Influencer, Jabatan Publik, dan Panggung Popularitas
JUMAT kemarin, setibanya di kantor, kegiatan pertama yang saya lakukan setelah menyeduh kopi adalah mencari Harian Kompas edisi terbaru.
Di antara sejumlah opini yang terbit, perhatian saya tertuju pada tulisan Angga T. Sanjaya berjudul “Menunda Kematian Kepakaran,” (14/11/2025).
Artikel tersebut menyampaikan satu pesan penting yang relevansinya kian menguat dalam lanskap politik pengetahuan kita: perlunya merawat ruang dialog terbuka, egaliter, dan bebas dari dominasi, tanpa mengabaikan integritas epistemik yang menjadi fondasi kepakaran.
Angga mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap otoritas pengetahuan harus dijaga, tapi tidak boleh berubah menjadi elitisme intelektual yang justru menjauhkan masyarakat.
Edukasi publik, dalam konteks ini, semestinya berbasis pada keahlian dan integritas, bukan ditentukan logika viralitas atau sensasi yang mengabaikan validitas data maupun metodologi.
Selama mengikuti terbitan Harian Kompas sepanjang 2025, saya melihat tren yang menarik sekaligus mengkhawatirkan: banyak penulis opini mengangkat isu mengenai “matinya kepakaran,” diagnosis terhadap merosotnya penghargaan terhadap proses teknokratis dalam pengambilan keputusan publik.
Dalam konteks ini, refleksi yang pernah disampaikan oleh Yanuar Nugroho melalui opini berjudul “Matinya Teknokratisme dalam Pragmatisme Politik Prabowo,” (21/4/2025) tetap relevan dan semakin terasa urgensinya.
Di tengah perjalanan Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, tulisan tersebut menjadi cermin kritis atas bagaimana rasionalitas kebijakan seringkali bersinggungan, bahkan berbenturan dengan kepentingan pragmatis politik.
Fenomena serupa menunjukkan bahwa tantangan terbesar kita hari ini bukan sekadar memastikan hadirnya para ahli dalam proses tata kelola, melainkan menegakkan kembali otoritas pengetahuan yang berlandaskan evidensi dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ekosistem demokrasi modern, teknokratisme tidak dimaksudkan untuk menggantikan politik, tetapi menjadi mekanisme korektif yang mencegah keputusan publik tergelincir pada populisme pragmatis atau sekadar manajemen persepsi.
Diskursus mengenai “kematian kepakaran” harus diposisikan bukan sebagai keluhan akademik, tetapi sebagai peringatan dini atas rapuhnya fondasi epistemik negara.
Merawat kembali budaya dialog berbasis pengetahuan, menghargai keahlian, dan menegaskan pentingnya integritas teknokratis adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa kebijakan publik tidak kehilangan orientasi pada rasionalitas, akuntabilitas, dan kemaslahatan jangka panjang.
Jika kita mencermati realitas hari ini, proses desakralisasi jabatan publik tampak kian mengemuka.
Fenomena ini tercermin dari meningkatnya penempatan figur-figur publik mulai dari influencer, tokoh partisan, hingga selebritas pada posisi strategis seperti Staf Khusus, Staf Ahli, Tenaga Ahli, komisaris BUMN, bahkan jabatan politik elektif seperti anggota legislatif maupun kepala daerah.
Pola penempatan tersebut sering kali tidak berpijak pada kesesuaian kompetensi teknis atau kapasitas kebijakan (policy capacity), melainkan pada nilai tambah politik yang dapat mereka berikan kepada patron atau kelompok kepentingan tertentu.
Dengan kata lain, meritokrasi seolah bergeser menjadi kalkulasi elektoral dan transaksi simbolik.
Paradoks ini semakin terlihat menjelang kontestasi Pilpres hingga Pilkada. Alih-alih menghadirkan kontestasi gagasan, ruang publik justru dipenuhi figur populis dan influencer yang menjual ‘gaya’ ketimbang ‘ide’.
Dominasi politik gaya ini bukan hanya mereduksi kualitas diskursus kebijakan, tetapi juga mengikis martabat jabatan publik sebagai arena pengabdian dan profesionalisme.
