Duduk Perkara Kasus ASDP Berujung Rehabilitasi Prabowo, Kenapa KPK Bersikukuh Ira Puspadewi Korupsi?
- Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi kepada mantan Dirut ASDP Ira Puspadewi dan dua direksi lain lima hari setelah divonis bersalah.
- Pemberian rehabilitasi ini didasarkan pada Pasal 14 UUD 1945, meskipun ahli hukum menyoroti ketidaksesuaian dengan KUHAP.
- Keputusan tersebut memicu kritik keras karena dianggap intervensi terhadap proses hukum dan berpotensi melemahkan KPK.
"Tidak ada sesenpun keuntungan pribadi yang kami ambil, akuisisi ini tidak hanya baik untuk ASDP, tapi menguntungkan negara,"
Matanya nanar terlihat menahan air mata, perempuan berkacamata itu melayangkan permohonan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto meminta perlindungan, karena apa yang telah dia lakukan bersama dua terdakwa lain adalah demi kemajuan ASDP dan juga negara.
"Kami mohon perlindungan hukum kepada Presiden Republik Indonesia, agar terobosan besar ini untuk Indonesia yang lebih baik," ujar Ira Puspadewi usai menjalani sidang vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (20/11/2025) lalu.
Tak berselang lama, Presiden Prabowo Subianto merespons permohonan Ira. Sang Presiden mengeluarkan keputusan yang tak terduga. Ia memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, beserta dua mantan direksi lainnya, Harry Muhammad Adhi Caksono dan Muhammad Yusuf Hadi.
Keputusan ini sontak menjadi sorotan publik. Pasalnya, 'hadiah' dari Istana ini diberikan hanya lima hari setelah ketiganya divonis bersalah dalam kasus dugaan korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Status hukum mereka bahkan belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa keputusan ini memicu perdebatan sengit dan dianggap sebagai intervensi terhadap proses hukum? dan bagaimana sikap KPK yang sudah berhari-hari melakukan penyelidikan hingga berlanjut ke meja hijau.
Apa Itu Rehabilitasi
PerbesarEks Dirut PT ASDP Ira Puspadewi selama 4,5 tahun dalam perkara akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN). (Suara.com/Faqih)Pemberian rehabilitasi ini didasari oleh Pasal 14 UU 1945 yang menyatakan soal kewenangan presiden untuk memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berbunyi sebagai berikut:
- Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
- Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dilihat dari Pasal 1 Angka 23 KUHAP, rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Namun, yang perlu menjadi catatan ialah kesesuaian antara penerapan rehabilitasi terhadap Ira dan kawan-kawan dengan ketentuan dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP yang berbunyi:
(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Rehabilitasi Sudah Tepat atau Keliru?
Pemberian rehabilitasi oleh presiden membelah pendapat para ahli dan pejabat. Di satu sisi, pemerintah bersikukuh langkah tersebut sudah sesuai prosedur. Di sisi lain, para pakar hukum pidana melihat adanya kejanggalan.
Versi Pemerintah: Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa keputusan presiden sah secara konstitusional.
Menurutnya, langkah ini telah sesuai dengan Pasal 14 UUD 1945 dan telah melalui pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Yusril berargumen, karena baik jaksa KPK maupun pihak terpidana tidak langsung mengajukan banding, putusan pengadilan dianggap telah inkrah.
"Karena putusan telah inkracht... maka Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk memberikan rehabilitasi,” ucap Yusril.
Versi Pakar Hukum: Namun, pandangan berbeda datang dari Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto. Menurutnya, rehabilitasi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memiliki syarat ketat.
Pasal 97 KUHAP menyatakan rehabilitasi diberikan kepada seseorang yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan, dan putusannya sudah inkrah. Sementara dalam kasus ASDP, para terdakwa divonis bersalah dengan hukuman penjara.
“Saya sendiri lebih cenderung seharusnya yang dilakukan bukan rehabilitasi ya, tapi yang seharusnya dilakukan oleh Presiden adalah dalam bentuk abolisi,” kata Aan. Hal itu merujuk pada ketentuan dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Abolisi, menurutnya, akan lebih tepat karena secara jelas menyatakan perbuatan pidana terdakwa ditiadakan, sejalan dengan niat presiden untuk memulihkan nama baik mereka tanpa menimbulkan perdebatan hukum.
