Demam Purbaya dan Sentilan Pers ''Mingkem'': Pelajaran dari Masa Lalu
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan pemaparan pada konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin (3/11/2025). Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyatakan stabilitas sistem keuangan Indonesia pada kuartal III-2025 tetap terjaga di tengah tantangan dan dinamika pasar keuangan global, sementara pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5,2 persen pada akhir tahun 2025. %
06:20
19 November 2025

Demam Purbaya dan Sentilan Pers ''Mingkem'': Pelajaran dari Masa Lalu

ADA paradoks ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers di acara "Fun Run for Good Journalism", Minggu, 16 November 2025.

"Yang saya lihat beberapa tahun ini, jurnalisnya mingkem semua. Nggak pernah kasih kritik, akibatnya ekonomi kita susah," ujar Purbaya (Tirto.id, 17/11/2025).

Purbaya kerap kali menyinggung "apa yang tak dilakukan di masa lalu telah menyebabkan ekonomi negeri kita susah". Ini premis yang harus selalu diuji. Bagaimana pun mengandung justifikasi dan ingin dimaklumi dan belum tentu sebuah fakta.

Purbaya adalah Menkeu anyar, menjabat sejak September 2025. Sebagai orang baru di kabinet, ia menerima warisan atau semua hal dari masalah, terutama dalam lingkup tugas dan kewenangannya sebagai bendahara negara.

Saya menyebut paradoks karena ada tubrukan antara "good journalism" dengan kalimat "jurnalisnya mingkem semua".

Jika pers Indonesia menerapkan "good journalism" atau praktik jurnalisme yang baik, seharusnya pers setia menjadi pilar keempat demokrasi: Menjalankan fungsi kontrol dan kritik terhadap kekuasaan.

Ketika Purbaya menyentil "jurnalis mingkem", tidak atau kurang melakukan fungsi kritik, itu menggoda kita untuk meneropong perjalanan pers--terutama dalam satu dekade terakhir.

Sejak 2014, bersamaan dengan munculnya Joko Widodo dan Prabowo Subianto di panggung politik elektoral, kecenderungan pers yang mengelu-elukan tokoh politik menguat.

Tokoh "media darling" muncul seiring diadaptasinya demokrasi langsung dalam perhelatan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004 silam. Ketua umum atau elite partai politik tak lagi dominan dalam panggung Pilpres.

Pada 2004, Susilo Bambang Yudhoyono mencuat setelah mundur dari kabinet Pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan mendirikan Partai Demokrat. SBY lalu menjadi bintang di Pilpres 2004, dengan mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi dalam dua putaran.

Kisah Jokowi yang bukan siapa-siapa, lalu meloncat dari Solo ke Jakarta juga tak lepas dari tren menguatnya "media darling" pada 2012.

Diawali riuh-rendah mobil Esemka, Jokowi mencuat sebagai sosok idola. Dari wali kota Solo, ia menuju kantor Balai Kota Jakarta--menjadi gubernur ibu kota.

Belum dua tahun menjabat, ia loncat lagi ke panggung Pilpres 2014. Dicitrakan sebagai sosok sederhana, merakyat dan bukan elite Jakarta, Jokowi dielu-elukan sebagai "new hope".

Ini terjadi antara lain karena sosok populer dan memiliki elektabilitas (potensi keterpilihan) tinggi menonjol dalam demokrasi langsung.

Jokowi menikmati berkah itu, terutama di Pilkada Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. PDI Perjuangan pun mengusung kadernya itu sebagai calon presiden di tahun 2014. Partai banteng ini tertarik dengan apa yang disebut "Jokowi Effect".

Di sini, di perhelatan politik yang mungkin terpanas di masa reformasi, sebagian pers terjebak dalam favoritisme. Sebagian lagi bahkan terjatuh menjadi "pemandu sorak" layaknya pendukung tokoh politik tertentu.

Tengok saja selepas pemungutan suara di Pilpres 2014, media televisi yang mewakili kepentingan pemiliknya, terbelah dalam menyiarkan hasil quick count atau hitung cepat.

