Ulama, Negara, dan Kemandirian Bangsa
MUSYAWARAH Nasional XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2025 kembali mempertemukan ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru negeri.
Lebih dari sekadar tradisi keorganisasian, Munas harus dijadikan sebagai forum konsolidasi moral, tempat di mana ulama membaca dinamika umat, bangsa, dan peradaban, lantas menyusun panduan etik bagi langkah Indonesia ke depan.
Munas XI tahun ini memiliki makna khusus. Tahun 2025 menandai lima dekade pertama perjalanan MUI, sejak berdiri pada 1975.
Lima puluh tahun bukan usia yang pendek bagi institusi keulamaan yang memikul mandat besar, yakni menjaga, memandu, dan mengarahkan umat di tengah perubahan zaman.
Oleh karena itu, Munas kali ini harus dijadikan momentum refleksi historis, yakni sebagai titik balik untuk menimbang jarak yang telah ditempuh dan arah yang harus dituju.
Tema Munas tahun ini, “Meneguhkan Peran Ulama untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa dan Kesejahteraan Rakyat,” memuat pesan kuat bahwa persoalan kemandirian bukan lagi isu jangka panjang, melainkan kebutuhan mendesak sebuah bangsa yang ingin hidup tegak dalam percaturan global.
Menteri Agama Nasaruddin Umar (20/11) dalam sambutannya mengingatkan bahwa tidak sedikit negara yang gagal menopang dirinya sendiri, tersandera oleh kerentanan fiskal, dan akhirnya kehilangan daya tawar sebagai bangsa merdeka.
Indonesia diberi anugerah sumber daya alam, kekayaan budaya, dan kekuatan sosial. Namun, modal besar itu hanya bermakna bila dikelola dengan moral dan visi kebangsaan yang kokoh. Di titik inilah ulama menemukan relevansinya.
Transformasi peran ulama
Ulama sejak masa awal perjuangan kemerdekaan selalu mengambil peran strategis, yakni: memimpin gerakan melawan penjajah, menanamkan nilai keikhlasan dalam perjuangan, dan setelah kemerdekaan ikut menyemai etos pembangunan.
Pada fase kini, tugas mereka pun mengalami transformasi.
Tantangannya tidak lagi berwujud invasi fisik, melainkan penetrasi budaya, arus informasi yang tak terbendung, dan ketergantungan teknologi yang kian mengikis kedaulatan moral bangsa.
Karena itu, MUI dipanggil untuk menafsir ulang mandat keulamaannya. MUI diminta untuk mengonversi ikatan-ikatan lokal menjadi energi kebangsaan yang utuh, seperti halnya Rasulullah berhasil menyatukan kabilah-kabilah yang berbeda dalam satu visi profetik.
Ada dua misi besar MUI yang kembali ditegaskan oleh K.H. Ma’ruf Amin, dalam sambutannya, yakni khadim al-ummah dan shadiq al-hukumah.
Pertama, sebagai pelayan umat, MUI berkewajiban menjaga kemurnian akidah, meluruskan pemikiran yang menyimpang, dan memandu umat dalam lanskap sosial yang cepat berubah.
Kedua, sebagai sahabat atau mitra pemerintah, MUI tidak mengkritik, terlebih nyinyir, tapi memberikan tawshiyah, berupa nasihat yang jernih, kritis namun konstruktif, demi memastikan kebijakan publik berjalan pada rel keadilan dan kesejahteraan.
Di titik ini, pidato Menteri Agama menarik untuk dicermati. Dia menegaskan bahwa kebersatuan kabilah-kabilah di era Nabi menjadi fondasi peradaban. Indonesia hari ini membutuhkan energi serupa untuk mengokohkan ikatan sosial, memperkuat solidaritas nasional, dan memadukan kekuatan keumatan agar tidak tercerai-berai oleh kepentingan sempit.
MUI, menurut dia, bukan hanya menjaga akidah, tetapi juga jembatan yang menghubungkan elemen-elemen bangsa dan memastikan kohesi sosial tetap terpelihara.
