Ketika Korban dan Penguasa Disucikan Bersama
PEMERINTAH Indonesia baru saja menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada dua tokoh dengan latar sejarah yang berseberangan: Marsinah, buruh perempuan yang menjadi simbol perjuangan hak pekerja, dan Soeharto, mantan presiden yang memimpin rezim Orde Baru—masa ketika Marsinah dibunuh. Keduanya kini berdiri sejajar di altar kepahlawanan bangsa.
Di sinilah ironi itu terasa: korban dan penguasa disucikan bersama oleh negara yang sama. Bagi sebagian masyarakat, keputusan ini dianggap upaya menyeimbangkan narasi sejarah; namun bagi banyak pihak lain, keputusan ini menimbulkan luka moral. Marsinah bukan hanya simbol buruh, melainkan korban kekerasan negara yang hingga kini belum tuntas diusut.
Ia hilang pada 5 Mei 1993 setelah memimpin aksi mogok kerja menuntut hak upah layak di PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Tiga hari kemudian, jenazahnya ditemukan di tepi hutan di Nganjuk dalam kondisi mengenaskan. Sejak itu, Marsinah menjadi ikon moral perjuangan buruh dan hak asasi manusia di Indonesia.
Sementara itu, nama Soeharto identik dengan kekuasaan panjang, pembangunan ekonomi, tetapi juga dengan represi politik dan pembungkaman kebebasan. Dalam masa pemerintahannya, negara mengontrol organisasi buruh, media, dan oposisi demi stabilitas nasional (Komnas HAM, Laporan Pelanggaran HAM Masa Orde Baru, 2002). Ketika kini negara menyematkan keduanya sebagai pahlawan, muncul pertanyaan: apakah kita sedang merayakan rekonsiliasi, atau sedang melupakan luka sejarah?
Ironi dan Kontradiksi Moral
Ironi adalah ketika kenyataan berbalik dari nilai yang seharusnya dijunjung. Negara yang dulu gagal melindungi Marsinah kini memuliakannya; namun ironinya lebih dalam: penguasa tertinggi rezim yang menciptakan atmosfer represif itu pun kini disucikan bersama. Ironi semacam ini bukan sekadar paradoks administratif, melainkan krisis moral memori bangsa. Ia menandakan bahwa kita lebih suka melupakan daripada menuntaskan.
Dalam logika etika, hal ini juga kontradiktif. Gelar “pahlawan” secara moral berarti keberanian membela kemanusiaan. Namun ketika pelaku dan korban sejarah disamakan dalam status simbolik, maka makna kepahlawanan menjadi cair—kehilangan substansi etisnya. Nilai “pahlawan” bukan lagi tentang keberanian moral, tetapi tentang jasa pembangunan dan kepentingan simbolik kekuasaan.
Zygmunt Bauman menyebut keadaan ini sebagai moralitas cair (liquid morality)—masa ketika batas antara benar dan salah kabur karena logika pragmatis (Bauman, Liquid Modernity, 2000). Dalam masyarakat cair, ingatan kolektif mudah dinegosiasikan. Pahlawan tidak lagi dilihat dari kebenaran moral, melainkan dari nilai gunanya bagi politik hari ini.
Dialektika Sejarah
Bila memakai kacamata Hegel, sejarah memang bergerak melalui kontradiksi: dari tesis dan antitesis menuju sintesis. Mungkin negara ingin menciptakan “sintesis simbolik”: merangkul semua memori bangsa tanpa membedakan antara luka dan jasa. Namun sintesis tanpa kebenaran bukanlah rekonsiliasi—itu penghapusan moral. Sebab, keadilan hanya lahir dari keberanian menghadapi sejarah apa adanya, bukan dengan menyamarkan pelaku dan korban di altar yang sama.
Filsuf Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem (1963) mengingatkan bahwa kejahatan besar justru muncul ketika manusia berhenti berpikir secara moral. Ia menyebutnya banalitas kejahatan—kejahatan yang tampak wajar karena dijalankan secara prosedural tanpa refleksi nurani.
Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh yang memimpin masa represi, sekaligus kepada korban represi itu sendiri, dapat dibaca sebagai bentuk banalitas baru: kenormalan tanpa kesadaran moral.
Negara dan Politik Ingatan
Setiap bangsa memerlukan ingatan bersama, tetapi cara mengingat menentukan arah moral bangsa itu sendiri. Jika negara hanya ingin “menyenangkan semua pihak” tanpa keberanian menghadirkan kebenaran, maka sejarah menjadi arena kompromi moral. Padahal Marsinah tidak pernah menuntut penghargaan. Yang ia butuhkan adalah keadilan: siapa yang membunuhnya, mengapa ia disiksa, dan mengapa hukum gagal menegakkannya.
Memberi gelar pahlawan kepada korban tanpa menyingkap pelaku adalah pengakuan setengah hati—seperti menyalakan lilin di atas kubur keadilan yang tak pernah selesai. Hal ini diingatkan oleh Reuters (10 November 2025) dan CNA Indonesia (2025) bahwa keputusan pemerintah ini menimbulkan perdebatan tajam, sebab publik menilai pemberian gelar kepada Soeharto dan Marsinah bersamaan adalah langkah politis yang tidak peka terhadap sejarah luka bangsa.
Menafsir Ulang Kepahlawanan
Kepahlawanan seharusnya lahir dari keberanian menegakkan nilai kemanusiaan, bukan sekadar dari posisi kekuasaan atau keberhasilan pembangunan. Ketika negara menyamakan penguasa represif dan korban penindasan sebagai “pahlawan”, kita perlu bertanya: apakah “pahlawan” kini berarti keberanian moral, atau sekadar tanda jasa politik?
Kita tentu tidak menolak penghargaan atas jasa masa lalu, tetapi penghargaan tanpa refleksi etis adalah bentuk penyangkalan terhadap korban. Dalam konteks ini, bangsa kita seolah ingin berdamai tanpa kebenaran—padahal perdamaian sejati hanya lahir dari keberanian menghadapi masa lalu.
Negara boleh memberi gelar, tetapi sejarah dan nurani rakyatlah yang menentukan siapa sesungguhnya pahlawan. Ketika korban dan penguasa disucikan bersama, bangsa ini dihadapkan pada cermin moral: Apakah kita bangsa yang berani mengingat, atau bangsa yang memilih lupa demi kenyamanan?
Ironi sejarah ini semestinya menjadi ajakan untuk berpikir ulang: bahwa penghargaan tertinggi kepada para pahlawan bukanlah medali, melainkan keberanian menjaga kebenaran. Dan tugas itu kini ada di tangan kita semua — warga yang tidak ingin nuraninya ikut cair bersama sejarah yang dikaburkan.