Menelisik Kata Hopeng
PADA 6 November 2025, perhatian publik tertuju pada satu kata unik yang meluncur dari Presiden Prabowo Subianto saat meresmikan Pabrik Lotte Chemical Indonesia di Cilegon, Banten. Dalam suasana hangat, Prabowo menyebut, “Aku hopeng sama beliau, kok takut,” ketika berbicara tentang kedekatannya dengan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Ucapan itu seketika viral. Bukan karena konteks politiknya, melainkan karena satu kata yang jarang terdengar di pidato seorang kepala negara: hopeng. Kata “hopeng” bukan istilah baru bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang akrab dengan budaya Tionghoa-Peranakan. Secara etimologis, hopeng berasal dari bahasa Hokkien hao pengyou, yang berarti “sahabat baik.” Dalam pelafalan sehari-hari di kalangan Tionghoa Indonesia, istilah ini mengalami adaptasi fonetik menjadi hopeng.
Kata ini telah lama digunakan di Indonesia untuk menggambarkan hubungan pertemanan yang sangat erat dan penuh kepercayaan. Dalam budaya Tionghoa-Indonesia, hopeng bukan sekadar “teman” dalam arti umum.
Seperti dijelaskan Chandra Halim dalam Dinamika Etos Kerja Masyarakat Tionghoa Yogyakarta (2019), hopeng adalah simbol relasi sosial yang berlandaskan kesetiaan, kepercayaan, dan rasa tanggung jawab moral.
Seorang hopeng adalah orang yang siap membantu tanpa pamrih, menjaga nama baik, dan menempatkan integritas di atas kepentingan pribadi. Itulah mengapa, dalam bisnis maupun kehidupan sosial, menjadi hopeng berarti menjadi bagian dari lingkaran kepercayaan yang tak mudah ditembus.
Dalam konteks pidato Prabowo, kata ini mengandung makna emosional yang kuat. Ia bukan sekadar menjelaskan hubungan formal antarpejabat, melainkan ingin menegaskan adanya keakraban dan persahabatan sejati dengan Jokowi.
Menurut Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2020), pemilihan kata serapan dalam wacana publik sering kali dimaksudkan untuk mempererat kedekatan sosial dan meniadakan jarak psikologis antara pembicara dan pendengar. Prabowo, dalam hal ini, memanfaatkan kekuatan simbolik bahasa untuk menyampaikan kehangatan hubungan yang melampaui batas protokol politik. Fenomena penggunaan kata hopeng memperlihatkan bahwa bahasa adalah cermin hidup dari interaksi budaya.
Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (2009) menyebut bahasa sebagai simbol identitas dan ekspresi budaya. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, percampuran bahasa bukan hal asing. Ia justru memperkaya khazanah komunikasi nasional. Seperti halnya kata kongkow dari Hokkien “gong-kau” (berkumpul santai), atau cengli (jujur), istilah hopeng menjadi bukti betapa eratnya asimilasi budaya Tionghoa dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Dari sisi sosial, penggunaan kata ini juga memiliki makna yang lebih luas. Dalam konteks bisnis, misalnya, Dyah Hasto Palupi dalam Impossible Possible (2021) menjelaskan bahwa kepercayaan antar hopeng dapat meningkatkan keberhasilan kerja sama ekonomi. Relasi yang didasarkan pada rasa percaya menciptakan jejaring sosial yang lebih solid daripada sekadar kontrak tertulis. Tak heran, banyak pengusaha Tionghoa menilai bahwa “hopeng yang baik lebih bernilai dari seribu perjanjian hukum.”
Yang menarik adalah mengapa Prabowo menggunakan kata ini dalam konteks politik nasional. Dalam pidato itu, ia menepis isu ketakutan terhadap Jokowi dengan cara yang santai namun simbolik. “Aku hopeng sama beliau, kok takut,” seolah menegaskan bahwa relasi mereka bukan hierarkis, tetapi sejajar dan saling percaya.
Di sini, kata hopeng berfungsi bukan hanya sebagai ekspresi persahabatan, tetapi juga sebagai strategi komunikasi politik yang cerdas. Bahasa yang akrab dan bersifat kultural dapat memperkuat kredibilitas dan kedekatan emosional antara pemimpin dan publiknya.
Selain hopeng, pidato Prabowo juga memuat ungkapan lokal lain seperti “ngono ya ngono, ning aja ngono,” sebuah ungkapan Jawa yang berarti “begitu ya begitu, tapi jangan begitu.” Ungkapan ini mencerminkan kebijaksanaan lokal untuk menjaga etika dan kesopanan dalam perbedaan pendapat.
Menurut Franz Magnis-Suseno dalam Etika Jawa (1993), ungkapan tersebut menekankan pentingnya keseimbangan antara keterusterangan dan rasa hormat, dua nilai yang krusial dalam budaya politik Indonesia.
Prabowo juga menambahkan kata “kuyu-kuyu,” istilah dari bahasa Banten yang berarti “mengolok-olok.” Ia menggunakannya untuk menegur budaya saling menghina di ruang publik. Dengan demikian, pidatonya memadukan kosakata lintas budaya yang mencerminkan semangat pluralisme. Ditambah salam multireligius seperti “shalom,” “om swastiastu,” “namo buddhaya,” hingga “salam kebajikan,” pidato itu menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan bangsa.
Secara sosiologis, tindakan ini memperlihatkan apa yang oleh para ahli disebut soft power linguistic strategy, yaitu strategi komunikasi halus berbasis simbol budaya. Dalam konteks Indonesia yang plural, penggunaan istilah seperti hopeng bisa dibaca sebagai ajakan untuk membangun relasi politik dan sosial berbasis kepercayaan, bukan konflik.
Fenomena ini serupa dengan cara Presiden Jokowi sering menggunakan istilah lokal seperti blusukan untuk menegaskan kedekatan dengan rakyat. Penggunaan hopeng juga menunjukkan bagaimana bahasa dapat menjembatani berbagai lapisan masyarakat. Ia mengandung filosofi gotong royong dalam wujud yang lain, yaitu saling percaya, saling menopang, dan saling menjaga kehormatan.
Dalam dunia yang kian kompetitif dan penuh kecurigaan, konsep hopeng menghadirkan pesan universal, yaitu bahwa persahabatan yang tulus masih menjadi fondasi utama dalam membangun bangsa.
Seperti kata Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), “Batas bahasaku adalah batas duniaku.” Maka, memperluas bahasa berarti memperluas empati. Ketika seorang presiden mengucapkan “hopeng,” ia tidak hanya berbicara soal politik, tetapi juga tentang nilai kemanusiaan yang lintas etnis, lintas agama, dan lintas generasi.
Nah, hopeng bukan sekadar kata. Ia adalah cermin dari wajah Indonesia yang ramah, cair, dan terbuka terhadap perbedaan. Di tengah ketegangan sosial dan politik, satu kata itu mengingatkan kita bahwa bangsa ini dibangun di atas fondasi kebersamaan. Mungkin itulah sebabnya, dalam setiap bahasa yang kita gunakan, selalu terselip pesan sederhana, yakni bahwa kita semua pada dasarnya adalah hopeng.
Tag: #menelisik #kata #hopeng