Dalam jangka panjang, kecenderungan tersebut dapat melemahkan kapasitas institusional negara, sebab jabatan strategis tidak lagi diperlakukan sebagai amanah berbasis kompetensi, melainkan komoditas dalam pasar politik.
Padahal, secara normatif jabatan publik adalah konstruksi hukum dan etika yang sangat sakral.
Setiap penyelenggara negara diwajibkan mengucapkan sumpah jabatan di hadapan publik, memegang kitab suci sesuai agama masing-masing, dan menyatakan kesediaan bekerja dengan jujur, adil, serta mematuhi Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Sumpah ini bukan sekadar ritual administratif, melainkan kontrak moral antara negara, pejabat, dan rakyat.
Fenomena desakralisasi jabatan juga menghasilkan distorsi dalam kapasitas negara (state capacity).
Pertama, negara kehilangan policy professionalism, karena posisi strategis diisi oleh individu yang tidak memiliki rekam jejak teknis dalam perumusan dan implementasi kebijakan.
Kedua, muncul role ambiguity karena publik sulit membedakan mana pejabat yang bekerja berdasarkan mandat institusional dan mana yang sekadar produk kompromi politik.
Ketiga, desakralisasi jabatan berimplikasi langsung pada melemahnya kepercayaan publik (public trust), yang merupakan modal sosial sangat penting bagi stabilitas pemerintahan demokratis.
Pertanyaan reflektif kemudian muncul: apakah benar bangsa ini kekurangan ahli dan pakar hingga harus menyerahkan posisi strategis kepada mereka yang tidak memiliki kapasitas memadai?
Sampai kapan kita membiarkan jabatan publik direduksi menjadi sekadar kompensasi politik yang transaksional?
Dan sampai kapan pula uang rakyat harus terserap untuk membiayai pejabat-pejabat tidak kompeten yang lebih banyak “sekadar meromantisasi” kerja pelayanan publik daripada benar-benar menyelesaikan penderitaan dan nasib rakyat?
Hari ini rakyat kita menjalani hidup sehari-hari dengan berbagai persoalan sosial dan ekonomi, bahkan sebagian besar rakyat menggantungkan keberlangsungan hidupnya atas kebijakan pemerintah.
Maka, sudah saatnya jabatan-jabatan publik yang strategis itu diserahkan kepada mereka yang pakar dan ahli pada bidangnya, bukan kepada mereka yang tidak kompeten, yang hanya menjadikan jabatan sebagai “embel-embel validasi.”
Negara kita merindukan reformasi, maka perlu diwujudkan dengan menjaga sakralnya jabatan publik.
Meminjam pernyataan W. Edwards Deming, “Bad system beats good people every time.” Pesan ini menegaskan bahwa dalam sistem yang cacat, sebaik apapun integritas individu, mereka akan mudah terseret kembali ke pola lama: koruptif, feodal, dan represif.
Realitas tersebut sekaligus mengindikasikan bahwa persoalan tata kelola pemerintahan kita bukan sekadar kesalahan oknum, melainkan kegagalan sistemik yang berlapis dan multidimensional.
Selama arsitektur institusional kita masih membiarkan celah-celah penyalahgunaan kekuasaan, maka reproduksi perilaku koruptif hanya tinggal menunggu waktu.
Karena itu, pembenahan tidak cukup bersifat kosmetik. Negara perlu dikembalikan pada spirit dasarnya sebagaimana amanat sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung nilai fundamental tentang moralitas publik, kejujuran, serta etika kekuasaan.
Agenda ini bukan hanya tentang memulihkan martabat pejabat negara, tetapi merupakan strategi jangka panjang untuk memastikan kualitas pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat secara konsisten dan berkelanjutan.
Hanya dengan menegakkan kembali prinsip meritokrasi, etika jabatan, serta supremasi kepentingan publik, negara dapat membangun legitimasi moral kekuasaan yang kokoh.
Reformasi sistemik yang didesain secara teknokratik serta mekanisme akuntabilitas yang terukur, juga perlu dibarengi dengan refleksi mendalam mengenai tujuan kekuasaan itu sendiri: bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan komoditas politik.
Jika kedua dimensi tersebut berjalan seiring, maka fondasi pembangunan nasional tidak hanya diperkuat secara struktural, tetapi juga dimuliakan secara etis.