Dari Akuisisi Kapal Tua Hingga Perang Narasi
PerbesarPenampakan kapal PT Jembatan Nusantara yang diakuisisi ASDP. (Dok. Ist)Sebelum Keppres rehabilitasi turun, kasus ini sudah ramai diperbincangkan, terutama di media sosial. Muncul narasi yang membela Ira Puspadewi, mempertanyakan di mana aliran dana korupsi yang ia terima.
Penggiat media sosial seperti Ferry Irwandi dan Guru Besar FEB UI Rhenald Kasali turut bersuara. Mereka menyoroti beberapa poin, seperti kegagalan pengadilan membuktikan Ira menerima uang, hingga metode perhitungan kerugian negara oleh KPK yang dinilai janggal.
Salah satu yang paling disorot adalah penilaian 53 kapal tua milik PT Jembatan Nusantara yang diakuisisi. Ahli dari jaksa KPK dituding menghitung nilai kapal tersebut setara dengan harga besi tua.
“Kalau besi tua itu sudah jadi kapal, kan beda dong... sama saksi ahlinya, yang ahli besi dihitung, ‘ini sudah 30 tahunan jadi saya hitungnya sebagai besi tua’,” tutur Rhenald.
Sementara itu, KPK tak tinggal diam. Lembaga antirasuah ini membeberkan bukti-bukti yang menjadi dasar dakwaan mereka.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menegaskan, kerugian negara mencapai Rp 1,25 triliun akibat proses akuisisi yang penuh rekayasa dan pengkondisian.
KPK mengungkap bahwa kondisi keuangan PT Jembatan Nusantara sebelum diakuisisi sebenarnya terus menurun. Lebih dari 95% asetnya adalah kapal-kapal berusia di atas 30 tahun yang nilainya sudah digelembungkan (overstated).
Fakta mengejutkan lainnya adalah usia kapal yang diakuisisi. Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, menunjukkan data bahwa salah satu kapal bahkan dibuat pada tahun 1959, atau berusia 66 tahun.
“Itu kan juga sangat berbahaya, yang dipertaruhkan itu adalah nyawa para penumpang,” tegas Asep.
KPK juga menuding pihak ASDP sengaja mengubah aturan internal untuk memuluskan proses kerja sama dan akuisisi dengan PT Jembatan Nusantara.
Intervensi Istana dan Ancaman Pemberantasan Korupsi
PerbesarMantan Penyidik KPK Praswad Nugraha. [Ist]Keputusan Presiden Prabowo sontak menuai kritik pedas dari para aktivis antikorupsi. Langkah ini dianggap sebagai bentuk intervensi terang-terangan terhadap lembaga yudikatif.
Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha, menyebut kebijakan ini adalah tamparan keras bagi penegak hukum.
"Ini adalah tamparan tidak hanya bagi KPK... tetapi juga bagi majelis hakim yang telah memutus perkara berdasarkan fakta persidangan," kata Praswad.
Ia khawatir ini menjadi preseden berbahaya yang menandakan hukum bisa dinegosiasikan jika memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Senada dengan itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menyebut ini adalah kali ketiga Presiden Prabowo mengintervensi penegakan hukum kasus korupsi.
“Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif,” kata Wana.
ICW khawatir, jika praktik ini dibiarkan, para terdakwa di masa depan akan lebih memilih membangun narasi di media dan melobi Istana ketimbang menempuh jalur hukum seperti banding atau kasasi. Akibatnya, perang hukum bisa bergeser menjadi perang narasi.
KPK Legowo?
PerbesarPelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu. [Suara.com/Dea]Meski demikian, KPK mengaku tidak berkecil hati. Asep Guntur menegaskan bahwa lembaga antirasuah telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur hukum, dan semua prosesnya telah teruji, termasuk melalui sidang praperadilan.
“Pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo... sudah bukan menjadi ranah KPK,” kata Asep.
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta untuk Ira Puspadewi. Sementara dua terdakwa lainnya divonis 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta.
Namun, dalam putusan tersebut, Ketua Majelis Hakim Sunoto menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), di mana ia menilai para terdakwa seharusnya dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Tag: #duduk #perkara #kasus #asdp #berujung #rehabilitasi #prabowo #kenapa #bersikukuh #puspadewi #korupsi