Apa Itu Toxic Positivity? Kenali Bahayanya bagi Kesehatan Emosional
– Di media sosial maupun kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat seperti “yang sabar ya, lihat sisi positifnya saja,” atau “kamu harus tetap happy, jangan sedih terus.”
Sekilas terdengar baik, tapi respons seperti ini dapat berubah menjadi sikap yang justru merugikan secara emosional. Fenomena inilah yang dikenal sebagai toxic positivity.
Istilah toxic positivity mulai populer sejak 2011 melalui buku The Queer Art of Failure karya J. Halberstam, ketika budaya masyarakat mulai banyak menuntut sikap positif dalam segala kondisi.
Padahal, manusia wajar mengalami seluruh spektrum emosi, bahagia, marah, kecewa hingga sedih, dan menekan emosi negatif justru dapat memperburuk kondisi mental.
Apa sebenarnya toxic positivity?
Psikolog Dr. Sheena Kumar menjelaskan, toxic positivity bukanlah istilah klinis, tetapi fenomena yang banyak dibahas dalam psikologi modern.
Menurutnya, toxic positivity muncul ketika seseorang dipaksa untuk tetap positif atau diarahkan untuk berpikir baik-baik saja di saat yang tidak tepat, termasuk saat sedang mengalami tekanan emosional.
“Dalam definisinya, toxic positivity adalah ketika positivitas didorong pada waktu yang salah atau dengan cara yang mematikan pengalaman emosional seseorang,” kata Kumar, disadur dari Hello Magazine, Kami (27/11/2025).
“Positivitas menjadi sebuah tuntutan, bukan lagi bentuk dukungan, sehingga orang dapat merasa tidak didengar atau dianggap remeh,” tambah dia.
Ia juga menambahkan bahwa menekan emosi negatif sebenarnya membuat tubuh bekerja lebih keras.
Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita menekan atau menyangkal emosi, sistem stres tubuh menjadi lebih aktif.
“Mendorong emosi pergi tidak membuatnya hilang, tetapi justru membuatnya semakin intens dan dapat meningkatkan gejala kecemasan atau depresi dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Bagaimana toxic positivity muncul dalam interaksi sehari-hari?
Toxic positivity dapat muncul dalam hubungan personal, pertemanan, lingkungan kerja, bahkan pada cara seseorang memperlakukan dirinya sendiri.
Mindset coach Aron Jameson mengatakan, tanda-tanda toxic positivity sering muncul dari cara seseorang merespons perasaan orang lain.
“Biasanya terlihat ketika seseorang mengecilkan atau mengabaikan perasaan sedih atau frustrasi melalui frasa seperti ‘semua terjadi karena alasan’, atau ‘kamu harus tetap positif’,” ujarnya.
Menurut Jameson, respons seperti ini dapat membuat seseorang merasa bersalah atas emosi yang sebenarnya wajar.
“Ketika seseorang tidak mengakui kondisi emosionalmu hanya karena itu dianggap negatif, itu dapat memicu rasa malu atau bersalah. Banyak orang yang kemudian merasa harus menyembunyikan perasaannya,” katanya.
Ia menambahkan bahwa toxic positivity juga muncul dari pola perilaku tertentu, seperti hanya menerima “good vibes” dan menghindari pembicaraan emosional, serta sibuk berlebihan untuk menutup kesedihan.
Selain itu, jika kamu terus berkata “aku harus kuat” meski sedang rapuh, maka hal ini juga termasuk toxic positivity.
Toxic positivity terhadap diri sendiri
Toxic positivity tidak disadari justru sering dilakukan kepada diri sendiri. Hal ini yang bisa berdampak pada kesejahteraan emosional seseorang.
Jameson mengatakan, ketika seseorang merespons emosinya sendiri dengan rasa bersalah seperti “aku tidak boleh sedih” atau “harusnya aku kuat”, itu adalah tanda bahwa ia sedang menekan emosi secara tidak sehat.
“Rasa malu karena merasa sedih atau marah adalah fondasi dari toxic positivity,” ujarnya.
Psikolog Michele Leno juga menjelaskan bahwa toxic positivity dapat berkembang menjadi bentuk manipulasi emosional.
“Toxic positivity dapat menyerupai gaslighting ketika seseorang membuat dirinya atau orang lain merasa tidak rasional karena memiliki emosi negatif,” ungkap Leno, dilansir dari CNet.
Ketika perilaku tersebut digunakan dalam hubungan, toxic positivity dapat digunakan untuk mengontrol atau memanipulasi keadaan.
Mengapa toxic positivity terjadi?
Menurut Kumar, toxic positivity umumnya tidak muncul dari niat buruk. Banyak orang sebenarnya ingin membantu, tetapi tidak tahu bagaimana menghadapi emosi orang lain.
“Banyak dari kita dibesarkan dengan anggapan bahwa emosi adalah kelemahan. Akibatnya, kita tidak terbiasa merasakan atau mengelola emosi dengan sehat,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa toxic positivity bisa bersumber dari beberapa faktor, yaitu:
- Ketidaknyamanan melihat orang lain sedih,
- Takut dianggap negatif,
- Pola keluarga yang menghindari obrolan emosional,
- Kebutuhan untuk terlihat kuat setiap saat.
Merasa sedih, marah, kecewa, atau lelah bukan tanda kelemahan, melainkan bagian dari pengalaman hidup yang wajar.
Memahami toxic positivity membantu kita memberi ruang pada diri sendiri dan orang lain untuk merasakan emosi secara jujur.
Dengan begitu, dukungan yang diberikan bukan lagi sekadar kalimat manis, tetapi hadir tepat waktu, lebih empatik, dan benar-benar menyembuhkan.
Tag: #toxic #positivity #kenali #bahayanya #bagi #kesehatan #emosional