Catatan untuk Ide Biayai Pendidikan Pakai Aset Koruptor
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa uang yang diterima negara hasil rampasan koruptor tidak boleh dibiarkan mengendap, harus segera dikembalikan kepada rakyat melalui berbagai program pemerintah.
Prabowo bilang, dana hasil korupsi akan dipakai untuk memperbaiki sekolah, mendanai kampung nelayan, mengisi anggaran beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), hingga membantu pembayaran utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh.
Pada 20 Oktober 2025, Prabowo menyebutkan, uang Rp 13 triliun hasil korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang diserahkan Kejaksaan Agung ke Kementerian Keuangan dapat segera digunakan untuk merevitalisasi ribuan sekolah.
“Rp 13 triliun ini kita bisa memperbaiki renovasi 8.000 sekolah lebih,” kata Prabowo.
Selain renovasi sekolah, Prabowo mengeklaim dana itu juga cukup untuk membangun sekitar 600 kampung nelayan modern dengan target total 1.100 desa nelayan dapat berdiri hingga 2026.
Pada kesempatan terpisah di Sidang Kabinet Paripurna, Prabowo memerintahkan agar sebagian uang CPO disisihkan untuk mebiayai beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
Tak berhenti di situ, Prabowo juga memastikan bahwa utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung bisa dibayar menggunakan dana hasil rampasan.
Kepala negara bilang, uang hasil rampasan koruptor juga bisa digunakan untuk membayar utang atas pembangunan kereta tersebut.
Terbaru, Prabowo menegaskan bahwa program digitalisasi pendidikan termasuk pengadaan smartboard/Panel Interaktif Digital (PID) untuk semua kelas akan dibiayai dari dana hasil mengejar para koruptor.
“Nanti maling-maling kita akan kejar semua itu, supaya anak-anak kita pintar-pintar,” kata dia saat meluncurkan program Digitalisasi Pembelajaran di Bekasi, 17 November 2025.
Fungsi uang pengganti
Namun demikian, gagasan besar tersebut justru mengundang kritik dari sejumlah pihak karena dinilai tidak sesuai dengan esensi uang pengganti dalam tindak pidana korupsi dan rekam jejak kebijakan pendidikan pemerintah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia mengatakan, uang rampasan hasil korupsi memang dapat membantu program pemerintah, tetapi bukan berarti masuk kategori dana bebas-pakai.
Uang tersebut pada dasarnya merupakan penghitungan kerugian negara dan kerusakan yang timbul dari tindak pidana.
Ia mencontohkan kasus-kasus korupsi pertambangan yang menghasilkan perhitungan kerugian ekologis.
Kerusakan alam yang nyata ini kemudian dibebankan sebagai uang pengganti kepada terdakwa.
“Kalkulasi kerugian ekologis itu merupakan penghitungan dari kerusakan aktual yang ada di lapangan, di alam yang dirusak dari pertambangan yang berbuah dari kasus korupsi itu,” kata Yassar.
Oleh karena itu, menurut ICW, uang pengganti seharusnya diprioritaskan untuk memulihkan kerusakan yang ditimbulkan dari tindak pidana, bukan dialihkan untuk program lain.
“Jangan menggunakan uang itu seakan-akan tidak di-earmark untuk kasus korupsinya sendiri, tapi malah digunakan untuk hal lain yang sebenarnya tidak perlu diambil dari uang hasil rampasan korupsi,” ujar Yassar.
Penggunaan dana pendidikan tak optimal
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid Matraji menyoroti rekam jejak pengelolaan anggaran pendidikan di era Prabowo yang dinilai belum optimal.
Ia mempersoalkan alokasi 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak dipakai untuk persoalan mendasar seperti akses sekolah anak miskin, renovasi sekolah rusak, pembangunan sekolah di daerah kekurangan fasilitas.
“Tapi anggaran pendidikan itu dipakai untuk hal yang tidak mendasar dan mendesak dalam urusan pendidikan, seperti MBG (makan bergizi gratis), sekolah kedinasan, smart TV, smart board dan lain-lain,” ujar Ubaid.
Ia juga menyinggung guru-guru yang kesejahteraan, banyak anak tidak bisa sekolah karena fasilitas tidak tersedia, dan sekolah roboh tak tertangani.
Bahkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sekolah gratis juga belum jelas implementasinya.
“Yang jelas-jelas ada uang di depan mata saja kebijakan presiden tidak pro pendidikan, apalagi ini yang tidak jelas sumbernya,” kata Ubaid.
“Terus saya harus dipaksa percaya dengan janji manis presiden untuk pendidikan? Ya tentu saya meragukan dan tidak percaya begitu saja,” imbuh dia.
Menurut JPPI, rencana mendanai pendidikan dari uang hasil korupsi adalah cara pandang yang salah arah.
Ia pun meminta pemerintah memahami esensi dari amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk menentukan kebijakan.
“Presiden harus tahu amanah UUD 45 soal pendidikan itu seperti apa. Jangan salah arah menentukan kebijakan pendidikan. Malah mau mendanai pendidikan dari dana korupsi cara pandang yang jelas melecehkan amanah mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Ubaid.
Tag: #catatan #untuk #biayai #pendidikan #pakai #aset #koruptor