini mereda, solusinya bukan hanya menertibkan konten di TikTok, tetapi memperbaiki akar masalahnya, dari sistem pencatatan yang lebih inklusif, edukasi hukum yang lebih masif, hingga layanan pernikahan yang mudah, manusiawi, dan terjangkau. Tanpa itu semua, video bisa dihapus, tapi problemnya akan terus berulang.

Editor: Vania Rossa

Tag:  #promosi #nikah #siri #tiktok #bikin #resah #jalur #berisiko #tapi #peminatnya #makin #menggila

KOMENTAR