Rekrutmen Tertutup: Ketika Pintu Belakang Diresmikan Menjadi Akuisisi Talenta
SISTEM Seleksi Calon ASN (SSCASN) berbasis Computer Assisted Test (CAT) mungkin bukan sistem yang sempurna, tetapi ia memiliki satu keunggulan tak terbantahkan: ia adalah pagar terkuat yang pernah dibangun birokrasi kita melawan nepotisme.
Dalam satu dekade terakhir, objektivitas dan transparansi skor CAT telah menjadi simbol meritokrasi membunuh "surat sakti" dan koneksi orang dalam. Siapapun anda, anak pejabat atau petani, jika skor anda di layar monitor rendah, anda gugur.Titik. Transparansi inilah yang memulihkan sedikit demi sedikit kepercayaan publik terhadap seleksi abdi negara.
Namun, kepercayaan yang rapuh itu kini kembali diuji. Kementerian PANRB dalam acara Rapat Koordinasi Arah Kebijakan Manajemen Aparatur Sipil Negara di Hotel Sahid Agustus 2025, memunculkan kebijakan baru terkait sistem pengembangan pengadaan ASN. Disebutkan, selain pengadaan nasional, ada juga pengadaan instansi yang bertujuan untuk merekrut pegawai PPPK yang termasuk dalam daftar jabatan kritikal dan untuk merekrut pro-hire.
Hal ini membuka dikotomi baru: Open Recruitment (Rekrutmen Terbuka) dan Closed Recruitment (Rekrutmen Tertutup). Kekhawatiran terbesar publik bukanlah soal modernisasi, tetapi apakah Closed Recruitment ini, dengan metode Head Hunter dan Pro Hire di bawah payungnya, hanyalah cara lain untuk melegalkan "jalur titipan" yang selama ini berusaha kita hapuskan?
Dikotomi Baru dan Pengalihan Wewenang
Infografis pengadaan ASN mengurai sistem menjadi dua alur besar berdasarkan penanggung jawab: Pengadaan Nasional dan Pengadaan Instansi.
Pengadaan Nasional, yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Nasional, difokuskan pada jabatan non-manajerial. Jalur ini sangat mungkin selaras dengan Open Recruitment, yang menggunakan tes massal, terbuka, dan terukur, serta minim ruang diskresi.
Sedangkan Pengadaan Instansi, yang dilaksanakan oleh Panitia Seleksi Instansi, secara eksplisit ditujukan untuk merekrut pegawai PPPK dalam jabatan kritikal dan untuk merekrut pro-hire. Di sinilah letak persinggungan dengan metode Closed Recruitment, yang mencakup Targeted Recruitment, Talent Scouting, Head Hunter, dan Pro Hire. Pergeseran inilah yang menjadi titik krusial.
Pengadaan talenta spesialis (terutama Pro Hire) kini diserahkan kepada Panitia Seleksi Instansi, artinya diskresi dan kekuasaan untuk menentukan siapa yang "terbaik" berpindah dari otoritas nasional yang objektif ke otoritas instansi yang rentan disusupi kepentingan lokal atau sektoral berlabel Akuisisi Talenta.
Erosi Objektivitas: Dari Skor ke Profil
Metode seperti Head Hunter untuk posisi manajerial strategis, atau Pro Hire untuk keahlian spesifik yang sulit ditemukan melalui proses rekrutmen umum, memang lumrah di sektor swasta. Namun, dalam konteks birokrasi, ketiadaan parameter angka yang baku dan digantikan oleh penilaian "keahlian langka" menciptakan ruang gelap yang rentan.
Siapa yang menentukan keahlian seorang calon Pro Hire benar-benar langka dan tidak bisa didapatkan melalui jalur umum? Publik khawatir bahwa Closed Recruitment akan menjadi mekanisme "pencocokan profil" di mana persyaratan jabatan dibuat se eksklusif mungkin agar hanya cocok dengan calon yang sudah disiapkan (titipan).
Jika seorang kerabat pejabat gagal di tes CAT jalur non-manajerial, ia bisa saja didorong masuk lewat jalur Pro Hire di Pengadaan Instansi dengan dalih portofolio mengesampingkan kelemahan fundamentalnya. Modernisasi yang kita saksikan berisiko menjadi formalitas yang melegalkan praktik favoritism.
Bahaya Otonomi Instansi dalam Seleksi
Keputusan untuk menempatkan Pro Hire di bawah Panitia Seleksi Instansi semakin meningkatkan kekhawatiran publik. Sejarah mencatat bahwa praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) sering beroperasi efektif di tingkat instansi atau daerah karena kedekatan politik. Memberikan diskresi merekrut Pro Hire kepada panitia instansi adalah memberikan kunci "pintu belakang" kepada pimpinan instansi itu sendiri.
Mekanisme ini berisiko menjadi arena bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk membentuk "tim sukses" atau memasukkan kolega di bawah label "profesional". Akuntabilitas seleksi menjadi kabur, karena keputusan tersebut kini tidak lagi dipegang oleh Komite Seleksi Nasional yang objektif, melainkan oleh komite internal instansi yang memiliki potensi konflik kepentingan yang jauh lebih besar.
Pelajaran dari Sektor Swasta: Pintu Keluar
Sektor swasta memang mahir menggunakan Head Hunter atau merekrut Pro Hire. Namun, kuncinya bukan hanya pada cara merekrut, melainkan pada kemudahan untuk memberhentikan (memecat) jika kandidat gagal mencapai target. Di swasta, kegagalan Pro Hire hanya berujung pada pemutusan kontrak. Di birokrasi, sistem pengadaan Pro Hire berhadapan dengan sistem kepegawaian yang sangat protektif.
Jika seorang ASN Pro Hire masuk dengan koneksi dan ternyata inkompeten, negara akan terjebak menanggung beban kepegawaiannya hingga pensiun. Mengadopsi cara masuknya (pintu Head Hunter) tanpa mengadopsi cara keluarnya (kemudahan memecat) adalah resep untuk menciptakan aristokrasi birokrasi baru yang tidak produktif dan tidak bisa disentuh.
Modernisasi sistem pengadaan ASN melalui Akuisisi Talenta adalah kebutuhan logis. Namun, ini tidak boleh mengorbankan integritas proses. Pemerintah harus menjamin bahwa skema Closed Recruitment dan Pengadaan Instansi tidak menjadi legalisasi bagi penyimpangan.
Transparansi radikal wajib diterapkan pada Panitia Seleksi Instansi. Kriteria spesifik jabatan, daftar kandidat yang diincar Head Hunter, dan proses validasi keahlian Pro Hire harus dibuka kepada publik, setidaknya untuk tujuan audit. Jika tidak, "Akuisisi Talenta" hanya akan dicatat sejarah sebagai proyek mahal yang membuka kembali era "jalur titipan" di tubuh birokrasi negara.
Tag: #rekrutmen #tertutup #ketika #pintu #belakang #diresmikan #menjadi #akuisisi #talenta