Menteri Agama juga mengingatkan bahwa dunia bergerak dalam kompetisi yang sangat ketat. Ke depan, negara-negara tidak lagi hanya berjibaku pada ekonomi, tetapi juga pada penguasaan teknologi, kecepatan inovasi, dan ketahanan pangan.
Dalam konteks ini, peran ulama diperlukan untuk memberikan legitimasi moral pada kebijakan pembangunan.
Ketahanan pangan adalah bagian dari hifzh al-nafs, menjaga keberlanjutan hidup umat. Sementara kedaulatan energi berkaitan dengan hifzh al-mal, memastikan negara tidak tergantung pada kekuatan yang dapat mengintervensi kebijakan nasional.
Menteri Agama menawarkan perspektif baru bahwa negara tidak cukup kuat hanya dengan struktur birokrasi, tetapi memerlukan struktur moral yang ditopang oleh otoritas keulamaan.
Di sinilah kolaborasi MUI dan pemerintah menemukan relevansinya. Negara menghadirkan program, ulama menghadirkan legitimasi moral; negara menyiapkan kebijakan, ulama menyiapkan etika; negara membangun sistem, ulama menyusun narasi kemaslahatan. Inilah simbiosis kebangsaan yang patut dirawat.
Agenda strategis negara
Dalam konteks itulah, agenda-agenda strategis negara menemukan titik temu dengan orientasi keulamaan.
Program makan bergizi gratis (MBG), misalnya, dibaca sebagai ikhtiar negara untuk mengangkat martabat manusia dari bawah, memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan cerdas. Ini sejalan dengan maqashid al-syari’ah dalam menjaga jiwa (hifzh al-nafs) dan menjaga akal (hifzh al-‘aql).
Begitu pula dengan penguatan ketahanan pangan, kedaulatan energi, pengembangan industri halal, hingga tata kelola haji dan umrah. Semuanya memerlukan etika, panduan moral, dan legitimasi keagamaan agar menjadi kebijakan yang kokoh dan berkeadilan.
Menteri Agama juga menyoroti dinamika global yang kian menuntut peran moral agama, terutama terkait isu lingkungan, perdamaian, dan kemajuan teknologi.
Dia mengaitkan hal ini dengan “Deklarasi Istiqlal”, komitmen untuk meneguhkan kemandirian bangsa, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam percakapan global tentang masa depan kemanusiaan.
Di saat yang sama, Vatikan menginisiasi agenda etika global yang menempatkan nilai moral dan spiritual sebagai fondasi dalam menghadapi isu lingkungan dan perkembangan kecerdasan buatan.
Kedua arus ini memperlihatkan bahwa bahasa agama kembali menjadi rujukan penting dalam merumuskan pedoman moral dunia.
Di sinilah mandat ulama menemukan momentumnya, yakni menghadirkan panduan etik yang mampu memastikan teknologi dan perubahan peradaban tetap setia pada martabat manusia.
Munas MUI juga menjadi ruang memperkuat ukhuwah, yakni: ukhuwah Islamiyah, basyariyah, dan wathaniyah. Ketiga jenis ukhuwah ini menjadi fondasi sosial yang mengikat bangsa.
Di tengah polarisasi politik, ketimpangan sosial, dan arus informasi yang kerap menciptakan kecurigaan, MUI memikul tanggung jawab besar sebagai penjaga kohesi sosial.
Sebab bangsa yang besar bukan hanya ditopang oleh kekuatan ekonomi, tetapi juga oleh kekuatan persaudaraan.
Dalam dinamika demikian, Munas MUI tidak boleh berhenti hanya sekadar forum seremonial. Ia harus melahirkan kebijakan strategis lima tahunan yang mampu mengonsolidasikan umat, menyelaraskan gerak keumatan dan kebangsaan, dan menjadikan MUI sebagai poros moral bangsa.
Lebih dari itu, hasil-hasil Munas penting untuk ditempatkan dalam konteks global, sebab isu-isu yang dibahas, seperti: energi, pangan, AI, industri halal, dan ekosistem haji, adalah isu dunia Islam dan juga isu kemanusiaan internasional.
Tag: #ulama #negara #kemandirian #bangsa