Jokowi terbilang meraih berkah dari fenomena media darling. Terlebih pada 2014 itu, ada tokoh tertentu yang distempeli sebagai eksponen Orde Baru dan bikin tokoh-tokoh senior pers secara individu terang benderang menyokong Jokowi.

Jokowi pernah menjadi "tokoh tahun ini" di salah satu majalah berita. Sejak itu, popularitasnya menanjak. Latar belakang pendidikannya tidak diubek-ubek seperti saat ini. Semua terperangah dengan reputasinya sebagai wali kota Solo.

Namun, perhelatan politik tahun 2014 itu menggeser peran pers Indonesia. Terlebih pers juga dihantam gelombang besar media sosial yang merambah geografi penduduk hingga ke pelosok negeri.

Kian murahnya telepon seluler dan penetrasi internet telah memanjakan penduduk bumi, tak terkecuali di negeri kita. Informasi dalam bentuk teks, audio dan audio visual berada dalam genggaman.

Media arus utama, khususnya media cetak, kian terdesak oleh gelombang ini. Demikian pula media online serta televisi dan radio.

Mulai 2014, lambat tapi pasti, kue iklan mereka digerogoti media sosial. Saking besar dampaknya, saat ini mayoritas media arus utama berada dalam situasi "hidup untuk hari ini".

Sebuah kondisi, yang diakui atau tidak, telah menurunkan kerja pers sebagai agen kontrol sosial dan kritik terhadap kekuasaan. Kerja kritik terganggu dengan kerja untuk bertahan hidup (survive).

Saya teringat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Buku mereka, "The Elements of Journalism” seperti “kitab” jurnalisme, menjadi panduan dan alamat ke mana seharusnya jurnalisme bermuara.

Sejarah jurnalisme di negeri ini—sebagaimana didedahkan dengan sangat elok dalam sosok Minke di tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer—adalah pers perjuangan. Media adalah alat perjuangan anak manusia untuk membawa bangsanya menemukan kebebasan: Merdeka.

Bangsa di situ adalah Indonesia—sebuah nation state yang kehadiran dan wujudnya diimpikan sejak lama, setidaknya kala Sarekat Islam berdiri awal abad ke-20.

Di buku lainnya, “Blur”, mereka memaparkan pelbagai jenis jurnalisme. Ada jurnalisme verifikasi, jurnalisme pernyataan, jurnalisme pengukuhan, jurnalisme agregasi serta jurnalisme kaum kepentingan.

Yang pertama adalah terpenting dan pokok. Sementara jurnalisme agregasi adalah model baru. Satu bentuk media yang dibangun bukan untuk memproduksi berita, tapi mengumpulkan dan mengelola informasi yang ada. Ia adalah agregasi.

Tiga lainnya, alih-alih mendorong pada "Good journalism" seperti dikampanyekan Forum Pemred, tapi sebaliknya meracuni institusi pers.

Kovach dan Rosentiel menyebut “journalism of affirmation” atau jurnalisme pengukuhan sebagai model jurnalisme yang dijalankan bukan untuk menemukan kebenaran faktual, melainkan hanya untuk mengonfirmasi praduga buta sehingga terdengar seperti kebenaran, meski semu.

Yang paling berbahaya adalah jurnalisme kaum kepentingan. Gejalanya ruang redaksi tradisional menyusut, sehingga membuka kaum politis (politikus) menemukan jalan baru untuk memengaruhi dialog politik.

Kelompok ini tahu bahwa mereka bisa membuat jurnalisme sendiri, mengontrol dan menyiarkannya untuk diteruskan ke arus utama pers yang lebih luas.

Dengan tangan-tangannya, kaum kepentingan mengubah pemikiran ruang redaksi tradisional. Tujuan utamanya bukan memproduksi berita, tapi meraih kepentingan politik. Alhasil diskursus publik dipoles dan agenda setting redaksi runtuh.

Peran sebagai kontrol sosial dan kritik terhadap kekuasaan bakal menonjol jika pers kembali kepada jurnalisme verifikasi. Sebab dalam jurnalisme ini proses dan etika jurnalistik--termasuk menerapkan prinsip coverboth side lebih mungkin diterapkan secara ajek.

Pers bisa mengkritik pemerintah, tapi juga memberi ruang kepada pejabat publik untuk membela diri.

