MDP, Disiplin, dan Pidana: Menjaga Keadilan Medis
PERUBAHAN besar dalam tata kelola kesehatan Indonesia beberapa tahun terakhir, membuat kita perlu menata ulang pemahaman tentang bagaimana akuntabilitas tenaga medis bekerja.
Setelah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan diberlakukan, hubungan antara pasien, tenaga medis, rumah sakit, dan aparat penegak hukum tidak lagi dapat dibaca dengan pola lama.
Salah satu lembaga yang kini paling disorot adalah Majelis Disiplin Profesi (MDP), yang menjadi pintu pertama untuk menilai apakah pelayanan kesehatan dilakukan sesuai standar.
Di tengah maraknya kasus medis yang viral dan menimbulkan kegaduhan publik, MDP kerap disalahpahami sebagai lembaga pemidanaan.
Padahal, ruang kerja MDP sangat jelas: menilai disiplin profesi, bukan memutus pidana atau menentukan ganti rugi.
Pengadilan pidana, perdata, dan disiplin internal lembaga adalah jalur berbeda, meskipun sering dipersepsikan publik sebagai rantai yang sama.
Pasal 308 UU 17/2023 menjadi kunci dalam memahami posisi MDP. Pasal tersebut menegaskan dua hal penting.
Pertama, pidana di bidang kesehatan hanya dapat diterapkan bila terdapat kelalaian berat atau kesengajaan yang menimbulkan akibat serius bagi pasien.
Kedua, MDP dapat memberikan rekomendasi pidana bila menemukan indikasi kelalaian berat tersebut. Dengan kata lain, rekomendasi pidana bukan wewenang wajib, tetapi opsi yang hanya layak digunakan bila pelanggaran yang ditemukan benar-benar signifikan.
Namun, Pasal 308 bukanlah mandat kosong. Sebelum rekomendasi pidana diberikan, harus terbukti terlebih dahulu bahwa terjadi pelanggaran terhadap tiga pilar fundamental layanan kesehatan: Standar Profesi, Standar Pelayanan, dan Standar Prosedur Operasional (SPO).
Tanpa pelanggaran terhadap salah satu dari tiga pilar ini, rekomendasi pidana tidak memiliki dasar profesional.
Di sinilah batas mandat MDP sangat penting untuk dijelaskan kepada masyarakat. MDP tidak menilai kausalitas—apakah tindakan dokter menyebabkan akibat tertentu. Itu adalah ranah penyidik dan ahli forensik klinis.
MDP tidak menilai faktor pembenar, misalnya, keadaan darurat atau keterbatasan fasilitas. Itu adalah ranah hukum pidana.
MDP juga tidak menilai faktor pemaaf, seperti situasi memaksa atau ketidakmampuan bertindak lain. Bila MDP masuk ke ranah tersebut, MDP berisiko melampaui kewenangan dan mengaburkan proses hukum.
Meski demikian, dalam wacana publik sering muncul kebutuhan agar MDP memberikan penjelasan tambahan mengenai konteks klinis.
Bila hal ini dilakukan, bentuknya harus sebatas penjelasan teknis-deskriptif—misalnya mengenai mekanisme klinis atau dampak keterbatasan fasilitas—dan bukan kesimpulan hukum.
MDP boleh menjelaskan konteks klinis, tetapi tidak boleh menyimpulkan unsur pidana.
Dalam proses quasi-judicialnya, MDP memeriksa apakah tindakan tenaga medis telah sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan SPO.
Bila pelanggaran terbukti, MDP dapat memberikan sanksi administratif dan memberikan rekomendasi pidana. Bila standar tidak dilanggar, MDP wajib menutup perkara disiplin meskipun hasil klinis buruk.
Adverse outcome bukan indikator pelanggaran; pelayanan profesional yang sesuai standar tetap harus dipandang sebagai tindakan yang benar secara hukum maupun dalam konteks disiplin.
Dalam praktiknya, banyak kasus fatal merupakan gabungan beberapa faktor: kondisi pasien, keterbatasan fasilitas, kebijakan rumah sakit, hingga sifat gawat darurat yang berubah cepat.
Bila faktor sistem lebih dominan, maka tidak tepat bila MDP memberikan kesan seolah unsur pidana terpenuhi. Di sinilah pentingnya disiplin profesi sebagai filter awal, bukan alat kriminalisasi.
Perlu dipahami juga bahwa rekomendasi pidana dari MDP tidak otomatis menyebabkan tenaga medis dipidana.
Aparat penegak hukum tetap wajib melakukan penyidikan lengkap: menilai kausalitas, motif, keadaan memaksa, faktor pembenar dan pemaaf, serta unsur kesalahan sesuai KUHP. Rekomendasi MDP hanyalah pendapat profesi—bukan vonis.
Dalam konteks lebih luas, KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) menghadirkan paradigma pemidanaan yang lebih modern.
Untuk tindak pidana dengan ancaman kurang dari 5 tahun, tersedia pidana alternatif berupa kerja sosial, bukan semata-mata penjara.
Ini sangat relevan karena UU 17/2023 menetapkan ancaman maksimal 3 tahun untuk kelalaian tenaga medis. Artinya, sekalipun suatu perkara memasuki jalur pidana, tidak harus selalu berujung pada pemenjaraan.
Sistem hukum kita sebenarnya sudah bergerak ke arah yang lebih manusiawi dan proporsional.
Reformasi hukum melalui UU 1/2023 dan UU 17/2023 saling melengkapi: UU Kesehatan membatasi ancaman pidana agar tidak berlebihan, sementara KUHP baru menyediakan opsi pidana alternatif yang lebih sesuai dengan konteks profesi kesehatan.
Kombinasi keduanya memungkinkan proses hukum berjalan adil tanpa menghancurkan keberanian klinis tenaga medis.
Dalam era digital, opini publik mengenai kasus medis sangat mudah naik-turun mengikuti pemberitaan dan viralitas. Namun, disiplin profesi memerlukan ketenangan, objektivitas, dan proses pembuktian yang bertahap.
Transparansi dalam konteks ini bukan membuka seluruh isi sidang, tetapi memastikan integritas prosedur, independensi majelis, dan dasar argumentasi yang jelas.
Kita membutuhkan sistem disiplin yang kuat, profesional, dan proporsional. Rekomendasi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir—bukan respons spontan terhadap tekanan publik.
Bila terlalu mudah diberikan, kriminalisasi dapat meningkat dan dokter akan terdorong melakukan defensive medicine. Bila terlalu jarang diberikan, keadilan publik terganggu. Keseimbangan inilah yang harus dijaga oleh MDP.
Pada akhirnya, MDP memiliki posisi strategis dalam menjaga keadilan medis. Dengan memegang teguh mandatnya—menilai standar profesi, bukan unsur pidana—MDP dapat menjadi penjaga integritas sistem kesehatan, sekaligus memastikan bahwa pemidanaan hanya diterapkan bila benar-benar diperlukan dan berdasar bukti yang kuat.