Jangan Pandang Sebelah Mata Ahli Gizi
DI AWAL pidato kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan satu cita-cita besar, yaitu memastikan tersedianya Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak Indonesia.
Hal tersebut disampaikan pada Sidang Paripurna MPR RI dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih Periode 2024–2029.
"Jangan takut melihat realita ini. Kita masih melihat sebagian saudara-saudara kita yang belum menikmati hasil kemerdekaan. Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah,” kata Prabowo.
Gagasan tersebut juga telah lama dituangkan dalam karyanya berjudul: “Paradoks Indonesia dan Solusinya.”
Dalam buku itu, Prabowo mengajak kita merenung melalui pertanyaan-pertanyaan mendasar: mengapa bangsa sebesar Indonesia tidak mampu menjamin rakyatnya cukup makan? Mengapa masih ada anak-anak yang kelaparan di negeri yang begitu kaya?
Haruskah kita melihat anak-anak di ibu kota sendiri tidak bisa tidur karena lapar? Haruskah kita biarkan rakyat berjuang setengah mati hanya untuk mencari makan setiap hari, sementara kekayaan bangsa terus mengalir ke luar negeri dan kita disuruh diam serta menerima keadaan?
Pertanyaan-pertanyaan reflektif tersebut bukanlah gagasan belaka, melainkan bentuk kontemplasi mendalam yang melandasi mengapa MBG diperlukan.
Oleh karena itu, program ini bukan ide yang datang tiba-tiba, melainkan gagasan visioner yang sudah lama dipikirkan dengan berlandaskan teknokratisme dan idealisme: upaya negara untuk menjawab paradoks kemiskinan sekaligus memperbaiki kualitas gizi dan masa depan generasi penerus bangsa.
Hampir 11 (sebelas) bulan program MBG berlangsung, hari ini kita masih menemukan berbagai paradoks di lapangan.
Sebagaimana pemaparan saya sebelumnya, di Kompas.com (26/9/2025) berjudul: “Reformasi BGN: Mencegah MBG Jadi Beban Sosial dan Fiskal,” saya menjelaskan bahwa persoalan keracunan akibat program MBG hingga saat ini masih menjadi tantangan serius bagi Badan Gizi Nasional (BGN). Kasus serupa berulang terjadi hingga hari ini.
Tak hanya itu, ada pula sejumlah masalah keuangan. Rentetan berbagai peristiwa tersebut memunculkan pertanyaan mendasar mengenai sistem pengawasan, standar keamanan pangan, serta transparansi pengelolaan dana MBG yang seharusnya menjadi prioritas untuk menjamin keberlanjutan dan kredibilitas program.
Sebelah mata memandang ahli gizi
Publik baru-baru ini kembali dipertontonkan dengan paradoks dari proses kebijakan publik. Wakil Ketua DPR Cucun Ahmad Syamsurijal, menjadi perbincangan di tengah masyarakat, khususnya di media sosial, menyusul pernyataannya yang kontroversial.
Pernyataan Cucun dalam Forum Konsolidasi SPPG se-Kabupaten Bandung, Jawa Barat, soal rencana mengganti istilah ahli gizi ramai dikritik.
Dalam acara tersebut, Cucun menyebut arogan seorang peserta. Ia bahkan menyebut tidak perlu ahli gizi dalam program MBG.
"Kita tidak perlu ahli gizi. Tidak perlu Persagi. Yang diperlukan adalah satu tenaga yang mengawasi gizi. Selesai kalian. Cocok? Jangan bicara arogansi dengan saya. Saya tinggal pegang palu, selesai," ucap Cucun.
Belakangan, Cucun memberi klarifikasi dan meminta maaf.
Pernyataan semacam ini, apalagi disampaikan oleh seorang Wakil Ketua DPR—bukan hanya melukai hati para ahli gizi, tetapi juga meremehkan kerja akademisi, teknokrat, dan para profesional yang selama ini menjadi fondasi dalam perumusan kebijakan publik.
Padahal, kemuliaan Program MBG justru menuntut keterlibatan ketat para ahli gizi sejak tahap perencanaan, implementasi, hingga evaluasi.
Program ini tidak boleh dipandang sebagai proyek “sekadar serapan anggaran”, melainkan sebagai instrumen strategis untuk memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia, memperluas peluang kerja, menggerakkan ekonomi lokal melalui rantai pasok pangan, serta menciptakan multiplier effect yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Karena itu, jangan biarkan ahli gizi hanya menjadi “pelengkap” dalam program MBG. Keberadaan mereka adalah elemen sentral dan tidak tergantikan.
Tanpa supervisi keilmuan dari para ahli gizi, risiko terjadinya kontaminasi pangan, kesalahan takaran gizi, hingga potensi keracunan makanan akan meningkat secara signifikan.
Lebih jauh, hanya melalui kehadiran ahli gizi yang kompeten, kita dapat memastikan bahwa setiap porsi makanan yang disajikan benar-benar memberikan dampak nyata terhadap kualitas tumbuh kembang anak, terutama dalam menekan prevalensi stunting dan meningkatkan kapasitas SDM Indonesia di masa depan.
Sementara itu, dari sisi anggaran, MBG memakan biaya ratusan triliun rupiah. Jangan biarkan program MBG menjadi program “sekadar ladang cuan” bagi mereka yang tidak bertanggung jawab.
Negara harus memastikan agar program MBG dijalankan berbasis keahlian dan pengetahuan. Maka, ke depan tugas penting dari BGN adalah memastikan regulasi tata kelola MBG yang konsisten berbasis teknokratik, bukan yang dinamis berbasis kepentingan politik.
Sebagaimana juga pemaparan saya kemarin di Kompas.com (17/11/2025) berjudul: “Influencer, Jabatan Publik, dan Panggung Popularitas,” tantangan terbesar kita hari ini bukan sekadar memastikan hadirnya para ahli dalam proses tata kelola, melainkan menegakkan kembali otoritas pengetahuan yang berlandaskan evidensi dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ekosistem demokrasi modern, teknokratisme tidak dimaksudkan untuk menggantikan politik, tetapi menjadi mekanisme korektif yang mencegah keputusan publik tergelincir pada populisme pragmatis atau sekadar manajemen persepsi.
Jangan sampai kita membiarkan fenomena “kematian kepakaran” dalam proses kebijakan publik.
Sekali lagi, merawat kembali budaya dialog berbasis pengetahuan, menghargai keahlian, dan menegaskan pentingnya integritas teknokratis adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak kehilangan orientasi pada rasionalitas, akuntabilitas, dan kemaslahatan jangka panjang.