Esensi kritik pers adalah mengawasi dan mengingatkan kekuasaan agar tidak terpelanting menghasilkan kebijakan yang merugikan publik.

Sebagai pejabat publik, Purbaya adalah sosok yang orisinil. Suka ceplas-ceplos, apa adanya, kadang seperti arogan. Dalam dua bulan ini, Purbaya menjadi harapan baru untuk membantu Pemerintahan Prabowo meraih pertumbuhan ekonomi tinggi.

Pada sebagian hal dan momen, ia dielu-elukan oleh publik. Ada "demam Purbaya" yang terbentuk karena sang menteri kini menjadi "media darling".

Ke mana pun Purbaya pergi, jurnalis menguntitnya: Dari makan di warung UMKM hingga mengajar di sebuah SMA. Pokoknya tak ada hari tanpa Purbaya.

Secara substansi, produksi kebijakan, pernyataan serta sikapnya atas isu tertentu membetot keingintahuan dan diskusi. Purbaya juga dianggap sebagai antitesis terhadap pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati.

Namun, ekonom senior Wijayanto Samirin mengingatkan bahwa Purbaya itu lebih pro-market atau pasar dibandingkan Sri Mulyani (Podcast Mencintai Indonesia, 11/11/2025).

Ketidaksetujuan Purbaya atas penggunaan APBN untuk menomboki utang kereta cepat "Whoosh" hingga rencananya menurunkan PPN, kata Wijayanto, menunjukkan Purbaya penganut "small government"---yakni peran pemerintah yang sedikit atau ala kadarnya dalam memengaruhi perekonomian.

Tentu saja, pro-pasar tak identik dengan mengesampingkan kepentingan rakyat. Small government atau mekanisme pasar yang lebih besar dalam perekonomian, sama-sama berpeluang menguntungkan rakyat sebagaimana yang diklaim mazhab ekonomi kerakyatan.

Maazhab ini percaya dengan peran pemerintah yang besar dalam perekonomian sebagaimana diyakini ekonom John Maynard Keynes.

Fenomena "demam Purbaya" mengingatkan saya pada Jokowi di periode menjadi gubernur Jakarta dan awal menjadi presiden. Publik harus ingat, mengelu-elukan pejabat publik secara berlebihan bisa membuat kita tidak berjarak dengan sang subjek.

Buat pers, hal semacam ini dapat menumpulkan fungsi pers sebagai pengontrol dan pengkritik kekuasaan.

Jika harus dibuat piramida, kerja utama dan terpenting pers justru fungsi kritik. Fungsi-fungsi lain seperti saluran informasi, edukasi dan hiburan juga penting, tapi tak sefundamental fungsi kritik.

Dan Purbaya--yang sedang digandrungi publik--menyadarkan kaum jurnalis, bahwa "mingkem" atau menutup mulut dan tak bicara serta tak melakukan fungsi kritik justru kontraproduktif bagi bangsa dan negara.

"Untuk ke depan kasih kritik lah yang baik, tapi kasih pemecahannya juga kalau bisa. Yang mengendalikan arah ke depan kan termasuk jurnalis juga. Kalau enggak kita semua salah arah," tutur Purbaya.

Saya yakin isi hati dan pikiran jurnalis Indonesia ingin menjalankan fungsi kritik terhadap kekuasaan seperti diingatkan Purbaya. Segenap kendala internal, termasuk jeratan "hidup untuk hari ini", seharusnya tak mematahkan panggilan hidup profesi ini.

Dan saya yakin fungsi kritik itu bukan milik satu atau dua institusi pers tertentu saja. Dalam keterbatasan, pers dan jurnalis Indonesia masih mengkritik kekuasaan. Kalau tidak untuk seluruh isu atau topik, setidaknya dalam isu-isu tertentu.

Saya kira panggilan atau tawaran Purbaya untuk menjalankan fungsi kritik itu mesti diterima dengan riang gembira.

Ternyata di balik gaya Purbaya yang kadang "koboi", ia tak sudi dipuja-puji. Sebaliknya ia ingin dibantu dengan kritik.

Tag:  #demam #purbaya #sentilan #pers #mingkem #pelajaran #dari #masa #lalu

KOMENTAR